"Yang Mulia! Perutku sakit!"
Kaisar menoleh ke pintu keluar ruang baca. Dilipatnya kertas itu lagi di bekas lipatan sebelumnya. Setelah itu Kaisar meletakkan buku di atas meja lalu keluar ruangan. Kaisar berjalan ke arah pintu yang menghubungkan ruang utama dengan ruang santainya.
Kaisar tidak langsung masuk ke ruang utama, ia memilih sembunyi di balik pintu. "Jangan membuat alasan, Sharma. Aku tidak akan tertipu."
Sharma benar-benar merasakan sakit perut. Mungkin karena tadi pagi makan buah Sraca yang diambilkan oleh Haikal. "Hamba benar-benar sakit perut, Yang Mulia."
Sebenarnya Kaisar khawatir jika Sharma tidak berbohong. Namun kembali lagi ia ingat bahwa Sharma ini selalu melawan dirinya. "Tetap pada posisimu dan jangan coba-coba untuk berbohong."
Perut Sharma semakin terasa sakit. Sejak dulu ia memang memiliki sakit asam lambung karena dulu sibuk membantu Ajoz bekerja hingga terkadang lupa makan. Sudah lama penyakit ini tidak kambuh, tapi berkat buah yang aneh itu, Sharma kembali merasakan sakitnya. "Yang Mulia, perut hamba sakit."
Kaisar berdiri sambil melipat tangan di depan dada. Ia yakin sakit perut itu hanya akal-akalan Sharma untuk terbebas dari hukuman. Hari sudah sangat larut, tentu saja Sharma sudah mengantuk dan ingin tidur, kan?
Prang
Karena Kaisar tidak merespon, Sharma memilih untuk melemparkan kendi air dan berjongkok memegangi perutnya yang sakit. Ia tidak peduli lagi jika Kaisar akan marah padanya. Sekarang ia hanya ingin menangis. "Huaaa ... sakit!"
Mendengar suara pecahan, Kaisar langsung masuk ke ruang tengah dan melihat Sharma menangis. Air mata benar-benar keluar dari mata indah Sharma. Itu artinya Sharma tidak berbohong dan benar-benar merasakan sakit. Segera Kaisar berlari ke arah Sharma.
"Kau kenapa?" tanya Kaisar sambil berjongkok di depan Sharma. Tangannya memegang bahu Sharma.
Sharma mengangkat wajahnya lalu tiba-tiba menjitak kepala Kaisar.
Tuk
"Huaaa, hamba bilang hamba sakit perut. Apakah Yang Mulia tidak mendengarnya? Percuma tampan kalau telinganya bermasalah. Dasar Kaisar menyebalkan!" Sharma yang menangis sambil memonyongkan bibirnya malah menyerupai ekspresi sok imut.
Kaisar mengusap kepalanya lalu mencubit bibir Sharma yang maju lima centimeter. "Maaf." Kaisar tidak marah walaupun kepalanya sudah dijitak. Ia seakan lupa bahwa dirinya adalah seorang Kaisar. Ya memang jika berhadapan dengan Sharma ia tidak pernah merasa menjadi seorang Kaisar karena Selirnya ini selalu membuat frustrasi.
"Sakeeeetttt! Huaa!" Sharma menangis dengan mulut yang lebar. Ia paling benci merasakan sakit perut seperti ini. Lambungnya seakan ditusuk oleh paku.
Kaisar membawa Sharma ke dalam pelukannya. "Cup, cup, sudah jangan menangis. Aku akan memanggilkan tabib."
Lagi-lagi Kaisar harus menggendong Sharma ke kamarnya. Tidak mungkin ia memerintahkan Sharma jalan sendiri. Jangankan jalan sendiri, digendong saja suara tangis Sharma seperti anak kecil yang dilempar batu oleh temannya.
Suara tangis yang nyaring sudah berhenti, tabib istana telah memberikan obat yang paling ampuh. Kini Sharma sedang berselonjor kaki di tempat tidur Kaisar.
"Asam lambung Selir Sharma naik, Yang Mulia. Hamba harap setelah ini Selir Sharma lebih memperhatikan makanan yang akan dimakan. Jangan terlambat makan, jangan makan makanan yang terlalu pedas dan asam," jelas tabib istana sambil membungkuk sopan.
Kaisar yang sedang berdiri tegak di samping ranjang menatap Sharma dengan tajam. 'Kau dengar itu? Maka menurutlah' itulah arti tatapan Kaisar yang dapat diartikan oleh Sharma.
"Baik, Tabib," jawab Sharma sambil melirik ke arah Kaisar.
"Jika tidak ada lagi, hamba izin undur diri, Yang Mulia." Tabib itu membungkuk lagi.
Kaisar hanya menjawab dengan anggukan kepala."Hamba permisi, Yang Mulia." Setelah membungkuk lagi, tabib istana pun meninggalkan kamar Kaisar dengan kaki yang gemetar. Sungguh, seumur hidupnya ia tidak pernah menginjakkan kaki ke kamar pribadi Kaisar. Jika Kaisar terluka, biasanya Kaisar akan diobati di ruang istirahatnya.
Setelah tabib meninggalkan kamar, Kaisar duduk di sisi tempat tidur. Di sana Sharma masih menunduk takut. Entah apa yang ditakutkan oleh gadis itu. Jika Sharma sakit, mana mungkin dirinya tega memberikan hukuman lagi.
Kaisar meraih ujung selimut lalu menarik selimut itu untuk menutupi kaki Sharma. "Istirahatlah." Setelah itu Kaisar berdiri dan berbalik untuk pergi.
"Yang Mulia mau ke mana?" tanya Sharma yang berhasil menghentikan langkah Kaisar.
Kaisar menoleh sedikit. "Aku ada urusan. Jika ada apa-apa, panggil saja bibi Anela." Kemudian Kaisar benar-benar keluar dari kamarnya.
* * * *
"Hormat hamba Yang Mulia Kaisar Negeri Alrancus." Semua prajurit di depan kamar Permaisuri Thanu membungkuk memberi hormat. Kaisar tidak menjawab apapun.
Tanpa diperintah, dua orang penjaga mengetukkan pintu untuk Kaisar. "Permaisuri, Yang Mulia ingin menemui Anda."
Berselang cukup lama, akhirnya terdengar suara lembut dari dalam. "Silahkan."
Dua orang penjaga itu langsung membukakan pintu kamar untuk Kaisar. Setelah pintu dibuka, Kaisar langsung masuk dan pintu pun kembali ditutup.
Mata Kaisar menatap kelambu berwarna putih yang transparan. Di atas tempat tidur, Permaisuri Thanu sedang duduk menghadap ke arahnya. Bahu putih Permaisuri tidak ditutup oleh pakaian luar. Permaisuri hanya memakai kemban (kemben) karena tadinya Permaisuri memang sedang tidur.
"Hormat hamba Yang Mulia Kaisar Negeri Alrancus." Permaisuri ingin turun untuk memberi hormat, namun Kaisar melarangnya.
"Tetaplah di sana." Kaisar berjalan menghampiri. Ia menyingkap kelambu putih itu lalu duduk di samping Permaisurinya. "Bagaimana kondisi kesehatanmu?"
Permaisuri tersenyum lembut. "Sama seperti biasanya. Tidak ada perubahan, tidak semakin baik ataupun semakin parah." Tangan lembut Permaisuri mengambil telapak tangan Kaisar. "Hamba dengar Selir Sharma sempat menghilang di hutan. Apakah dia baik-baik saja?"
Kaisar menghela nafas kemudian menatap dalam ke mata indah Permaisurinya. "Dia baik-baik saja. Jangan banyak pikiran." Tangan kanan Kaisar menyelipkan anak rambut Permaisuri Thanu ke belakang telinga. "Kau sudah tidak marah?" Kaisar bertanya tentang marahnya Permaisuri pada malam itu.
Permaisuri Thanu menggeleng. "Tidak, Yang Mulia. Hamba sadar, tidak seharusnya hamba cemburu berlebihan. Hamba tahu cinta Yang Mulia hanya untuk hamba." Permaisuri Thanu memeluk Kaisar dan langsung dibalas oleh Kiasar.
"Yang Mulia, hamba ingin-"
Belum sempat Permaisuri Thanu menyelesaikan ucapannya, Kiasar sudah memotong dengan ciumannya. Kaisar membaringkan Permaisuri dengan lembut lalu ....
Author tutup mata dan telinga 🙈.
Haduh, Kaisar Ariga. Jangan bikin hati pembaca panas dong. Oh ya, tenang, masih ada satu episode lagi. Ya sesuai dengan keinginan kalian Guys. Love you🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaisar & Sang Amora
Romantizm(Bukan reinkarnasi ataupun time travel, tapi dijamin seru. Jangan asal ditinggal, baca dulu minimal 10 bab, kalau menurut kalian tidak seru, saya ikhlaskan kepergian kalian wahai readers. Tapi pasti seru kok!) Sharma, seorang Amora atau penyihir put...