• BAB DUA •

937 96 47
                                    


Malam seperti ini biasanya akan menjadi waktu paling pas bagi keenam anggota keluarga Li untuk berkumpul—dulu. Namun, karena satu malaikatnya telah hilang, jejak-jejaknya pun sengaja dihapus sehingga hanya sisakan kabut kelabu.

Ruang tengah ini hanya diisi oleh empat pangeran Li saja sekarang.

Cayden sedang berkutat dengan laptop dan kertas-kertasnya yang berceceran dan memenuhi seisi meja, Jounta asik bermain playstation bersama teriakan-teriakan tak serantannya, sedangkan Keyzan berbaring di sofa seraya menonton kegiatan kakak-kakaknya, sesekali ia menegur Cayden dan sesekali pula ia menyemangati Jounta .

"Whoa, Kak Jounta noob. Masa lawan komputer aja kalah,” Jounta tidak pernah sesakit hati itu jika saudara-saudaranya seenak perut mengejeknya. Jadi, termasuk ejekan Keyzan barusan, ia hanya membalasnya dengan usakan di kepala si bungsu, "Ish, Kak, nanti aku pusing, tau."

Akhirnya, Jounta berhenti dan sesegera itu terbahak, "Liat, ya. Abis ini, aku pasti menang. Kamu pasti muji-muji aku, Key."

Sepersekian detik kemudian, Brazka datang dari lantai dua, menyusul keberadaan saudara-saudaranya di tempat yang—setahun lalu begitu hangat. Kini, ia hanya mendapati kekosongan dan kehampaan, hanya ada televisi puluhan inci dan sofa beludru super empuk. Tetap saja, Brazka tetap merasa sulit berpura-pura bahagia setelah peristiwa menyakitkan itu. Ia juga cukup tahu bahwa tawa yang disebar dua kakaknya dan satu adiknya ini sekadar bualan semu.

“Oi, Kak Brazka, welcome to the club. Akhirnya, Kakak bosen juga belajar di kamar, ya?”

Brazka hanya mengangkat salah satu sudut bibirnya sebagai tanggapan untuk Keyzan. Ia lantas menyelimuti badan adiknya sampai sebatas dada, selimut tebal ini memang sengaja Brazka bawa karena nalurinya sehafal itu kalau Keyzan pasti merasa cukup kedinginan.

"Nanti kamu sesek lagi, Key. Jangan sampe sakit. Jangan bikin kita khawatir. Okay?"

Keyzan tersenyum pada Brazka sembari membenahi letak selimutnya. Ya, itu adalah inti mengapa ia bertahan sampai saat ini. Keyzan pikir dia memang tidak boleh membuat kakak-kakaknya kesulitan, mereka tidak boleh sedih lagi.

"Uhm, makasih, Kak," Brazka mengangguk sekali, lalu memposisikan dirinya sendiri agar duduk bersila tepat di sebelah Cayden. Jadi, Keyzan pun melanjutkan, "Kalian pada ngga makan malem?"

Ketiga kepala itu serentak mendongak demi menemukan raut polos Keyzan sedang meragu. Di sisi Keyzan, ia malah bertanya-tanya, apakah makanan yang ia buat kali ini berakhir di perut atau tong sampah lagi? Bukan. Mereka bukannya tidak menghargai, mereka bukannya tidak suka. Tapi, terkadang kesibukan menyela apapun, bahkan untuk urusan makan.

Cayden lebih dulu paham, ia menggeliatkan tubuh bersama uapan mulut lebarnya, "Haaah. Kenapa kamu masak terus, sih, Key? Kan ada Bi Zaima. Biar Bi Zaima aja aturan yang nyiapin semua. Kamu ngga perlu repot," Lalu, ia hanyut kembali pada layar laptop dan tulisan-tulisan yang memusingkan itu lagi.

Jounta dan Brazka sama-sama hanya menyumbangkan gumaman setuju pada pendapat kakak tertua mereka. Brazka lantas mengambil beberapa kue dalam toples, mengunyahnya dan menelannya buru-buru—ya, dia memang agak lapar. Jounta juga menyerah pada permainannya, mulai lelah dan memutuskan untuk meletakkan joystick di atas meja—ya, dia mendadak merasa bosan.

Kadang, kehidupan Li bersaudara di rumah besar ini terlihat baik-baik saja. Kadang pula, keempatnya sedang berlomba menyembuhkan luka bernanah di dada masing-masing.

"Yah, ngg apa-apa, Kak. Bi Zaima juga butuh istirahat, Bi Zaima juga udah beresin seisi rumah. Makanya, buat urusan makanan, biar aku aja. Toh, aku suka masak, itung-itung recall memori pas diajarin Mama masak. Lagian, bisa dipanasin buat dimakan besok pagi juga," Keyzan hanya sedang berusaha untuk—menghibur diri. Ia berujar ragu, setengah yakin setengah pasrah, "Oh ya, kebutuhan pokok bulanan kita nipis, Kak."

This is Home! [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang