Bab Delapanbelas

417 28 9
                                    

"Masih pagi udah ngelamun aja."

Brazka berjingkat ketika Jounta menepuk bahunya, entah kalimat barusan berupa sapaan atau sindiran, tapi dia melamun dengan alasan. Kemudian, ada Cayden menyusul ke meja makan sini dan langsung duduk di sebelah Jounta, mereka berdua tepat di hadapannya sekarang. Sejauh ini, sikap Jounta tidak berubah, dia sama seperti hari-hari kemarin, seperti tidak sedang berperang dengan perasaannya. Brazka paham, tapi Cayden khawatir.

"Kalian kuliah hari ini?"

Cayden hanya menggerakkan alis sebab mulutnya sudah penuh dengan sandwich.

"Yap. Aku ada ujian. Hari ini Papa yang nganter kamu sama Keyzan, kan?" Jounta balas bertanya dan Brazka pun menjawab dengan anggukan, "Keyzan belum turun? Tumben."

Cayden tetap menyimak sekaligus mengobservasi interaksi Jounta dan Brazka.

"Keyzan masih nyiapin buku-bukunya," kata Brazka sambil meneguk segelas jus jeruk, lalu buru-buru beranjak dari duduknya, "Uh, aku lupa catetanku ketinggalan di kamar, aku naik dulu, ya."

"Bentar, tunggu," Akhirnya, Cayden bersuara dan secara otomatis menyetop pergerakan Brazka—yang begitu ingin melarikan diri, "Kamu lagi ngehindarin siapa? Jounta?"

Tepat sasaran, tapi Brazka cepat-cepat menggeleng, "Apaan, sih? Ngapain aku gitu?"

"Ya emang iya," Kemudian, Cayden sengaja melirik Jounta—yang tetap tenang menggigit roti isinya, "Keliatan banget, tau. Lagian, kakakmu ini, lho, ngga papa."

Jounta mengangguk berulang kali, membenarkan tanpa melihat ekspresi Brazka.

"Jangan dikira aku ngga ngerti apa-apa, ya. Kalo kalian berdua ada masalah atau ada yang ngganjel, buruan diomongin sebelum makin ke mana-mana," Cayden menekan, menunjukkan seberapa bijaksana dan seberapa berwibawa dia sebagai si sulung yang harus bersiap membantu adik-adiknya, "Jounta ngga cerita, tapi aku tau aja. Kamu juga ngga bilang apa-apa, tapi aku juga tau aja. Gimanapun, kalo soal hati emang ngga bisa diremehin apalagi dipaksain."

Sederet masukan dari Cayden mendadak mengubah atmosfer jadi canggung, sampai akhirnya Chris dan Keyzan bergabung dengan mereka.

"Pagi, Den. Pagi, Ta. Pagi, Braz."

Sapaan Chris barusan tentu saja tidak mendapat balasan, kecuali seulas senyum tipis dari Jounta—yang serupa bentuk terima kasih karena semalam sudah menepati janjinya. Ya, itu memang hanya menurut Chris sendiri, padahal belum tentu begitu.

"Duduk, Key. Kamu ngapain cengo gitu?"

Teguran Jounta akhirnya membuat Keyzan menarik kursi di sebelah Brazka dengan gerakan lamban. Barusan, ia hanya takjub pada sarapan hari ini, sandwich dan orange juice, siapapun tahu Zaima tidak pandai memasak hidangan western.

"Emang Bi Zaima udah bisa masak ginian sekarang?"

Chris tertawa sedetik pada rasa penasaran Keyzan dari tempatnya duduk di ujung sini, tepat di dekat Jounta dan Brazka, yang sepertinya sedang terlibat sesuatu.

"Aku beli semalem," jelas Cayden, serta merta membuat Keyzan tak berlarut-larut ingin tahu lagi, "Abisin aja. Jadii bekal sekalian, deh."

Chris menyeruput kopi sebelum melirik masing-masing wajah Brazka dan Jounta. Jounta mungkin biasa saja, tapi Brazka tidak pernah mengurangi kadar cerewetnya sedrastis ini.

"Kak. Kak Brazka?"

Panggilan Keyzan bahkan tidak disahuti.

"Ayo, Pa. Berangkat sekarang. Keburu telat nanti."

Ketika Brazka tiba-tiba berdiri, semua pasang mata di sana reflek merasa heran. Chris sempat melirik arlojinya, masih ada sisa satu jam lebih sebelum bel sekolah dibunyikan, begitu pula dengan Cayden, Jounta, dan Keyzan yang jadi saling melempar tatapan.

This is Home! [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang