Bab Duabelas

410 33 2
                                    

"Kamu beneran ngga tertarik sama bisnis, Den?"

Meski, Chris sedang duduk berhadapan dengan Cayden saat ini, keduanya tetap sibuk dengan setumpuk dokumen di hadapan masing-masing.

"Papa tau sendiri," Cayden menyahut tanpa membiarkan matanya bertemu mata Chris. Ia masih asik membolak-balik sederet kertas demi kertas yang sama sekali tak ia mengerti maksudnya. Sementara Chris juga kembali melanjutkan pekerjaannya, menyortir berkas-berkas untuk dia tanda tangani, "Tapi, kalo bukan aku, siapa lagi yang memungkinkan jadi pewaris Papa?"

Chris cukup terkejut dengan balasan Cayden, tapi tetap tak memungkiri untuk membenarkannya. Ia ingat bagaimana Jounta dan akademiknya yang buruk, Brazka yang hanya fokus belajar untuk jadi Dokter, apalagi Keyzan dengan fisiknya yang tak memungkinkan—secara otomatis lemah sudah mencoret namanya dari daftar pewaris Ezzel Corp.

"Di samping berbisnis, kamu masih bisa main alat musik kesukaanmu, kan?"

Chris setahu itu seberapa besar Cayden mencintai musik. Anak sulungnya ini selalu berlatih piano, gitar, drum, bahkan biola, intinya semua alat musik ia babat habis. Chris juga setahu itu seberapa besar keinginan Cayden masuk jurusan seni dan menimba ilmu tak pasti di sana. Yah, menurutnya, musik hanya bisa dijadikan sebagai hobi, bukan pekerjaan. Tapi, setelah Cayden terpaksa masuk jurusan bisnis, dia putuskan untuk meninggalkan ketertarikannya terhadap musik, dia enggan terhubung lagi dengan musik, dan merelakan mimpinya terasa lebih baik.

"Lagian, alat-alat musikmu itu masih ada di gudang semua."

Setelah lama membiarkan Chris mengoceh sendiri, Cayden akhirnya menimpali, "Mau aku buang."

Deklarasi Cayden barusan, sedikit banyak menyentak idealisme Chris sebagai seorang ayah, yang bahkan tega menjauhkan mimpi anaknya sendiri. Setiap ada pemikiran demikian, dia akan memberi pembelaan berupa—ini yang terbaik buat Cayden, demi masa depannya, demi kehidupan selanjutnya.

"Aku juga ngga mau masa mudaku jadi sia-sia karna aku ngga manfaatin waktuku baik-baik," tambah Cayden, masih tampak tenang, tapi sengaja menyindir, "Persis kaya yang Papa bilang, mau jadi apa aku kalo hidup bergantung sama musik?"

Chris menghela napas, ia jadi tak bersemangat lagi melanjutkan pekerjaannya.

"Berapa kali Papa bilang kalo yang terbaik saat ini adalah memaksimalkan kinerja perusahaan kita, Den. Ini satu-satunya hal yang udah pasti akan nyelametin keluarga kita nanti. Papa gini kan demi nyiapin kamu jadi penerus Papa, yang nantinya ngewarisin Ezzel. Kamu punya tanggung jawab gede nanti, ke ratusan karyawan, bahkan ke adek-adekmu yang gantungin hidup mereka ke kamu."

Giliran Cayden yang berhenti dari kegiatannya sekarang, lalu ia melepas kacamata, menyandarkan punggung, dan menatap lurus-lurus iris Chris, baru berdesis, "Ya, bener. Lagian, kan aku udah nurutin kemauan Papa yang itu. Aku ngga bantah, aku ngga nyangkal, aku mau jadi pewaris," Lantas, dia tersenyum meremehkan, "Oh iya, abis aku jadi pewaris Papa nanti, aku bebas ngelakuin apapun, kan?"

"Emangnya apa yang mau kamu lakuin?"

Cayden melipat tangan di depan dada, sekian detik membiarkan Chris menunggu lanjutannya, "Papa penasaran? Yah, karna aku udah jadi pewaris, aku punya kendali atas semuanya dan bebas merintah sana sini, kan? Jadi, kalo aku mau limpahin kekuasaanku ke orang lain, tetep legal, kan?"

"Mana bisa gitu? Jangan ngaco, ya. Ngga bisa lah."

Cayden terkekeh, "Kenapa ngga? Papa khawatir aku ngga bisa hidupin adek-adek aku kalo ngga nerusin Ezzel? Ya emang, mau ngga mau, suka ngga suka, salah satu dari kita emang harus ngelola Ezzel since dari Ezzel kita semua bisa idup. Tapi, ngga harus dengan membunuh mimpiku dan apa cuman aku kandidatnya? Uh, iya. Aku lupa. Jounta ngga kepilih karna dia ngga sepinter aku? Tau gitu, aku jadi bego aja biar ngga dipilih."

This is Home! [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang