Meski harus berkutat dengan pekerjaanya, Chris tetap menyempatkan untuk mencuri pandang ke arah Keyzan; yang duduk di sofa sana sambil bermain gim di ponsel. Tidak ada obrolan apa-apa sejauh ini, setidaknya mereka bisa fokus dengan kesibukan masing-masing. Namun, sekian detik kemudian, Keyzan mengesah, sehingga Chris jadi menunggu apa yang mau dikatakan si bungsu ini.
"Pa."
"Yes?"
Keyzan bergumam, "Papa kapan ada waktu luang? Seminggu misal?"
"Lama banget?" Chris spontan mengernyit, "Mau apa emangnya?"
"Liburan. Ke Hawaii gitu. Kita punya uang sebanyak itu buat jalan-jalan ke sana, kan?"
"Loh, kan bentar lagi udah masuk sekolah," Chris merapatkan bibir, "Bener ngga?"
Keyzan malah berdecak, "Ngga dalam waktu deket ini. Maksud aku, Papa kosongin jadwal gitu. Masa Papa ngga bosen tiap hari ke kantor mulu? Ke ruangan ini? Demi Tuhan, aku baru sekali aja udah mual."
"Iya," Akhirnya, Chris melunak, "Nanti Papa liat dulu, ya. Paling ngga Maret baru agak longgar. Masih lama."
"Tapi," Keyzan tiba-tiba menekan, "Dari dulu Papa selalu bilang gitu. Nanti Papa liat dulu atau ngga tunggu bentar dulu, sampe aku lupa pun tetep ngga ada kepastian. Kayanya, yang sekarang juga berakhir sama, alias cuma sekadar wacana doang."
"Key," Mendadak, Chris memanggil, "Kan Papa minta buat maklumin pekerjaan Papa. Kalo Papa ngga gini, mau makan apa kita? Terus, biaya obat-obatanmu pake duit apa?"
Kali ini, Keyzan tulus tersenyum, "Oh, bener. Obat-obatanku ngga murah. Belom lagi kalo aku kambuh, ada biaya opname. Jutaan, ya? Lebih? Maaf, ya, Pa. Aku cuma bisa ngerepotin."
Sebelum Chris menyela lagi, pintu ruangan sudah terbuka. Ada Yira di sana. Maka, perdebatan singkat ayah dan anak ini terpaksa berhenti saat Yira mendekat ke meja Chris dengan diselingi tatap tajam dari Keyzan.
"Maaf, Pak. Ini dokumen visi misi dan poin-poin penawaran dari Marson Company. Bapak bisa baca dulu baru ditandatangani. Nanti untuk urusan teken kontrak dan selebihnya, bisa dibicarakan kalau pihak kita setuju."
Chris menyimak baik-baik penjelasan Yira, sementara Yira harus menjaga debarannya saat Chris balik menatapnya. Di saat pertukaran itu, Keyzan menyadari ada yang tidak beres di sini—entah di perasaan si sekretaris atau di perlakuan ayahnya. Bagaimanapun, Keyzan tidak pernah suka Chris berdekatan dengan wanita lain selain Violet. Memang dia seegois itu, tapi bukankah semua anak akan berpendapat demikian? Tentu. Terlebih setelah kepergian mendiang ibunya masih sisakan luka mendalam.
"Kalo gitu, saya pelajari dulu."
Yira mengangguk, masih dengan senyum terukir manis, "Baik, Pak."
"Sekalian nanti suruh Daril selesein laporan keuangan bulan ini, ya."
Yira mengangguk lagi dan Keyzan memicing saat ada jarak yang sengaja dieliminasi di situ. Maka, tak ayal bila Yira merasa risih dengan mata bulat Keyzan yang sejak tadi tak luput dari mengawasi setiap gerak-geriknya. Sekian detik berlalu dan sudah tidak ada kepentingan apa-apa, Keyzan mulai sangsi mengapa Yira belum mau juga keluar dari ruangan ini.
Jadi, ada dehaman yang memutus kontak mata Chris dan Yira dalam sekejap.
"Pa, aku laper, kan mau minum obat. Lagian, udah waktunya makan siang. Mbak Yira ngga istirahat apa?"
Telak.
Yira tergelagap dan segera menghitung langkah mundur, "Oh, iya. Key selamat makan, ya. Kalau begitu, saya pamit dulu, Pak," Lantas, dia bergegas menjauh dari jangkauan Chris dan Keyzan.
KAMU SEDANG MEMBACA
This is Home! [✓]
Teen FictionKeluarga Li sudah tidak memiliki kehangatan seperti dulu. Semenjak istrinya meninggal dunia, Christophine Li atau biasa disapa Chris, tinggal dengan keempat anak laki-lakinya yang tampak seperti monster. Mereka selalu menganggapnya sebagai ayah yang...