Zaima—yang masih merasa usianya di bilangan duapuluhan dari pada di kepala enam—tengah mengaduk cream soup berisi jamur, kentang, tomat dan telur di panci berbahan tembaga itu. Ya, pekerjaannya sehari-hari di sini, selain untuk merawat keluarga Li, ia juga harus membersihkan seisi rumah sekaligus mengurus hal-hal di dapur. Terlebih, sepeninggal Violet, yang selalu dia nyonyakan dengan panggilan ibu dan yang selalu dia anggap sebagai majikan terbaik sepanjang masa itu, tidak lagi menetap di sini—dia memiliki fokus penuh terhadap Keyzan, si bungsu. Karena dia harus memastikan anak itu baik-baik saja di saat ayah dan kakak-kakaknya sibuk di luar rumah.
"Key, kamu capek ntar kalo kaya gitu terus. Udah sana, maen sama kakak-kakak kamu."
Ketika teguran Zaima merusak konsentrasinya, Keyzan memberengut, "Aku kan mau tau caranya Bi Zaima bikin sup krim itu gimana," Dia menolak dan tetap berdiri di samping Zaima, masih memperhatikan wanita senja tersebut mengaduk isi panci, "Kayanya enak. Boleh diicip duluan ngga, sih?"
"Key, dibilangin susah, ya. Ntar Bibi laporin ke Papamu, loh. Sana duduk aja."
Keyzan bersikeras menggeleng, "Aku mau bantuin. Kan ini tamunya Kak Jounta, kalo aku masak dikit-dikit, nanti bisa aku pamerin hasilnya."
Zaima pun reflek mencibir, "Kamu kaya Mamamu, deh, Key. Hobinya ngeles."
Namun, Keyzan tidak terpengaruh sama sekali, ia berusaha tetap tegar, ia berjuang tetap kuat, sekalipun memori-memori soal Violet masih menghantuinya setiap ia masuk ke dapur. Kemudian, dia alihkan tatapannya menuju jam di dinding, sudah setengah delapan, maka tigapuluh menit lagi Jounta akan datang bersama Crystal.
"Papa kok belum pulang, ya?"
"Sabar, Key. Siapa tau macet, pasti Papamu udah di jalan."
"Bi Zaima tau dari mana coba?"
Namun, Zaima tidak menjawab pertanyaan itu, satu-satunya yang sedang dia pikirkan adalah cara untuk membuat Keyzan sibuk tanpa membuatnya kelelahan. Tentu supaya dia berhenti merecoki kegiatannya di dapur sini.
"Key, tolong siapin mangkoknya aja, deh. Ambil di lemari atas deket meja makan, ya."
Keyzan tidak menolak, dia begitu saja melesat demi memenuhi titah Zaima. Jadi, ketika ia sampai di tempat yang dimaksud Zaima, ia perlu berjinjit untuk bisa menggapai tumpukan mangkok di atas sana. Sayangnya, tinggi Keyzan tak semampai serupa Cayden atau Jounta, maka dia akui ini cukup sulit.
"Ya elah, tinggal minta tolong. Hu, dasar pendek."
Keyzan memberengut saat Cayden sudah cekatan mengambilkan mangkok yang mau dia ambil tadi, "Iya, iya. Mentang-mentang tinggi, lagian beda berapa senti doang sama aku."
"Ya emang tinggi, tolong sadar diri."
Kemudian, tawa Cayden jadi membuat Keyzan muak. Sebelum dia meladeni Cayden, dia serahkan dulu mangkok ini seperti permintaan Zaima tadi. Lantas, dia kembali lagi dan duduk berhadapan dengan Cayden di meja makan.
"Harusnya Kakak biarin aku usaha, dikit lagi dapet itu mangkok."
"Ha?" Cayden mendecih, "Bisa sampe pacar Jounta dateng baru kelar ngambil kamu."
"Harusnya Kakak pura-pura ngga nyampe juga, dong. Biar aku ngga malu."
Kemudian, tawa mereka tertukar sampai Zaima mnegantar semangkuk sup krim di meja makan tepat di depan keduanya.
"Wah, baunya enak banget. Ngga boleh dimakan sekarang?"
Keyzan mencibir, "Ntar cewenya Kak Jounta dapet bekas Kakak."
"Yah, aku sendok dikit doang, ya kali dimakan langsung?"
Karena si sulung dan si bungsu itu masih asik tertawa, Zaima pun berdeham, "Emang udah pada tau pacarnya Jounta?"
KAMU SEDANG MEMBACA
This is Home! [✓]
Teen FictionKeluarga Li sudah tidak memiliki kehangatan seperti dulu. Semenjak istrinya meninggal dunia, Christophine Li atau biasa disapa Chris, tinggal dengan keempat anak laki-lakinya yang tampak seperti monster. Mereka selalu menganggapnya sebagai ayah yang...