Semalam, Keyzan tidur di kamar Jael—untuk pertama kali, dia menginap di rumah teman, yang mana bukan rumahnya sendiri. Selain itu, ini juga pertama kali baginya diijinkan pergi tanpa pengawasan ketat. Keyzan melenguh sesaat sebelum mengintip Jael yang harusnya tidur di kasur bawah, tapi ternyata sudah kosong. Kemudian, dia memeriksa ponselnya, yang ajaibnya tidak satu pun orang rumah merecoki atau memaksa dia untuk pulang.
Alhasil, Keyzan akhirnya memutuskan untuk keluar kamar. Begitu usai menutup pintu, bau masakan menguar dari arah dapur. Sepersekian detik kemudian, dia sudah bergabung dengan Jael di meja makan, menanti Luna menyajikan menu sarapan mereka.
"Good morning," sapa Jael, sedikit banyak bermaksud meledek, "Siang banget bangunnya. Nyenyak, ye? Padahal pasti masih lebih nyaman kamar kamu, Key."
Keyzan mencebik, lantas menyeruput segelas susu yang memang disediakan untuknya, baru menimpali, "Yah. Mana aja enak, kok. Tapi, aku ngga ngorok kaya kamu, El."
"Apaan?" sergah Jael, kini menoleh cepat ke lawan bicaranya, "Kamu emang ngga ngorok, tapi bunyi napasmu serem, tau, Key."
Sekejap itu, Keyzan tercenung. Dia sempat meraba dadanya sendiri. Kalau napasnya masih berbunyi, berarti dia tidak bisa dikatakan seratus persen sembuh. Namun, di sela beragam asumsi tersebut, Luna datang dengan dua piring berisi omelet, sosis panggang, dan telur mata sapi, yang kemudian dia taruh di hadapan Jael dan Keyzan.
"Maaf, ya. Tante cuma bisa masak yang sederhana-sederhana."
Keyzan tersenyum tipis, lalu meraih garpu dan pisau miliknya, "Ini udah keliatan enak, kok, Tante. Makasih!"
"Tumben mewah banget sarapan kita, biasanya juga nasi uduk kalo ngga nasi pecel. Mana menu bule gini," komentar Jael, tapi tetap mengunyah suapan demi suapan yang ia lesakkan ke dalam mulut, "Gara-gara ada Key, ya?"
Keyzan jadi menggigit bibir, seketika merasa tidak enak hati, "Duh, harusnya ngga usah repot-repot ganti menu, Tante. Aku kan doyan semuanya."
Namun, Jael segera menepuk bahu Keyzan, "Ngga papa, ih. Lumayan, tau. Aku udah bosen makan gituan. Lagian, menu gini ngga mahal, kok."
Luna setuju. Setelah dia duduk di hadapan Jael dan Keyzan, dia jadi menopang dagu sambil memperhatikan kedua remaja laki-laki ini menikmati sarapan buatannya. Lantas, berujar riang, "Ngga usah mikir aneh-aneh, Key. Tante seneng ada kamu di sini. Jael jadi ngga kesepian. Terus, dengan bilang masakan Tante enak aja, Tante udah seneng, kok. Lagian, kalo kasih makan kamu aneh-aneh, Tante takut ngga cocok sama pantanganmu."
Kemudian, tidak ada obrolan lagi di antara mereka sampai-sampai sebuah ide terbersit di benak Luna.
"Oh, ya. Mama Keyzan dulu suka masak apa?"
Kali ini, bukan hanya Keyzan yang terhenyak, tapi Jael pun demikian. Dia sama sekali tidak habis pikir dengan isi kepala tantenya.
"Banyak."
Jael sadar bahwa Keyzan enggan membicarakan topik itu, jadi dia pun segera berdeham sambil menendang kaki Luna di bawah meja sana—berharap isyaratnya berhasil untuk membungkam wanita itu. Jadi, dia menyela, "Abis ini ke warnet game aja, Key. Kamu belom pernah—"
"—berarti mamanya Keyzan pinter masak, ya. Oh, terus, selain masak, mamanya Keyzan pinter apa lagi?"
Jael berdecak begitu mendapati Luna berani memotong ucapannya. Dia sempat melirik Keyzan dan hanya menemukan tundukan kepala di sana.
"Abis sarapan, boleh minta tolong anter aku pulang?"
Jael menghela napas, dia tahu sebab perubahan Keyzan sehingga buru-buru memindah tatapan tajamnya ke arah Luna.
KAMU SEDANG MEMBACA
This is Home! [✓]
Teen FictionKeluarga Li sudah tidak memiliki kehangatan seperti dulu. Semenjak istrinya meninggal dunia, Christophine Li atau biasa disapa Chris, tinggal dengan keempat anak laki-lakinya yang tampak seperti monster. Mereka selalu menganggapnya sebagai ayah yang...