Bab Limapuluh Sembilan

556 38 22
                                    

Lapangan rektorat sudah dipenuhi banyak orang. Sebagian besar dari mereka asik berfoto sambil melempar toga, sebagian lagi saling memeluk dan tersenyum. Benar-benar mencerminkan hari paling membahagiakan, termasuk bagi Cayden.

"Eh, Braz! Tolong fotoin aku sama Cayden, dong!"

Brazka segera menerima sodoran kamera dari tangan Ryndzie, lalu memberi aba-aba, "Ayo, cepetan pose! Berdua doang? Nggak sama Yangti?" Dia lantas melirik ke seorang wanita renta yang hanya mengibas tangan sambil terkekeh. "Oh, abis ini sama Yangti? Oke, deh!"

Cayden merangkul bahu Ryndzie, sementara Ryndzie merangkul pinggang Cayden, tapi bagi Brazka ini agak kaku, ternyata Jounta pun berpendapat demikian.

"Kayaknya mending sambil liat-liatan, deh," saran Jounta, bermaksud mengarahkan gaya. Dia bahkan berpikir keras, sampai perlu mengusap dagu dan memicingkan mata. "Hm, yang luwes, nyantai, apa adanya gitu, loh, Kak."

Cayden heran kenapa Jounta dan Brazka sampai geregetan begitu perkara pose foto, jadi dia berdecak, "Iya, iya. Ya udah, buruan dijepret!" Kemudian, dia menuruti adik-adiknya sehingga kini dia dan Ryndzie bertukar pandangan, tapi demi apa pun dia malah grogi seketika. Maka, setelah Brazka berhasil mengambil foto, dia refleks menjaga jarak, baru beralih, "Udah? Cakep nggak? Aku cakep, kan?"

"Dih, narsistik amat," omel Jounta sambil memeriksa hasil foto yang diambil Brazka di kamera, lalu berkomentar lagi, "Lumayan, sih. Perasaan udah sahabatan dari bocil, masa foto berdua canggung gini?"

Namun, Ryndzie buru-buru mengurai atmosfer tak nyaman ini dengan gelakannya. Lantas, dia meninju pelan lengan Cayden, "Kayak nggak tau Cayden aja. Dia mana demen difoto? Tapi, sekali minta foto kudu perfect."

Chris memperhatikan interaksi anak-anaknya dari jarak sekian meter. Dia belum mau bergabung, lebih tepatnya dia sedang mencemaskan Keyzan. Namun, jika dia melapor ke Cayden, Jounta, dan Brazka, dia justru takut akan merusak momen bahagia mereka. Bagaimanapun, sudah lama sejak ketiganya berkumpul setelah insiden mencekam yang menimpa masing-masing remaja itu.

"Loh. Key mana? Belom balik juga dari toilet?" tanya Brazka, seketika celingukan setelah mengembalikan kamera ke Ryndzie.

Jounta pun mulai khawatir, "Lama banget, ya? Susulin aja gimana?"

"Udah hampir limabelas menit, soalnya, Kak."

"Nggak mungkin dia nyasar, kan?" sangsi Cayden, yang sekejap itu menitipkan toga dan jubah wisudanya ke Ryndzie.

"Coba cari dulu, deh," saran Ryndzie, "Aku sama Yangti tunggu di gazebo depan situ sambil jagain barang-barang kalian."

"Iya, Kak. Yuk, susulin, yuk. Atiku nggak enak, nih."

Brazka menyergah, "Kak Jounta apaan, sih? Jangan bikin panik, ah."

"Dia pasti ke toilet deket aula, kan, ya? Ayo, deh! Buruan!" ajak Cayden, dia asal menarik lengan Jounta agar berlari dengannya.

"Papa nggak ikutan?" tembak Brazka begitu mendapati Chris malah mematung di tempatnya berdiri.

Namun, sepeninggal kakak-kakak Keyzan, dia baru sadar ini bukan saatnya tertegun. Sedikit banyak, dia takut isi dalam kepalanya jadi kenyataan, sebab dia sedang mengumpulkan berbagai spekulasi dan persepsi terburuk di sana. Bagaimana jika Keyzan kambuh dan tidak ada yang memberinya pertolongan pertama? Bagaimana jika Keyzan pingsan dan tidak ada yang mengetahuinya sampai saat ini? Chris jadi otomatis menyalahkan diri. Harusnya tak dia ijinkan Keyzan pergi ke toilet sendiri. Harusnya dia tetap mengantarnya biarpun anak itu menolak.

Sekarang, Chris berjalan dalam kekalutan. Tatap matanya kosong, hatinya tak tenang.

"Key! Keyzan!"

Ternyata, di dalam toilet yang sepi ini, hanya Cayden, Jounta, dan Brazka yang membuat kegaduhan. Mereka kompak menggedor satu bilik tertutup itu, benar-benar merasa kalang kabut, tapi Chris malah berjongkok demi bisa mengintip ke bagian bawah pintu. Dia berhenti bernapas saat mendapati sepasang sepatu—yang dulu dia belikan di saat semua ketiga kakak Keyzan menolak hadiah pemberiannya, tapi si bungsu Li itu mau menerimanya.

This is Home! [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang