Setelah Serka dan Eliya mengabari berita terburuk yang menimpa salah satu cucunya di rumah Li, Wilman benar-benar syok sampai dia tidak bisa menjaga keseimbangan diri. Hanya berbekal nomor kamar, dia pun memacu kaki-kaki rentanya untuk menerobos orang-orang yang memenuhi jalannya. Dia panik, seketika kalut. Ada banyak spekulasi dalam benaknya; tentang bagaimana bisa Brazka berakhir demikian, tentang keadaan Brazka yang entah bisa pulih atau stagnan, dan tentu sekaligus dengan rasa bersalahnya yang telah abai terhadap anak-anak Violet.
"Pelan-pelan, Pak. Jangan lari."
Wilman tidak menggubris peringatan Dirman—sekretarisnya. Dia hanya ingin cepat sampai di kamar rawat inap Brazka. Begitu tiba, dia malah bersitatap dengan Chris, yang baru saja menutup pintu kamar dan kini mendapati keangkuhan ayah mertuanya.
"A—Ayah."
Ada banyak hal yang mau Chris ucapkan, tapi Wilman sudah lebih dulu mencekal kerah kemejanya.
"Kamu apain cucu saya? Kamu apain sampe dia mau mutus nadinya sendiri?! Brazka bisa sampe kayak gitu pasti karna ulah kamu, kan?!"
Teriakan Wilman tersebut sempat mendapat atensi dari beberapa orang yang berlalu lalang di koridor ini, maka Dirman sigap menarik mundur tubuh senja itu sambil berbisik macam-macam. Namun, Chris belum sempat membalas tuduhan itu karena Wilman sudah melewatinya untuk masuk ke kamar Brazka. Sehingga, dia perlu mengusap wajahnya sekali dan terduduk di lantai. Seketika juga ragu apa bisa dia melanjutkan napasnya setelah ini.
Begitu mendorong pintu, Wilman temukan ketiga cucunya yang tidak terbaring di ranjang; Cayden, Jounta, dan Keyzan yang serempak menoleh padanya dengan raut tidak percaya. Lantas, Wilman berjalan pelan hingga tiba di samping Brazka, yang masih senantiasa mengatupkan mata sipitnya.
"Opa? Ini beneran Opa?"
Wilman tersenyum getir, dia pun mengangguk untuk mengurai penasaran Keyzan barusan.
"Opa!"
Setelah pekikan serempak mereka bertiga, Wilman harus menahan haru saat cucu-cucu yang begitu dia rindukan menghambur ke pelukannya—dengan tangis yang menyimpan segala bentuk jenis luka.
"Gimana kabar kalian?" tanya Wilman, masih sambil merengkuh badan-badan remaja yang jelas lebih kokoh darinya ini. "Maafin Opa karna baru hari ini nemuin kalian lagi. Maafin Opa karna secara sengaja bermaksud menjauh dari kalian semua. Maaf. Maaf, ya?"
Kemudian, pelukan itu terlepas, sehingga Wilman bisa memandangi tiga pasang netra yang masing-masing menguarkan tatapan tak terdefinisi. Secara naluriah, dia seperti diberi petunjuk bahwa mereka tidak baik-baik saja. Namun, betapa besar hati mereka sebab tidak ada yang mau membahas pengakuan itu lebih lanjut.
"Kata Dokter gimana?"
Cayden, sebagai si sulung yang harus mewakili adik-adiknya, berdeham, "Dia udah dapet transfusi darah. Papa juga donorin darah semalem. Terus, sekarang tinggal nunggu sadarnya aja. Dokter bilang, dia mungkin masih syok."
Wilman tertegun seketika, dia hampir limbung bila Jounta dan Keyzan tidak sigap memeganginya.
"Gimana bisa Brazka kepikiran buat bunuh diri?"
Kali ini, Cayden dan Jounta sama-sama bungkam sebab yang tahu kronologinya adalah Keyzan. Sekian detik berlalu, Keyzan ternyata juga tidak mau mengingat kembali memori kelam itu. Maka, Wilman pun paham, sehingga tidak mendesak lagi.
"Tapi, kalian bertiga nggak papa, kan?"
Jounta, sebagai satu-satunya yang tidak bisa berlama-lama di sini, mencicit, "Aku harus balik abis ini. Aku nggak bisa nemenin Brazka seterusnya. Aku juga nggak bisa nunggu sampe Brazka sadar."
KAMU SEDANG MEMBACA
This is Home! [✓]
Teen FictionKeluarga Li sudah tidak memiliki kehangatan seperti dulu. Semenjak istrinya meninggal dunia, Christophine Li atau biasa disapa Chris, tinggal dengan keempat anak laki-lakinya yang tampak seperti monster. Mereka selalu menganggapnya sebagai ayah yang...