Bab Empatpuluh Sembilan

219 25 16
                                    

Langit sore hari ini mendung. Mumpung gerimis belum turun, Jounta penuhi permintaan Cayden untuk bertemu berdua saja di kantin kampus. Tanpa memesan makanan, keduanya hanya melingkarkan jari di cangkir kopi masing-masing.

"Jadi, apa yang bikin Kakak akhirnya nge-chat aku setelah hampir seminggu ini diemin telpon kita bertiga?"

Cayden berdeham kikuk. Semula dia ingin memulai lebih dulu, tapi Jounta sudah menduluinya dengan nada tajam seperti itu. Lantas, dia bergumam, "Sebelumnya sori, Ta. Aku minta tolong pahamin posisi dan situasi aku, ya."

Sekejap itu, Jounta medengus dan berpaling ke arah lain. Tatapannya tak lagi menetap di wajah Cayden, tapi sudah menuju gerumbulan mahasiswa di meja sebelah. Dia hanya ingin Cayden tahu seberapa menyebalkannya didiamkan. Meski Jounta tidak bermaksud demikian. Pada dasarnya, dia bungkam sebab tidak tahu harus membahas apa. Demi apa pun, dia merindukan Cayden dan sungguh ingin memeluknya saat ini juga.

Cayden akhirnya berusaha menarik atensi Jounta lagi, "Sumpah. Aku ngga maksud ninggalin kalian dan lari dari tanggung jawab aku sebagai sulung dan pewaris Ezzel. Tapi, Ta, sekali lagi sori. Aku bener-bener ngga bisa maksa bertahan di sana."

"Biarpun buat kita? Buat adek-adek Kakak? Oke, ngga usah liat aku. Liat Brazka sama Keyzan aja yang tiap hari nanyain Kakak. Aku udah ngga ada stok jawaban, Kak."

Jounta tidak sungkan lagi meloloskan segala rasa frustasi yang mengendap di dirinya. Dia tunjukkan agar Cayden paham bahwa dia juga menderita. Dia tidak bisa maklum. Dia sama sekali tidak bisa mengalah.

"Aku janji," cicit Cayden, "Aku pasti pulang. Tolong tunggu. Ngga sekarang, ngga dalam waktu dekat ini, Ta. Kamu percaya aku, kan?"

"Aku pegang janji Kakak," desis Jounta, "Aku jagain Brazka sama Keyzan. Aku terima kenyataan buat gantiin Kakak."

Kali ini, Cayden mendelik dan sejenak merasa bersalah, "Kamu ngga perlu nerima—"

"—gimana bisa? Aku mau nolak dengan cara kabur kaya Kakak juga? Terus, Brazka sama Keyzan gimana?" Jounta menekan tiap kata dalam kalimatnya, kini dia terang-terangan menghujamkan tatapan tajam ke Cayden, "Asal Kakak janji balik. Asal Kakak ngga ninggalin kita. Tenang. Aku ngga gitu aja mau terima tawaran Papa, aku tetep ajuin syarat. Ya, aku harus bikin kesepakatan, seengganya."

Sedikit banyak Cayden pun merasa sangsi, "Syarat apa? Kesepakatan apa? Ngga bahaya—"

"—ngga," Jounta menggeleng tegas, "Itu biar jadi urusanku sama Papa aja. Buat sekarang, jelasin keperluan Kakak."

Meski mengandung nada ketus dan mengekspresikan mimik sinis, Cayden tetap mengulas senyum dan merasa bangga dengan keberanian Jounta. Sehingga dia menggapai tangan Jounta, untuk kemudian dia genggam lama, baru berujar, "Makasih, Ta. Makasih udah mau ngertiin aku. Aku janji bakal ngelakuin yang terbaik buat kamu, Brazka, sama Keyzan. Aku janji ngga akan lama-lama ngebiarin kamu menderita di situ dengan gantiin tanggung jawabku entah sebagai kakak sulung ataupun sebagai pewaris Ezzel. Tolong sabar, ya. Aku juga minta maaf karna milih jalan ini. Aku harusnya ngga kabur, tapi kamu denger sendiri kalo Papa ngusir aku, kan? Aku juga ngga mau pergi, tapi gimana sama harga diriku kalo aku bertahan?"

Alhasil, Jounta mengatur napas beratnya. Dia embuskan perlahan, dia hela tak serantan. Kemudian, mencerna makna ucapan Cayden yang memang tidak sepenuhnya keliru. Dia, mereka, tidak dihadapkan pada pilihan yang menguntungkan sama sekali.

Jadi, Jounta berinisiatif untuk segera membelokkan pembicaraan supaya Cayden tidak berlarut.

"Kan kita bakal jarang ketemu, jadi Kakak perlu ketemu aku karna apa?"

Cayden meringis, "Kangen."

"Dih. Boong banget. Pasti ada sesuatu yang mau diambil di rumah, kan?"

Cayden reflek menjentikkan jari, "Bingo! Kok tau, sih?"

This is Home! [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang