"Sharma-" Haikal keluar dari semak-semak dan berhenti ketika melihat seorang pria yang tampan dan gagah tengah memeluk Sharma.
Kaisar menatap Haikal dengan tajam hingga membuat Haikal tahu bahwa inilah Kaisar Ariga yang sering dibicarakan oleh orang-orang. "Hormat hamba, Yang Mulia Kaisar Negeri Alrancus."
Kaisar melepaskan pinggang Sharma dan membiarkan Sharma berdiri tegak. "Siapa kau?" tanya Kaisar dengan nada yang tidak bersahabat.
Haikal membungkuk dengan sopan. "Hamba Haikal Athin, Yang Mulia."
Mendengar nama Haikal, Kaisar semakin menajamkan tatapannya. Inikah Haikal yang disebut-sebut Sharma dalam mimpinya? Apakah ini pria yang disukai oleh Sharma? Jujur, Haikal cukup tampan untuk ukuran orang biasa. Jangan sampai Sharma kembali jatuh cinta pada pria ini. Apalagi pria ini terlihat seorang pria yang baik-baik. Tidak, tidak boleh terjadi.
Sharma memutar kepala kebelakang sebentar kemudian menatap Kaisar lagi. "Dia adalah anak tabib. Ibunya seorang tabib seperti paman Ajoz. Kami tinggal bertetanggaan di desa Teh. Dia ditugaskan paman Ajoz mengantarkan hamba kembali ke Istana. Dia juga mengambilkan banyak buah Sraca. Dia baik sekali, Yang Mulia." Sharma seakan memamerkan 'aku menyukai orang yang luar biasa'.
Kaisar menatap Sharma dengan tajam. Ia tidak bisa membiarkan Sharma bercerita tentang pria lain apalagi pria itu tergolong 'tampan'. "Hukuman ditambah," putus Kaisar kemudian berbalik.
Sharma melotot, ia tidak mengerti mengapa Kaisar memberi hukuman lagi. "Yang Mulia, ini tidak adil!" Sharma mengejar Kaisar. Kini ia berjalan mengikuti Kaisar dari belakang. "Apa salah hamba, Yang Mulia? Tadi Yang Mulia sudah tidak marah, mengapa sekarang marah lagi?"
Kaisar tidak mempedulikan Sharma. "Pikir sendiri." Kaisar berjalan melewati Erlanh, Pangeran Giler, dan Azoch. "Pulang ke istana sekarang."
"Dan untuk kau." Maksud Kaisar adalah Haikal. "Sharma sudah bersamaku, kau tidak perlu mengantarnya pulang. Kembalilah ke desamu." Kemudian Kaisar berjalan dengan cepat. Membiarkan Sharma berlari kecil mengejarnya.
"Yang Mulia, aku harus mengucapkan terima kasih pada Haikal." Saat Sharma akan berbalik, Kaisar meraih pinggang Sharma lalu mengangkatnya di pundak. Kaisar memperlakukan Sharma seperti karung kosong. Tidak terlihat terbebani sama sekali.
"Yang Mulia!" Sharma memberontak. Sedangkan Haikal hanya tersenyum ke arah Sharma yang mulai jauh dibawa oleh Kaisar.
"Haikal! Terima kasih sudah mengantarku! Dadah!" Sharma melambaikan tangannya pada Haikal dibalik punggung Kaisar.
Haikal mengangguk dan melambaikan tangan. Hatinya berdenyut sakit. Sharma pergi meninggalkannya.
* * * *
"Berdiri di sana." Kaisar duduk sambil melipat tangan di depan dada. Mereka sudah sampai di istana dan sudah mandi pula. Sekarang Kaisar sedang memberikan hukuman para Selir kecilnya. Kali ini Kaisar memberikan hukuman yang cukup berat.
Sharma membawa kendi berisi air yang cukup berat ke ujung ruangan utama istana pribadi Kaisar. Sesuai dengan yang telah diperintahkan, Sharma berdiri dengan satu kaki. Sedangkan kedua tangannya yang memegang kendi air diangkat di atas kepala.
"Ucapkan janji," perintah Kaisar.
"Janji apa, Yang Mulia?" tanya Sharma sambil menahan kesal. Padahal dirinya baru saja mengalami hal yang buruk, tapi Kaisar malah menghukumnya. Harusnya Kaisar memperlakukannya dengan baik dan lembut lalu mengatakan 'aku ada di sini, jangan takut', tapi Kaisar malah mengatakan 'salahmu sendiri yang keluar istana tanpa izin dariku dan akhirnya dihadang makhluk jahat. Rasakan akibatnya'. Suami macam apa itu?
"Terserah," jawab Kaisar menahan kesal. Seharusnya Sharma tahu janji apa yang harus disebutkan.
Sharma memutar bola matanya sambil menghela nafas. "Selir Sharma akan menjadi Selir baik untuk hari ini, tapi besok Selir Sharma akan membalas Kaisar."
Kaisar menurunkan tangannya, matanya menatap tajam pada Sharma. "Jangan pernah berpikir bisa membuat keributan lagi, Sharma."
Sharma memonyongkan bibirnya. "Tapi Yang Mulia bilang terserah."
Kaisar mengusap wajahnya karena frustasi. "Harus bagaimana lagi aku menghukumku, Sharma?" ucap Kaisar sangat pelan hingga Sharma tidak mendengar. "Terserah apa katamu." Pada akhirnya Kaisar berdiri. "Lakukan sampai matahari terbit. Aku mengawasi mu." Kemudian Kaisar pergi.
Sharma memanjangkan lehernya agar bisa melihat ke arah pintu yang dilewati Kaisar. "Huftt." Sharma menurunkan tangannya.
"Angkat atau aku suruh kau mengangkat tiga kendi lagi." Hanya suara Kaisar yang terdengar menggelegar.
Sharma berdecak kesal sambil mengangkat kendi lagi ke atas. "Bagaimana jika hamba pegal dan akhirnya kendi ini menimpa kepala hamba dan kepala hamba pecah. Jika hamba mati bagaimana, Yang Mulia?" keluh Sharma. Semoga saja Kaisar memikirkan ucapannya.
"Maka matilah," jawab Kaisar tanpa menunjukkan batang hidungnya.
Sharma mencebikan bibirnya, bola matanya dijulingkan ke atas. "Meke meteleh," ucap Sharma mengejek namun dengan suara yang sangat pelan.
"Asal kau tahu, wajahmu semakin jelek jika seperti itu." Lagi-lagi suara Kaisar terdengar.
Akhirnya Sharma hanya bisa menangis dalam hati. Entah dari mana Kaisar bisa melihat dirinya. Ingin rasanya ia mencakar wajah tampan itu hingga Kaisar berteriak minta ampun.
Akan tetapi ia tidak menyadari jika Kaisar terus memantaunya, itu artinya Kaisar menemaninya hingga pagi nanti. Kaisar menghukum Selirnya, namun Kaisar juga yang ikut tidak tidur. Bukankah itu sama seperti Kaisar ikut menghukum dirinya sendiri? Sayangnya Sharma tidak menyadari bahwa Kaisar tidak membiarkan Sharma menerima hukuman sendirian.
Hari semakin larut, banyak orang yang sudah tidur, kecuali Selir ke-enam yang sibuk mengeluh di ujung ruangan. Dia tidak berani berulah lagi karena mengira Kaisar masih mengawasi dirinya. Padahal Kaisar sedang berada di ruang baca untuk mengambil buku yang biasa ia baca.
Tangan Kaisar menyentuh buku yang pernah Sharma baca. Senyum Kaisar terbit sedikit ketika mengingat hari itu. Di mana ia mengira Sharma anteng karena membaca, tak tahunya Sharma diam karena tengah tertidur.
"Burung Phoenix." Kaisar mengambil buku itu. Saat kecil ia pernah membaca buku itu. Menurutnya buku yang dirinya pegang sekarang hanyalah sekedar buku dongeng anak yang berembel-embel 'legenda'. Kaisar membuka lembaran yang ia lipat waktu itu untuk menandai batas Sharma membaca.
Halaman 27, judul bab 'Phoenix putih'. Kaisar membaca paragraf awal dalam hati.
Luciana mengejar pria bertopeng yang melarikan diri dengan kekuatan yang tersisa. Sayangnya lari pria bertopeng itu sangat cepat hingga Luciana memilih menghentikan pengejarannya. Ia tidak mengerti mengapa pria bertopeng yang menyelamatkan dirinya malah pergi setelah menyelamatkan hidupnya. Padahal ia hanya ingin berterima kasih, namun sepertinya pria itu tidak ingin berurusan lagi dengan dirinya.
"Siapapun dirimu, aku mengucapkan terima kasih." Jika bukan karena pria bertopeng itu, mungkin sekelompok orang yang mengincarnya sudah berhasil menangkapnya.
"Menurut ramalan. Seseorang yang menyelamatkan penyihir putih, adalah Phoenix putih. Phoenix yang ditakdirkan menjadi pendamping penyihir putih sampai akhir hayat," ucap Luciana sambil mengusap darah yang berada di pipinya. "Sekarang aku harus mencari Yornad, pasti dia mencari ku. Sebagai pengasuhku, pasti dia sudah-"
"Yang Mulia! Perutku sakit!"
Kenapa Kaisar gak nonjok Haikal? Ya Kaisar kan pemimpin kerajaan. Masa tanpa alasan masuk akal main nonjok warga sipil. Jangan sampai Kaisar dicap sebagai pemimpin yang gak baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaisar & Sang Amora
Romance(Bukan reinkarnasi ataupun time travel, tapi dijamin seru. Jangan asal ditinggal, baca dulu minimal 10 bab, kalau menurut kalian tidak seru, saya ikhlaskan kepergian kalian wahai readers. Tapi pasti seru kok!) Sharma, seorang Amora atau penyihir put...