"Mang Samir, sini bentar, deh."
Samir—yang semula sedang menyirami tanaman hias milik Violet—sigap menoleh dan sudah mendapati Keyzan di ambang pintu sana. Jadi, dia matikan keran sekaligus menggulung selang dulu sebelum menghampiri bungsu Li ini. Senyum mereka tertukar satu sama lain, sampai akhirnya Samir menyahut, "Kenapa, Key?"
"Aku mau minta tolong, sih."
Samir mengerutkan kening, sejenak merasa heran, "Tumben. Kalo Mamang bisa bantu, pasti Mamang bantu, Key."
Namun, tanpa mengatakan apa-apa, Keyzan malah mengangsurkan sebuah amplop ke genggaman Samir.
"Mm, ini dari kita berempat. Kan udah musim hujan, cuaca lagi dingin-dinginnya, tapi kita liat-liat, jaket Mamang sama Bibik udah jelek," Keyzan memulai sambil memperhatikan ekspresi bingung Samir, "Jadi, yah, uang itu buat Mamang sama Bibik beli jaket baru aja."
Sepersekian detik ini, Samir mengalami blank space. Dia memang sudah sering diperlakukan istimewa oleh mereka, tapi jika Keyzan yang bicara—rasanya berbeda. Entah mengapa, tapi yang terfokus di otaknya hanya seorang Keyzan yang tak lebih sehat dari badannya dan yang tak lebih tua dari usianya bisa bersikap seubah malaikat. Kenapa Tuhan harus mempersulit hidup anak sebaik dia?
"Mang, malah ngelamun."
"Bener ini bukan dari tabungan Key sendiri? Bener emang udah diniatin bareng-bareng?"
"Iya, tau. Kita ngga sempet ngasih barengan, soalnya Kak Cayden lagi di kantor Papa, Kak Jounta lagi ada bimbingan, Kak Brazka tadi barusan ke perpus kota. Makanya, aku sendirian yang bisa ngasih. Oh, iya. Nanti kalo mau beli, jangan lewat online, ya. Beli aja di toko mana gitu. Kalo mau naik mobil, naik mobilnya Kak Cayden aja, soalnya bersih. Kalo mobilnya Kak Jounta, rada-rada berantakan. Tapi, jangan naik motor, ya. Nanti kalo keujanan malah repot. Bi Zaima kan sukanya ngomel kalo ada yang keujanan, Mang."
Samir refleks menertawakan sederet kalimat Keyzan, "Makasih banyak, ya. Sampein ke Cayden, Jounta, sama Brazka juga, ya. Bener-bener ngga kerasa, Key udah dewasa ternyata. Dulu masih—" Jeda, sebab dalam ingatannya tidak ada Keyzan yang sesehat anak-anak lain; yang bersepeda, yang main bola, dan yang tidak bolak-balik opname. Jadi, dia buru-buru meralat, "—dulu masih kicik, sekarang udah gede."
"Kalo waktu di situ-situ aja, aku ngga berdiri di sini, Mang."—tapi, di rumah sakit, masih pake oxygen mask, masih sering keluar masuk ruang operasi, dan yang jelas masih berjuang di antara hidup dan mati—ada batin tambahan dari Keyzan.
Samir spontan mengalihkan pembicaraan supaya Keyzan tak berlarut, "Tapi, ngapain kalian repot-repot segala, sih? Kan kita udah dapet gaji dari Bapak. Udah lebih dari cukup. Itu pun sering ditambahin bonus," Lantas, dia menunjukkan raut pura-pura kecewa, "Masa semua yang kita lakuin dianggep sesuatu yang harus dibales budinya, sih? Ini terakhir, ya. Jangan ada lagi, loh."
Sebelum Keyzan menyanggupi, mendadak ada mantel rajut tersampir di bahunya, "Mau hujan, ngapain masih pada di teras?" Zaima pelakunya, sehingga Samir pun segera mengajak Keyzan masuk ke rumah. Ketika mereka sudah mendudukkan Keyzan di sofa ruang tengah, Zaima menyahut sambil menoleh ke Samir, "Amplop apa—"
"—Bi Zaima cerewetnya masih ada, ya? Kirain makin tua bisa makin ilang gitu."
Keyzan sengaja menyerobot supaya Zaima tidak mempermasalahkan isi amplop di tangan Samir, sebab dia tahu betul wanita renta itu pasti merasa sungkan dan berujung menolak pemberian dia dan saudara-saudaranya. Maka, Samir mengerti isyarat Keyzan dan segera memberi satu bentuk kalimat dukungan.
"Jangankan kamu, Key. Mamang aja udah sering diomelin, bertahun-tahun lebih lama dari kamu malah."
Kemudian, mereka bertiga tergelak bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
This is Home! [✓]
Fiksi RemajaKeluarga Li sudah tidak memiliki kehangatan seperti dulu. Semenjak istrinya meninggal dunia, Christophine Li atau biasa disapa Chris, tinggal dengan keempat anak laki-lakinya yang tampak seperti monster. Mereka selalu menganggapnya sebagai ayah yang...