Bab Tigapuluh Tujuh

299 21 12
                                    


"Kapan mau nikah?"

Yira memandang lawan bicaranya—Disa, gadis sebayanya yang memegang kendali atas finansial perusahaan. Dia hanya tertawa sepintas sambil menyortir dokumen mana saja yang perlu persetujuan Chris.

"Ati-ati ntar jadi perawan tua, loh."

Ejekan Disa kembali Yira balas dengan cebikan, "Nunggu duda anak empat dulu, deh. Siapa tau ngasih sinyal," katanya, lalu sibuk celingukan menanti Chris muncul dari pintu lift. Benar sesuai instingnya, pria tinggi tegap itu kini berjalan ke arahnya, sehingga dia sigap menyambut, "Selamat pagi, Pak. Ini beberapa profil perusahaan investor yang mau bergabung ke Ezzel."

Kemudian, mereka berdua berjalan berdua, meninggalkan dengusan Disa yang mencibir geli, "Dasar rubah."

"Sini saya bawakan."

Yira mendelik sekilas saat Chris mau mengambil alih setumpuk berkas yang hampir menutup separuh wajahnya ini, lalu menolak, "Ngga usah, Pak. Ini kan tugas sekretaris."

"Berat gitu. Dari pada kamu jatuh."

Alhasil, Chris tetap memaksa sehingga Yira pun menyerahkan separuh berkas yang kepayahan dia peluk tadi. Begitu sampai di depan ruangan bosnya ini, dia juga sigap membuka pintu. Setelah Chris duduk di kursi dan meletakkan berkas bawaannya, Yira juga turut menata berkas-berkas itu sambil berdiri kikuk.

"Butuh acc hari ini juga, Pak."

Chris baru menyalakan komputer, tapi selaan Yira yang dimaksudkan ke berkas-berkas tadi jadi menyita atensinya, "Oh, iya. Nanti saya panggil lagi kalo udah selese."

"Tapi, harus sekarang juga, Pak."

Chris memiringkan kepalanya, "Ya ampun. Saya aja belum ngopi."

"Dua sendok kopi item sama satu sendok gula putih, terus diaduk duabelas kali, kan?" Yira justru antusias menawarkan, "Saya buatin, Pak. Tapi, pas saya balik, udah harus ada perusahaan yang Bapak setujuin, ya."

Chris sempat bingung, jadi dia mengangguk gamang, "Iya. Makasih, ya."

Kemudian, Yira sudah melesat keluar dari ruangan ini, sehingga Chris jadi mewajarkan tingkah gadis itu dengan gelengan kepala.

***

Malam tiba, maka nyeri dan ngilu di sekujur badan renta Samir dan Zaima turut datang. Setelah seharian bekerja, keduanya pasti beristirahat di kamar dengan melewatkan makan malam. Makanya, anak-anak Li juga bergantian mengantar nasi dan lauk pauk ke kamar mereka ini.

"Pak Chris udah nyuruh kita pensiun, Bu."

Zaima mengernyit, serta merta urung menyamankan diri di ranjang empuk ini. Dia menoleh sebentar ke Samir yang duduk di sebelah, tapi sambil memunggunginya. Lantas, dia bergumam lirih, "Emang Bapak tega ninggalin anak-anak? Mereka aja ngga akur sama Papanya sendiri."

"Jelas ngga tega, tapi kita udah tua, bukan muda lagi."

Akhirnya, pasangan senja ini sama-sama berbaring sambil memandangi langit-langit kamar.

Zaima diam, sedikit banyak membenarkan bila vertigo-nya jarang bisa diajak kompromi.

"Pas cuci baju atau cuci piring, pusingku sering kambuh, Pak."

Samir menghela napas, "Nah. Makanya. Kalo kita tetep di sini, ngga mungkin kita santai-santai aja terus tetep digaji. Ngga enak. Malah Pak Chris bilang bakal tetep kasih gaji kita biarpun kita pulang ke kampung."

"Apa kita coba ngomong sama anak-anak, ya?"

Usulan Zaima barusan disetujui Samir, sepertinya mereka memang harus mengambil langkah untuk masalah ini.

This is Home! [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang