Suara jarum jam di dinding sana memenuhi pikiran Chris.
Papa itu pembunuh Mama.
Berulang kali Chris berusaha mengenyahkan kalimat Cayden yang terus terngiang di kepalanya. Dia mengembuskan napas berat seraya menduduki meja kerjanya, dia juga memejamkan mata sejenak sembari meremas rambutnya. Dia frustasi.
Bukannya berbaikan dengan Cayden, dia justru mengusirnya?
Chris hanya tidak akan mau menyesali keputusan yang dia buat beberapa jam lalu, di mana dia bukan hanya melukai Cayden, tapi juga Jounta, Brazka, dan Keyzan. Demi apa pun, dia takut Keyzan kambuh sebab setiap ada hal yang membebani pikiran anak itu, jantungnya pasti bereaksi.
"Egois?" lirih Chris, mengingat kembali bagaimana Cayden mengatainya egois, "Kamu juga, Den. Tinggal nurut aja susah."
Menurut Chris, dia masih berpegang teguh pada pendiriannya bahwa dia tidak salah. Tentu mengusir Cayden adalah cara dia mendidik; setidaknya jika jiwa pembangkang itu semakin kurang ajar, dia hanya akan menuruti maunya—untuk hidup bebas di luar rumah.
"Biar dia tau," gumam Chris, lagi-lagi memproyeksi wajah dan postur terakhir Cayden sebelum mereka semakin saling membenci, "Hidup tanpa uang itu ngga gampang."
Chris tersinggung bukan main karena Cayden berani melawan dirinya—yang notabene adalah seorang ayah di keluarga ini; yang harus dihormati, yang harus dihargai, dan yang harus dituakan. Tapi, dia benar-benar tidak pernah membayangkan akan ada hari seperti hari ini. Hari di mana dia membuang anak sulungnya.
Bagi Chris, kelakuan Cayden tadi mencerminkan anak durhaka.
***
"Maaf, Mas. Kartunya ngga bisa dipakai buat transaksi."
Cayden gamang menerima kembali kartu kreditnya—yang baru dia sadari ternyata sudah diblokir Chris. Jadi dia tersenyum tipis kepada kasir minimarket ini, "Oh, maaf, Mbak. Ngga jadi, ya," Kemudian, dia buru-buru berbalik sebab tidak ada uang cash yang tertinggal di dompetnya.
Alhasil, Cayden menduduki bumper mobil, beberapa kali mengesah, beberapa kali lagi berdecak. Demi apa pun, dia tidak ingin menyerah di sini, lalu kembali pulang hanya karena tidak punya uang. Sejenak, dia mendongak untuk menemukan hamparan bintang dan pendar bulan di langit malam sana. Hujan sudah berhenti sejak tadi, sehingga bau tanah basah turut menambah kesan sendu dalam pelariannya ini. Meski dia kecewa luar biasa, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan untuk sekarang.
"Ma," panggil Cayden, tanpa ada sahutan dari siapa-siapa, "Mama apa kabar?"
Mata berkaca Cayden akhirnya meluruhkan tangis tertahan. Sejak tadi dia mati-matian tak menunjukkan dirinya yang rapuh saat menghadapi Chris dan bersikap sok tangguh di depan adik-adiknya. Tapi sekarang, dia sudah tidak kuat.
"Maaf, ya, Ma. Aku ingkar janji. Ternyata aku ngga bisa jagain Jounta, Brazka, sama Keyzan sampe akhir. Mama pasti benci aku. Mama pasti marah banget. Tapi, suami Mama itu udah keterlaluan. Aku ngga bisa lama-lama di sana, Ma."
Setelah Cayden putuskan untuk meninggalkan rumah tadi, ponsel di saku celananya terus bergetar. Dia tahu siapa yang meneleponnya tanpa kenal lelah ini. Sudah pasti adik-adiknya, entah yang mana dia tidak mau melihat nama yang tertera di layar.
"Aku ngga mungkin balik. Aku ngga mau goyah. Jadi, Ta, aku percaya kamu bisa gantiin aku."
Monolog Cayden berkesinambungan dengan pemikiran bahwa akan tinggal di mana dia setelah ini. Dia akhirnya menunduk lesu, bahunya melorot, dan bibirnya megering. Namun, seperti katanya, dia tidak mau menyerah di sini. Jadi, mau bagaimanapun, dia harus bangkit dan membuktikan bahwa hidup sendiri tanpa uang-uang Chris bisa dia atasi. Maka, dia celingukan sebentar. Lalu menyadari bahwa daerah ini ternyata cukup dekat dari rumah Ryndzie.
KAMU SEDANG MEMBACA
This is Home! [✓]
Teen FictionKeluarga Li sudah tidak memiliki kehangatan seperti dulu. Semenjak istrinya meninggal dunia, Christophine Li atau biasa disapa Chris, tinggal dengan keempat anak laki-lakinya yang tampak seperti monster. Mereka selalu menganggapnya sebagai ayah yang...