Bab Duapuluh Dua

439 31 8
                                    


"Minum air anget lagi, ya, Key?"

Keyzan spontan menganga begitu Zaima menyodorkan segelas air hangat—lagi, setelah sekian gelas sudah ia habiskan—padanya. Ia menolak, dengan sopan menggeleng, tapi wanita senja ini masih berniat menjejalinya sampai ia mau menurut.

"Bi, udah, ya? Aku udah kembung, sumpah."

Zaima menghela napas, tapi dia tidak tega saat Keyzan menunjukkan wajah memelas begini, "Iya, deh. Janji, ya? Nanti minum lagi," Alhasil, dia putuskan untuk meletakkan gelas di tangannya tepat di atas nakas samping tempat tidur Keyzan.

"Bi, sering-sering itu bukan berarti tiap jam, loh."

Lantas, Zaima tertawa, "Maap, Key. Abis Bibi kan cuman mau kamu cepet sembuh."

"Iya, aku tau. Makasih, ya, Bi. Secara ngga langsung udah gantiin Mama kalo pas aku sakit gini," Keyzan tersenyum, sedikit banyak berusaha mengusir keharuan yang tiba-tiba mendera, terlebih ekspresi Zaima pun jadi turut berubah murung, sehingga dia buru-buru mengganti atmosfer dengan keriangannya semula, "Oh, iya. Bi Zaima sama Mang Samir udah makan? Udah jam duabelas, loh."

Seketika itu, Zaima jadi mencelos, "Kita gampang, yang penting kamu dulu, Key. Udah ngga usah mikirin orang lain—"

"—dih, kok orang lain? Emang kalian berdua orang lain? Ya ngga lah," Keyzan tidak terima, ia mencebik, "Lagian, di umur setua Mang Samir sama Bi Zaima itu rawan kena penyakit kalo telat makan."

Maka, Zaima tidak bisa mengelak lagi, "Ngaku, deh. Emang belom makan, tapi emang belom laper juga—"

"—ye, ngga boleh gitu. Bi Zaima lupa gimana kalo lagi nyuruh aku makan padahal aku lagi ngga laper? Dipaksa terus, kan?"

Zaima jadi hanya bisa tersenyum, "Emang kamu ngga papa ditinggal sendiri? Bibi tinggal nunggu Mang Samir jemput, terus kita balik ke rumah, loh."

Keyzan malah antusias mengangguk, "Ngga papa. Kan ada Kak Brazka, yang lagi bolos sekolah."

Zaima pun seketika teringat hingga ia celingukan, "Lah, iya. Brazka tadi pamit ke mana? Pas Bibi masuk kamar tadi, dia udah ngga ada."

"Biasa, Bi. Keliling RS. Katanya mau riset, kan nanti jadi Dokter. Paling lagi jelajahin tiap lantai, terus ambilin brosur-brosur medis gitu. Ngga tau, ngga paham aku."

"Ya ampun, bisa-bisanya. Ya mending gitu, dari pada dia bolos, terus cuman goleran, kan?"

"Betul, Bi. Biarin, yang penting dianya seneng. Kan nambah ilmu juga. Ntar aku juga diceritain, tapi aku cuman iya-iya doang, orang ngga ngerti."

Ocehan Keyzan ini begitu saja memupuk semangat di hati Zaima, baru menyambung, "Iya, pokoknya kamu harus nurut. Makan teratur, minum obat, sama istirahat yang cukup, pasti cepet sembuh. Nanti pas pulang, Bibi masakin yang enak-enak."

Keyzan mengangguk lagi, tidak dipungkiri dia memang menantikan hari itu tiba, tapi saat ini saja dia masih merasa lemas dan lemah sekaligus—entah karena pengaruh obat atau bisa jadi dia memang belum membaik.

"Bi, ntar kalo Kak Cayden atau Kak Jounta mampir rumah, terus mau balik sini, titipin DVD Mama yang ada di laci meja belajarku, ya."

Setelah Zaima menyanggupi, Keyzan biarkan tangan keriput wanita di bilangan enampuluh ini membelai puncak kepalanya. Tak lama, ponselnya berdering, ada telepon masuk, sehingga Zaima buru-buru menjauh dari Keyzan dan mengangkat panggilan itu, "Ya? Oh, iya, iya. Udah di depan? Ngga naik dulu? Parkirnya penuh? Iya, iya. Tunggu. Aku turun. Sabar, pamitan sama Key dulu," Kemudian, sambungan diputus dan benda datar itu kembali ke dalam tas rajut Zaima, selanjutnya dia kembali mendekat ke tempat Keyzan terbaring, "Key, Mang Samir udah sampe. Bibi telponin Brazka biar cepet balik, ya?"

This is Home! [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang