Serangan Bayangan Cermin

26.1K 3K 19
                                    


Mandi selalu membuat Sharma memiliki tenaga baru. Setelah memiliki daya penuh, ingin sekali rasanya ia berlari-lari keliling istana. Namun sekarang ia tidak bisa leluasa berbuat semaunya. Ada Nora dan Wenari. Kini kedua pelayan itu telah bersekongkol untuk menahan Sharma agar tidak lepas lagi. Alhasil malam ini Sharma tidak akan bisa keluar kamar seperti malam-malam sebelumnya.

Besok adalah hari pengangkatan dirinya sebagai Selir Kaisar.

Jika menjadi Selir tidak bisa dihindari lagi, maka aku akan menghadapinya.

Sharma tidak akan khawatir tentang kegadisannya. Toh Selir Lira bilang kalau Kaisar tidak pernah menyentuh Selir-Selirnya. Hanya Permaisuri lah yang ada di hati Kaisar itu.

Mengingat Permaisuri, tiba-tiba Sharma ingin bercermin. Apakah dirinya bisa menandingi kecantikan Permaisuri yang katanya wanita tercantik di negeri ini. Walaupun ia belum bertemu dengan Permaisuri, mungkin ia bisa bercermin dahulu.

Sharma berjalan ke cermin. Cermin itu cukup besar, cukup menampilkan penampilan Sharma setengah badan. Sharma tersenyum. "Padahal aku ini tidak hitam, tapi orang-orang di sini putih sekali, sehingga aku tampak lebih hitam dari yang lain."

Sharma menghela nafas, kemudian tersenyum. Mungkin ini adalah daya tariknya. Berbeda dari yang lain karena memiliki kulit tak terlalu putih dan tubuh yang lebih pendek dari wanita lain.

"Kau memang menarik."

Sharma menoleh ke belakang. Tidak ada siapapun. Padahal ia yakin sekali tadi mendengar suara seseorang yang tepat berada di belakangnya. Sharma mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar. Pintu tertutup, begitu pun dengan jendela.

"Wenari? Nora?"

Tidak ada jawaban. Mungkin mereka sedang merapikan ruang tamu. Dan mungkin tadi ia hanya salah dengar. Akhir-akhir ini ia sering bosan, sebab itulah ia jadi menghalu. Ya, setidaknya ia harus berpikir positif walaupun bulu kuduknya sudah berdiri semua.

Sharma kembali menatap cermin. Alisnya terangkat begitu melihat pantulan dirinya di cermin. Kulitnya jadi sangat putih dan pucat. Ekspresi yang terlihat dari cermin sama dengan ekspresi yang ia keluarkan. Ini memang bayangannya. Tapi apakah dirinya bisa putih mendadak.

Tangan kanannya terulur untuk memegang kaca. Bayangan telapak tangannya bersatu dengan kulit tangannya. Dan beberapa detik kemudian bayangannya di cermin tersenyum padahal dirinya tidak tersenyum.

Sharma terkejut lalu mundur. Matanya tetap terpaku pada bayangan di cermin yang sudah tidak sama gerakannya. Pantulan di sana terus tersenyum. Senyuman itu mulai hilang bersamaan dengan darah yang mengalir dari lehernya. Leher itu mengeluarkan darah seolah-olah habis di gorok. Mata indah itu juga mengeluarkan darah.

"A-a-"

Sharma tidak bisa berbicara ataupun berteriak. Sungguh ini lebih menyiksa. Air matanya keluar bersamaan dengan sosok di cermin itu keluar dari cermin. Lebih dari apapun, Sharma lebih takut saat melihat versi lain dari dirinya sendiri.

Saat makhluk itu mengulurkan tangan, Sharma mundur kebelakang dan tidak sengaja tersandung kakinya sendiri hingga ia jatuh ke lantai. Sharma terus mundur saat sosok itu terus mendekat. Kepala Sharma menggeleng, ia belum mau mati.

Tangan penuh darah itu hampir mengenai lehernya. Di saat itulah sudut mata Sharma melihat sandal yang berada di dekat tempat tidur.

Buk

Sosok itu langsung menghilang saat Sharma melemparnya dengan sandal. Namun sesuatu yang dingin melingkari lehernya. Ia pun menoleh dan ....

"Aaaaa!!"

Burung hantu yang bertengger di atas pohon terbang begitu saja. Termasuk burung-burung lainnya.

* * * *

"Aku dengar calon selir keenam tengah sakit." Seorang pelayan yang sedang menjemur pakaian berbicara pada teman kerjanya.

Pelayan yang lain mengangguk. "Benar. Katanya Nona Sharma tiba-tiba demam pagi ini. Mungkin karena terlalu keras berteriak."

Pelayan yang pertama berbicara tertawa pelan. "Aku terkejut mendengar teriakkan menggelegar itu. Sayangnya aku terlalu mengantuk untuk melihat langsung."

Pelayan kedua mengambil satu jubah. "Semua penjaga dan pelayan berhamburan ke kediaman calon selir. Di depan kediaman nona Sharma sangat ramai tadi malam, tapi tidak ada yang diperbolehkan masuk."

"Kalau begitu siapa yang masuk untuk memeriksa?" tanya pelayan pertama.

"Pangeran Giler. Dialah yang pertama sampai dan memeriksa keadaan Nona Sharma. Katanya nona Sharma hanya mimpi buruk."

"Owh, Pangeran Giler sudah pulang dari akademi."

Gosip itu langsung berhenti ketika dari kejauhan melihat Kaisar berjalan ke arah kediaman calon Selir didampingi oleh pengawal pribadinya. Mereka yakin Kaisar ingin memeriksa keadaan calon Selirnya. Ini adalah kali pertama Kaisar peduli dengan 'calon selir'. Bahkan Selir yang ada sekarang tidak pernah mendapatkan perhatian Kaisar. Namun mereka tidak ingin ambil pusing. Mereka memilih diam dari pada nanti ketahuan bergosip. Bisa hilang kepala mereka.

Mendengar suara langkah kaki yang mereka kenal. Para penjaga segera menyingkir dari pintu lalu membungkuk hormat. "Hormat hamba Yang Mulia Kaisar Negeri Alrancus."

Kaisar tidak menggubris. Pria itu langsung masuk ke dalam dengan wajah yang masih sama kelamnya. Tidak ada yang bisa mengubah wajah itu. Baik sedih, bahagia, atau jatuh cinta, wajah Kaisar akan tetap sama.

Kaisar masuk ke kamar Sharma begitu saja sedangkan pengawal pribadinya menunggu di depan pintu. Wenari dan Nora langsung memberi hormat.

Sharma masih tidur setelah beberapa jam lalu diberi ramuan penurun panas. Wajahnya tampak sangat pucat.

Saat memperhatikan kondisi Sharma, tak sengaja Kaisar melihat jejak merah yang melingkar di leher gadis itu. Jejak mereh itu menyerupai jejak tangan. Kaisar maju selangkah agar bisa lebih dekat. Tangannya menyentuh jejak merah itu dengan hati-hati. Panas, itulah yang Kaisar rasakan. Kaisar menyentuh bagian leher yang bersih dari warna merah itu. Ternyata panasnya sudah turun karena ramuan yang diberikan oleh tabib. Lalu mengapa jejak merah itu masih panas? Pasti ada yang tidak beres.

Kaisar berdiri tegak tanpa mengatakan apapun. Setelah itu Kaisar pergi lagi dari kamar Sharma. "Panggilkan Azoch," perintah Kaisar saat melewati pengawal pribadinya.

"Baik, Yang Mulia."

Cahaya mentari pagi mengintip lewat jendela untuk melihat ruangan yang dipenuhi oleh buku-buku dan kertas-kertas. Di dalam ruangan itu ada dua pria yang sedang duduk berhadapan. Pria yang memakai jubah emas duduk di bangku kebesarannya. Tangan kanan sibuk membolak-balik kertas laporan yang baru saja diberikan oleh mata-matanya.

"Tidak ada yang mencurigakan, Yang Mulia," ucap pria berjubah serba hitam.
Mata Kaisar terus membaca kertas yang dipegang. Semuanya tidak pernah lepas dari pencermatannya. Selesai membaca semua laporan, Kaisar menghela nafas. Mata elangnya beralih pada pria berjubah.

"Kau yakin?"

Azoch mengangguk. Tentu saja ia sangat yakin. Semua yang terjadi di perbatasan Selatan tidak pernah lepas dari pengamatannya. Ia adalah orang terpercaya Kaisar, mana mungkin kemampuannya ecek-ecek.

Kaisar meletakkan semua kertas di meja. "Selidiki tentang kejadian tadi malam di kediaman calon Selir ke-enam. Aku tunggu sampai besok."

Azoch membungkuk. "Baik, Yang Mulia." Pria itu berdiri lalu memberi hormat. Setelah memberi hormat, pria itu segera pergi.

Kaisar bertopang dagu dengan kedua punggung tangannya yang menyatu menjadi sebuah kepalan. Mata gelapnya menerawang jauh entah ke mana. Akhir-akhir ini ia merasa ada sesuatu yang ganjil. Semakin lama rasa itu semakin besar. Entah apa yang akan terjadi kedepannya. Namun ia memastikan bahwa ini tidak akan baik-baik saja.

"Semoga aku belum terlalu terlambat."

Kaisar & Sang AmoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang