Setelah Ashta memastikan kalau Brazka bisa pulang begitu luka-luka di lengannya mengering, Chris pun lega. Dia berakhir menyendiri di taman rumah sakit. Duduk bersama sepi di saat semua orang mulai meninggalkan pelataran ini. Lantas, dia mendongak dan mendapati langit jingga di atas kepalanya.
"Semuanya nyalahin aku, padahal mana ada seorang ayah berniat jahat ke anak-anaknya, sih? Aku juga nggak mau Jounta berakhir jadi pecandu, aku juga nggak mau Brazka berakhir jadi pengidap self-injury. Kenapa? Kenapa nggak ada yang berpihak sama aku?"
Monolog Chris barusan tersapu angin, begitu saja hilang tak berbekas. Namun, tatapannya menuju awan berkemelut sekaligus sisa matahari itu berakhir saat Yira tiba-tiba mensejajarinya. Gadis ini datang dengan senyuman, ada kotak bekal yang tahu-tahu saja dia buka.
"Sore, Pak," sapa Yira, kini tatapannya bertumbuk dengan mata lelah Chris. "Saya tau, Bapak pasti belum tidur apalagi makan."
Chris lalu memindah tatapan dari wajah berseri Yira menuju berbagai macam dimsum yang disuguhkan untuknya. Selanjutnya, Yira menyodorkan sumpit, yang dengan gamang dia terima.
"Cobain dulu, Pak."
"Kamu kok tau saya di sini?" tanya Chris sambil mencubit satu dimsum menggunakan sumpitnya.
"Dimakan dulu, Pak."
Yira sengaja menyuruh Chris agar tidak memikirkan topik lain selain waktu berdua mereka. Sehingga dia refleks tersenyum lebar saat Chris sudah mengunyah dan menelan dimsum buatannya.
"Gimana? Enak?"
Chris mengangguk sekilas.
"Syukur, deh. Saya kira bakal hambar."
Kemudian, Chris taruh sumpit itu di sisi kotak bekal dan mulai mengembalikan topik sebelumnya, "Kamu tau dari mana saya di sini? Saya belum ngabarin apa-apa."
"Kebetulan itu emang takhayul, Pak. Tapi, kebetulan saya mau periksain anemia saya yang kambuh terus belakangan ini, nggak taunya sekelebat liat Bapak ngelamun di sini. Ya udah, saya samperin."
Meski sesederhana itu, untuk saat ini Chris tidak menyangsikan apa-apa lagi. Kemudian, dia memandang lurus ke depan dan bergumam, "Makasih. Semoga kamu cepet sembuh juga."
Yira akhirnya mengikuti arah tatapan Chris, yang ternyata tertuju ke sepasang orang tua yang sedang menemani anak laki-laki mereka bermain di bak pasir. Tampak menyenangkan, sungguh membahagiakan. Chris hanya melayangkan ingatannya menuju masa lalu, masa di mana dia dan Violet pernah melakukan hal itu untuk anak-anaknya juga.
"Mas Keyzan sakit lagi, Pak?"
"Bukan," Chris menggeleng lemah, "Brazka. Percobaan bunuh diri."
"Mas Brazka? Gimana bisa, Pak?"
Chris mengedik, "Gara-gara saya lalai pastinya," Lantas, dia sigap menunduk, "Semua orang nyalahin cara didik saya. Sekarang ini, semuanya jadi makin berat, makin sulit, dan saya bahkan nggak tau apa masih bisa melaluinya."
"Bapak jangan patah semangat dulu. Belum saatnya buat putus asa. Yah, walaupun saya nggak ngalamin apa yang Bapak alamin, meskipun kesannya ngomong itu gampang dibanding ngelakuin, tapi coba Bapak paksa bertahan dulu. Paling nggak, demi Mas Cayden, Mas Jounta, Mas Brazka, sama Mas Keyzan."
"Mereka aja benci saya."
"Mereka benci karna Bapak nggak ada itikad buat—maaf, berubah. Maksud saya, cari tau kenapa mereka benci Bapak—"
"—karna saya pernah nyelingkuhin ibu mereka. Violet. Kamu inget perempuan yang nerobos masuk ke ruangan saya tempo hari? Dia Luna. Dulu pernah jadi selingkuhan saya. Sejak Violet tau hubungan itu, kesehatannya memburuk. Dia syok, dia stres, dan berakibat ke jantungnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
This is Home! [✓]
Teen FictionKeluarga Li sudah tidak memiliki kehangatan seperti dulu. Semenjak istrinya meninggal dunia, Christophine Li atau biasa disapa Chris, tinggal dengan keempat anak laki-lakinya yang tampak seperti monster. Mereka selalu menganggapnya sebagai ayah yang...