Bab Tigapuluh

334 23 12
                                    

Sepulang dari kantor dua jam lalu, Chris memang langsung menuju ruang kerjanya, tidak sempat menyapa keempat anaknya—bahkan tidak sempat meminta maaf secara empat mata dengan Keyzan. Dia perlu berkutat di sini lebih lama lagi, setidaknya sampai selesai mempelajari materi yang akan dia presentasikan di hadapan investor.

"Udah jam satu aja," Chris mengesah saat tatapannya terhenti di jam dinding, lalu dia mulai menguap, "Cukup segini, lanjut besok."

Seusai monolog tersebut, Chris mematikan komputer sekaligus menekan saklar, sehingga ruangan menyesakkan ini pun berubah gelap. Sebelum berlalu ke kamarnya sendiri, dia mendapati seisi rumah begitu sepi, dia jadi penasaran akan apa yang dilakukan anak-anaknya di lantai dua. Maka, dia putuskan untuk memeriksa satu demi satu kamar mereka.

"Masa jam segini udah pada tidur?"

Kamar pertama adalah kamar si sulung, yang menjadi tujuan awal untuk Chris datangi. Namun, setelah mendorong pintu dan mengintip sebentar—penghuninya tak di sana. Chris mensinyalir bahwa Cayden pasti belum pulang, tidak biasanya anak itu sama seperti Jounta. Ya, pulang larut malam sama sekali bukan budaya tiga anaknya, kecuali Jounta. Sebelum membalik badan, atensi Chris tersedot ke gitar akustik yang tergeletak di atas ranjang. Mendadak dia jadi cemas sendiri, takut bila Cayden kembali ke dunianya lagi.

Karena tidak ingin memusingkan hal tidak pasti itu, Chris pun segera memindah diri menuju kamar selanjutnya. Kamar Jounta. Begitu masuk, dia temukan poster-poster band rock favorit anak nomor duanya ini. Lantas, semakin melangkah, dia kini mendapati bahwa banyak debu bertebaran di rak—yang bukunya hampir nihil dibaca. Bicara tentang Jounta yang belum pulang, Chris tidak perlu terkejut. Hanya Jounta yang hobi keluyuran begini, jadi Chris akan menunggunya saja. Toh, selama ini, Jounta tidak pernah pulang di atas jam dua dini hari.

Sayangnya, begitu duduk di tepi ranjang dan memandang sejenak foto Jounta yang dipajang itu, dia malah terbuai masa lalu.

"JOUNTA! SINI!"

Teriakan Chris membahana di ruang tengah, serta merta membuat Violet tergopoh menghampirinya, sedangkan Jounta—malas-malasan menuruni tangga hingga sampai di depan ayahnya; yang sudah murka, yang matanya berkilat, dan yang rahangnya mengeras. Toh, dia tahu soal apa ini.

"TA! KAMU INI NIAT KULIAH NGGA, SIH?!"

Chris berseru lantang sambil membanting hasil cetak transkrip nilai semester Jounta yang hanya diisi huruf D alih-alih huruf A, pertanda bahwa dia tidak mendapat nilai sempurna seperti mau ayahnya.

"SAMPE KAPAN KAMU TERUS-TERUSAN MALU-MALUIN PAPA?!"

Kali ini, Jounta terang-terangan mendengus, sebelum benar-benar menjawab pertanyaan Chris, dia pastikan dulu Violet tidak sesak karena bagaimanapun adegan ini sudah pasti menjadi pemicu jika ibunya nanti kambuh. Lantas, dia berujar sarkas, "Malu? Ngapain Papa malu? Kan yang harusnya malu aku. Lagian, aku udah bilang, aku ngga suka kuliah di jurusan ini—"

"—BICARA NGGA SUKA, KAKAKMU JUGA NGGA SUKA! TAPI, CAYDEN AJA BISA DAPET IP TIGA KOMA SEKIAN, SEDANGKAN KAMU CUMA SATU KOMA?"

Chris terus bicara menggunakan otot sampai-sampai urat di lehernya tampak jelas, sementara Jounta tetap tenang menghadapi amarah yang sudah berkali-kali dia dapat ini—satu hal, dia hanya mengkhawatirkan ibunya. Violet sadar bahwa Jounta terus meliriknya alih-alih menerima emosi Chris.

"Itu kan Kak Cayden, beda sama aku, Pa. Sampe kapan Papa mau banding-bandingin kita, sih? Aku paling benci dibanding-bandingin!" Alhasil, Jounta kelepasan, dia memekik keras-keras hingga Chris mundur satu langkah, "Papa bisanya cuma nuntut! Sadar ngga, sih, kalo doktrin dari Papa ini ngancurin hidup aku sama Kak Cayden?! Hah?!"

This is Home! [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang