Bab Duapuluh

578 41 4
                                    

Larut malam menjelang dini hari, Chris baru pulang. Ia sempatkan mengecek kamar keempat anak-anaknya di lantai dua. Tujuan pertama adalah kamar Cayden di ujung lorong, ternyata si sulung sudah terlelap. Tujuan kedua adalah kamar Jounta tepat di sebelah, ternyata si nomor dua juga sudah tertidur. Terakhir, ia memeriksa kamar Brazka dan Keyzan, tidak terdengar suara dengkuran, tapi mereka sudah sama-sama meringkuk di ranjang masing-masing. Alhasil, ia pun menutup kembali pintu kamar ini dan berlalu ke lantai satu, kamarnya sendiri.

Namun, Keyzan tidak benar-benar seperti praduga Chris. Dia sibuk menetralisir nyeri yang kembali menyerang jantungnya, beberapa kali ia remas dada kirinya demi menghalau rasa sakit ini—tapi, tetap nihil.

"Akh!" Keyzan memekik, selanjutnya dia terburu membekap mulut demi meredam suaranya yang mungkin membangunkan Brazka, "Ma—Mama."

Setiap kali Keyzan kambuh, entah bagaimana hanya ada proyeksi Violet dalam benaknya.

Sekian detik berlalu, Keyzan masih menggeliat ke sana kemari, membanting badannya, melengkungkan punggungnya, memejamkan matanya, dan meringis campur merintih. Dia berusaha untuk duduk meski kepalanya mulai terasa pening, pun dengan pandangannya yang lambat laun mengabur. Setelah berhasil, ia malah tersengal. Keyzan panik, semakin panik saat sesak ini berulah lagi. Lantas, dengan susah payah dia gapai botol obat dengan segelas air putih di atas nakas—yang selalu disediakan tepat di sebelah tempat tidurnya. Tapi, karena tangan Keyzan gemetar, dia justru gagal dan berakhir menjatuhkan botol itu hingga pil-pil obatnya berceceran di lantai.

Tidak ada pilihan lain, Keyzan urung menyimpan deritanya sendiri. Bagaimanapun, dia perlu membangunkan Brazka, tentu sebelum dirinya pingsan.

Demi apapun, Keyzan sudah lemas, tenaganya melemah seketika, sampai dia pun menjatuhkan diri supaya bisa memungut dua pil obat ini dan segera meraih gelas air putih untuk dia minum terburu. Keyzan lega bahwa langkah awalnya ini terhitung berhasil. Dia pikir, hanya dengan menunggu obat ini bekerja, maka dia akan pulih. Tapi sekian menit sudah berlalu, degup jantungnya masih tak beraturan, nyeri ini masih ada, sakit itu masih terasa. Alhasil, Keyzan putuskan untuk merangkak ke ranjang seberang. Begitu sampai, ia sentuh punggung Brazka yang membelakangi dirinya. Dia mau bersuara, tapi sungguh tidak ada yang keluar dari bibirnya.

Setelah memaksa sedemikian rupa, Keyzan akhirnya bisa melirih.

"Kak—hhh," Keyzan mengguncang, hanya bisa pelan sebab dia tak punya kekuatan, "Kak Braz—ah—Kak Braz."

Ini akan sulit—Keyzan yakin karena Brazka sudah pulas. Sementara tangan kanannya masih memegangi dadanya yang sesak sejak tadi, maka tangan kirinya berusaha sebaik mungkin untuk mendorong bahu kakaknya.

"Kak, to—tolong—hhh."

Kali ini, sepertinya membuahkan hasil, terbukti dari posisi Brazka yang spontan berubah. Dalam sekejap, Brazka tersadar, mata sipitnya terbuka lebar, baru kemudian dia dengar bisikan Keyzan yang bersimpuh di sebelahnya—kantuk yang sedari tadi menyerang pun sudah raib begitu saja.

"Key!" Brazka buru-buru memindah diri, lalu menopang sebagian badan Keyzan hingga adiknya bisa bersandar padanya, "Udah minum obat?"

Keyzan kepayahan mengangguk, serta merta dengan pandangan Brazka yang terarah pada pil-pil yang berserakan di lantai sana. Meski lampu kamar masih temaram, ia mampu mensinyalir bahwa sebelum ini Keyzan berjuang sendirian.

"Dengerin aku," Brazka meneguk ludah, dia memang selalu panik di saat-saat seperti ini, tapi dia tidak mau Keyzan juga semakin parah, "Jaga kesadaranmu, jangan diturutin."

Keyzan paham, dia mati-matian mematuhi titah Brazka.

"Sekarang, berdiri pelan-pelan. Terus, aku bantu naik ke kasurku, ya?"

This is Home! [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang