Langit cerah sewarna air laut memayungi kepala Brazka. Ia duduk di tribun dekat lapangan sambil memandangi teman-temannya berlarian ke sana kemari, dia sendiri sama sekali tidak berniat bergabung dengan mereka.
"Kemaren ngga masuk karna adekmu sakit lagi, ya?"
Brazka tidak perlu menoleh pada pemilik suara yang sudah duduk menyilangkan kaki di sebelahnya—Ibas, teman sekelasnya—karena dia tetap menatap pada bola yang sedang diperebutkan kedua tim itu.
"Kalo kita mau jenguk boleh? Aku mau ngajakin Reno juga."
Brazka akhirnya mendapati wajah Ibas yang dipenuhi peluh sebab mereka memang sedang menantang terik matahari sekarang, lalu menyahut, "Ngga usah. Kan kita udah mau ujian praktek. Mending fokus itu aja. Lagian, Key paling bentar lagi dibolehin pulang."
"Emang jengukin makan waktu berapa lama, sih? Dua jam aja ngga nyampe."
Brazka diam, tapi dia biarkan Ibas menepuk bahunya sekali, sehingga dia jadi tiba-tiba mencicit, "Gimana perasaanmu, semisal adekmu ngalamin kaya apa yang adek aku alamin? Maksudku, sakit parah gitu."
Karena pertanyaan tiba-tiba Brazka ini, Ibas jadi meringkas sebentar wajah adik perempuannya yang masih duduk dibangku SMP. Selain itu, bagaimanapun, ia harus memilih kata sekaligus merangkai kalimat yang tepat agar temannya ini tidak tersinggung, toh dia tahu betul bahwa Brazka kini sedang mati-matian bergelut dengan kekhawatirannya.
"Ya sedih. Walopun, dia nyebelin, tapi kan sebenernya aku juga sayang," mulai Ibas, sedikit demi sedikit melirik reaksi Brazka, "Masalahnya, kalo dia tau kita sedih, apa dia ngga mikir dirinya malah jadi beban?"
Brazka terhenyak beberapa saat, ia memproyeksi kembali bagaimana atmosfer ketika Keyzan kambuh. Benar, dia akan jadi satu-satunya orang yang paling panik, dia sibuk mondar-mandir, merecoki sana sini, dan tidak bisa tenang sama sekali. Ketika semua berakhir, Keyzan pasti menunjukkan wajah penuh rasa bersalah, seolah menyesal telah membuat dirinya kelimpungan, seakan menyesal telah menimpakan trauma mendalam untuknya.
"Keyzan pasti ngerasa gitu, Braz."
Brazka spontan menoleh, "Aku kan nanyain adekmu, bukan Keyzan."
"Siapa aja tau kalo maksudmu ke situ."
Brazka akhirnya kembali menunduk, "Yah, aku cuma kasian aja. Kalo aku bisa ambil alih, udah aku ambil alih sakitnya Keyzan detik ini juga sampe ngga nyisa apapun."
Ibas paham, dia mengerti bagaimana perasaan Brazka, sehingga dia menyambung, "Waktu Alsa umur delapan tahun dulu, dia pernah demam," Ia mulai bercerita tentang memorinya sebagai contoh untuk Brazka, "Orang tua kita bingung bukan main karna ini pertama kalinya badan Alsa sepanas itu. Dia sampe ngga sadar, loh. Duh, bener-bener kacau, deh. Semua kalang kabut, semua pontang-panting. Tapi, Alsa belom bangun juga. Terus, kamu tau apa yang aku lakuin pas itu?"
Brazka buru-buru menggeleng, "Apa?"
Ibas tertawa sedetik begitu ingat ketololannya dahulu, baru melanjutkan, "Aku nangis histeris, udah kaya Alsa mau mati saat itu juga. Aku teriak heboh, bilang jangan ambil Alsa dulu. Malu-maluin banget kalo diinget. Padahal, orang tuaku aja ngga sampe segitunya. Suer, aku mikir Alsa lagi dicabut nyawanya," Celotehannya ini segera disambut tawa kecil Brazka, "Terus, pas udah mendingan, Alsa malah ngejekin, 'Abang keterlaluan banget, aku kira aku beneran udah mati. Aku kira nyawaku beneran udah diambil,' gitu katanya."
"Jadi," Ibas memulai lagi, "Kalo kamu terus-terusan keliatan sedih di depan Keyzan, dia bisa aja kehilangan semangatnya buat terus ngejalanin hidup ini. Dengan liat kamu kaya gitu, dia pasti punya pikiran, gimana kalo aku emang bener-bener ngga panjang umur?"
KAMU SEDANG MEMBACA
This is Home! [✓]
Fiksi RemajaKeluarga Li sudah tidak memiliki kehangatan seperti dulu. Semenjak istrinya meninggal dunia, Christophine Li atau biasa disapa Chris, tinggal dengan keempat anak laki-lakinya yang tampak seperti monster. Mereka selalu menganggapnya sebagai ayah yang...