"Cayden, anak sulung Mama yang paling ganteng, paling mirip sama Papa, dan yang paling bijaksana di antara semua sodara-sodara kamu," Violet mencicit pelan, sementara Cayden membalas pujian itu dengan senyum lebar dan elusan lembut di punggung tangan ibunya, yang sudah terbaring di ranjang rumah sakit sebulan ini, "Kamu harus janji sama Mama, apapun yang terjadi, jangan tinggalin adek-adek kamu, termasuk Papa juga. Ya?"
Lantas, Cayden menyanggupi permintaan Violet dengan satu anggukan, "Mama jangan aneh-aneh, kaya mau pergi jauh aja."
Violet memindah tangan yang semula ada di genggaman Cayden menuju wajah putra sulungnya ini, "Mama ngga ke mana-mana, Den. Lagian, mana bisa Mama ninggalin keluarga Mama yang berharga ini," Bahkan, untuk menyelesaikan kalimat itu saja, dia harus disela dengan batuk berulang.
Hari-hari di rumah sakit ini semakin menunjukkan titik-titik lemah Violet yang—sedihnya, tak kunjung membaik.
"Mama cuman nyesel, kenapa harus nurunin penyakit ini ke Keyzan?"
Cayden pun buru-buru menghapus air mata yang hampir menetes dari pelupuk Violet, tapi dia juga tidak bisa membalas apa-apa.
"Mama nitip Keyzan, ya, Den. Dia kebiasaan mendem semuanya sendiri."
Memang benar, karena Keyzan seperti itu, semua orang di sekitarnya jadi dituntut untuk lebih peka.
"Mama ngomong apaan, sih?" Brazka mendadak sebal alih-alih takut, tanpa dipungkiri ia tidak mau dengar apa yang Violet ucapkan tadi, ia pun menyambung lagi sambil mendudukkan diri di sebelah Cayden, "Mama harus yakin, Mama pasti sembuh."
Kemudian, Violet beralih pada Brazka, anak ketiganya yang begitu ceria ini seumpama tak gentar terhadap persoalan apapun. Namun, sebagai seorang ibu, dia tahu Brazka pandai menyembunyikan kesedihannya, dia tahu Brazka pintar menutupi penderitaannya, dan dia tahu seberat apa masa lalu Brazka hingga mengubahnya jadi sosok penuh kepalsuan begini.
Violet tersenyum sedetik sebelum meraih tangan Brazka untuk dia remas pelan, "Brazka Li yang cerewet ini turunan siapa, ya? Papa irit ngomong, Mama juga ngomong seperlunya. Jangan-jangan, kamu bukan anak Papa sama Mama?"
"Mama, ah," Brazka merajuk, "Ya aku anak Mama sama Papa lah, mau anak siapa lagi coba?"
"Iya kali, ya. Dulu kita nemuin Brazka di depan Kelurahan, kan?"
Entah mengapa, candaan Cayden malah membuat air mata di pelupuk Brazka merebak, hingga dia kerepotan menyekanya satu persatu.
"Udah, ah. Jangan bikin aku sedih gini. Pada kenapa, sih?"
"Mama duluan," Cayden menunjuk, "Aku cuman dukung pendapatnya aja. Lagian, lebay banget baru gitu doang udah baper."
Violet tertawa, tawa renyah seperti tawa milik Jounta. Violet pikir, jika ia benar-benar tiada nantinya, mereka mungkin bisa mengenang dirinya lewat cara Jounta tertawa.
"Maaf, Braz," Violet menyentil pelan ujung hidung Brazka, baru menyambung, "Mama yakin, suatu hari nanti, Brazka-nya Mama ini pasti jadi orang yang ngga gampang putus asa. Pokoknya, jangan sampe kesedihan nguasain kamu, sedih ngga dilarang, tapi secukupnya aja. Ya?"
Brazka hanya mengangguk samar sambil mengalihkan pandangannya agar tak memandang wajah sendu Violet. Demi apapun, ia tak kuasa.
Lantas, Cayden merengkuh Brazka, membiarkan dia terisak di dadanya.
"Kenapa? Kenapa kok pada nangis gini? Kaya baru kehilangan Mama aja."
"Mama, ah. Ngga lucu, tau," seloroh Brazka sambil menjauh dari rangkulan Cayden dan mulai menyeka air matanya sendiri, "Mama harus nemenin kita lagi kaya biasanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
This is Home! [✓]
Teen FictionKeluarga Li sudah tidak memiliki kehangatan seperti dulu. Semenjak istrinya meninggal dunia, Christophine Li atau biasa disapa Chris, tinggal dengan keempat anak laki-lakinya yang tampak seperti monster. Mereka selalu menganggapnya sebagai ayah yang...