• BAB EMPAT •

695 66 33
                                    

Koridor kampus sepagi ini memang masih lengang, hanya ada Cayden dan Jounta dengan hubungan senior dan junior di sini. Ya, setidaknya, mereka bisa menganggap satu sama lain seperti itu selama di kampus, bukan sebagai kakak beradik bermarga Li yang terpandang. Mereka sudah berjalan berdampingan, berniat menuju kelas masing-masing untuk mengikuti jam perkuliahan pertama. Dua sisi keduanya terlihat bertolak belakang, jika Cayden sedang membaca buku—meski tidak dalam posisi nyaman, maka Jounta malah asik memainkan ponsel—mengecek laman dunia maya.

"Kakak ngga bosen belajar terus?" Karena sudah lima menit perjalanan mereka tanpa adanya obrolan, Jounta jadi percaya ia bisa mati penasaran jika ini diteruskan, "Plis, Kak. Jangan nyusahin hidup sendiri, deh."

Tapi, Cayden seketika menghentikan langkah sehingga Jounta pun menyetop kaki-kakinya dan mereka menukar tatapan tak terdefinisi, "Kan aku gini ada alasennya. Gara-gara tuntutan siapa coba? Ya Papamu," Memang benar, Cayden berada di jurusan ini untuk menyelesaikan studi yang Chris idamkan.

Setelah itu, Cayden berjalan lagi dan Jounta mengekori yang merasa salah bicara.

Yah, Jounta terpaksa mengalah, ia tidak boleh mendebat lagi jika ingin atmosfer di sekitarnya tak memanas. Namun, sungguh, demi apapun, ia tidak betah—alias hanya merasa kasihan. Cayden sudah tampak seperti robot dengan baterai penuh daya, tidak bisa di-charge dan akan terus bekerja sesuai perintah. Jounta tidak pernah suka cara berpikir ayahnya, tapi ia lebih tidak suka kakaknya tidak membantah hal itu.

Padahal Cayden pernah membangkang, tapi Jounta hanya mengira itu tak pernah terjadi sebegitu serius.

"Uh, Kak."

"Mm?" Gumaman Cayden terdengar acuh di telinga Jounta, "Apa?"

Mereka sudah di persimpangan koridor, Cayden harusnya belok kanan dan Jounta harusnya belok kiri. Tapi, Cayden mendelik ketika Jounta begitu saja merebut bukunya.

"Kak, lupain ini bentar. Ayo, bolos aja."

Cayden menaikkan sebelah alisnya. Seumur hidup, membolos adalah kata paling tabu baginya. Tapi hari ini, seringaian licik adiknya itu malah menggetarkan lubuk hati terdalamnya. Imaji seorang mahasiswa teladan mungkin sudah saatnya dilengserkan, Cayden membatin dengan sambutan bahwa ide Jounta memang cemerlang.

Sayangnya, yang keluar dari mulut Cayden adalah kesebalikan dari batinan tersebut, "Ngaco! Tempo hari, Papa udah dipanggil ke sini gara-gara kamu, masa iya aku mau ngikutin kamu?" Bahkan, oktafnya meninggi tanpa peduli di mana mereka sekarang sehingga Jounta hanya bisa mengerutkan kening.

"Ini bukan buat aku. Ini buat Kakak. Sekali aja, terbebaslah dari kungkungan Ilmu-Ilmu berbisnis yang udah kaya racun itu, Kak," Jounta memelas, ia lalu memegangi dua bahu Cayden sambil melempar tatapan penuh harap, "Ya? Aku cuman pengen Kakak seneng-seneng."

Cayden diam beberapa detik. Ia mengembuskan napas berat berkali-kali. Sesekali juga celingukan memperhatikan mahasiswa yang berlalu lalang di sekitarnya; yang bisa dihitung dengan jari ini. Yah, kampus masih tergolong sepi untuk mereka yang datang terlalu pagi.

"Terus, aku perlu balik ke sini nanti?"

Sebuah pertanyaan polos dari Cayden hanya akan dijawab Jounta dengan kedikan bahu dan kekeh kegelian.

"Kalo itu, sih, terserah Kakak aja," Lagi-lagi, senyum Jounta hadir sebagai penghasut maut sehingga Cayden berpikir lama sekali sampai hampir membuatnya kesemutan. Namun, menitan perang itu terbayar ketika Cayden berakhir mengangguk, entah pasrah entah setuju, "Ayo. Aku kasih tau tempat-tempat bagus."

"Kamu ikut bolos?" Cayden sangsi. Ia justru khawatir dengan kolom nilai dan grafik kehadiran Jounta, lebih dari pada itu, bagaimana jika ayah mereka tahu? "Hm, ngga usah, deh. Ngga jadi."

This is Home! [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang