Bab Limapuluh

274 24 5
                                    

Wilman sigap melambai begitu Jatra melewati pintu kafe sambil celingukan demi menemukan dirinya. Setelah itu, mereka duduk berhadapan di sebuah meja dekat jendela. Kebetulan, Wilman sudah memesankan Jatra secangkir kopi manis, sehingga mereka dapat mengobrol dengan nyaman.

"Saya ngga ganggu jam kerja Dokter?"

Jatra tersenyum, lalu menggeleng sopan, "Ngga, Pak Wilman. Ini masih terhitung jam makan siang, kok. Lagian, saya ngga ada pasien kritis yang perlu dioperasi."

"Saya bingung harus manggil Dokter dengan sebutan apa."

Jatra masih tersenyum, kali ini mengangguk sekali, "Mm, panggil Jatra aja, Pak. Lagian, saya jauh lebih muda dari Bapak," ujarnya, "Jadi, ada perlu apa? Uh, atau mau ngomongin Keyzan?"

Setelah informan terpercayanya pulang kampung, Wilman benar-benar tidak bisa berkutik. Tanpa Samir, dia tidak dapat kabar terkini cucu-cucunya, terutama Keyzan yang kesehatannya tak senormal orang lain. Kini, dia punya informan baru. Tuhan ternyata masih membantunya sebab atasan Jatra adalah teman semasa sekolahnya dulu, sehingga tidak sulit untuk membuat janji temu seperti ini.

"Sebelumnya, saya mau minta maaf, Nak Jatra."

"Bapak kan terhitung wali pasien saya juga," Kemudian, ingatan Jatra melayang ke sosok Violetta yang nyawanya tak berhasil dia selamatkan, "Baik untuk mendiang Bu Violet dan juga Keyzan."

"Nak Jatra pasti masih merasa bersalah. Jangan, ya. Toh, saya sekeluarga udah nganggep itu takdir, kok. Lagian, Nak Jatra dan tim udah mengusakan yang terbaik buat anak saya," Lalu, Wilman tersenyum, dengan sengaja mengusir bayang Violet dari benaknya, "Makasih, ya."

"Jangan bilang makasih, Pak. Saya gagal."

Tundukan kepala Jatra dapat dimaklumi Wilman. Dia bahkan dengar kabar bahwa butuh waktu lama bagi Jatra untuk memulihkan diri. Laki-laki berparas tampan itu sempat menolak mengobati pasien lain dan berniat mundur dari posisinya sebagai Dokter Spesialis. Karena atmosfer berubah sendu, Wilman tahu ini saatnya untuk mengganti topik sebelum Jatra semakin berlarut.

"Saya sebenernya mau tau perkembangan Keyzan, Nak Jatra."

Dalam sekejap, Jatra spontan mendongak, semangatnya terdongrak lagi, "Oh, Keyzan. Operasi pertamanya sukses, Pak. Jangan khawatir. Dia cuma harus rutin minum obat pengencer darah biar ngga ada gumpalan darah di jantung. Terus, tetep harus tarak makan makanan mengandung gula berlebih dan minum minuman mengandung kafein tinggi. Satu lagi, dia ngga boleh terlalu stres. Takutnya, ada sesuatu yang micu, terus dia tiba-tiba serangan jantung. Soalnya, kalau serangan jantung terlambat ditangani, pasien bisa mengalami mati otak alias koma."

Wilman paham penjelasan Jatra, maka sambil mencerna baik-baik, dia juga sempatkan untuk menyeruput tehnya, "Silahkan diminum, Nak."

Begitu Jatra melingkarkan jari-jari di cangkirnya, dia jadi segan mendapati ekspresi Wilman yang tampak kurang puas. Entah, mungkin pria beruban itu khawatir, mungkin pula menyayangkan suatu hal. Maka, dia melanjutkan lagi, "Sebenernya, jantung Keyzan itu jauh lebih kuat dari jantung Bu Violet. Karna mungkin dia sudah ditangani sejak lahir, sementara Bu Violet baru ketahuan setelah beliau sudah SMA. Menurut riwayat dari Dokter sebelum Bu Violet dipegang oleh saya, jantung Bu Violet cenderung lebih rentan, sedangkan jantung Keyzan masih ada harapan. Jadi, keduanya berbeda, Pak."

Maksud Jatra, tentu Wilman tak perlu khawatir bila Keyzan berakhir sama seperti Violet. Bagaimanapun, keterangan Jatra barusan harus diterima Wilman. Dia lega bukan main bisa mendengar langsung keadaan cucunya dari Dokter yang bersangkutan. Meski begitu, tak memungkiri bahwa dia masih merasa takut—bila suatu hari nanti, Keyzan akan stres, lalu karena ada pemicu, dia jadi serangan jantung. Toh, mengingat betapa kacaunya keluarga Li, semakin membuat Wilman yakin. Entah kapan, sesuatu yang besar pasti akan terjadi.

This is Home! [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang