Bab Enampuluh Satu

472 29 7
                                    

PRANG!

Segelas air putih di tangan Zaima tiba-tiba tergelincir dari pegangannya, sehingga ada pecahan beling yang tercerai-berai di lantai, tepat di dekat kaki-kaki keriputnya. Dia tertegun memandangi hasil dari kecorobohannya sampai Samir tergopoh menghampiri dengan raut khawatir.

"Ya ampun, Bu. Kenapa?"

"Ng, nggak tau, Pak. Tau-tau jatuh aja."

"Ini pasti Ibu lagi banyak pikiran, kan?"

Zaima menggeleng begitu Samir menuntunnya agar duduk di bangku rotan yang terletak di depan TV bersemut mereka.

"Anak-anak belum nelpon?" tanya Samir.

"Belum ada yang ngabarin sebulan ini."

"Mungkin lagi pada sibuk, kan udah pada gede semua, Bu."

"Tapi, perasaanku nggak enak, Pak."

"Anggep aja angin lalu. Bukan apa-apa," kilah Samir.

Namun, Zaima sama sekali tidak tenang biarpun maksud Samir barusan adalah untuk menenangkannya. Karena Zaima masih tampak tak bersemangat, Samir pun berinisiatif untuk menyodorkan ponselnya.

"Mau telpon Cayden duluan? Dia kayaknya yang paling nggak sibuk."

Seketika itu, wajah Zaima berseri, "Boleh?"

"Bentar, Bapak telponin, ya."

Sambil menunggu Samir selesai menekan nomor Cayden, Zaima justru tengah cemas. Dia takut akan ada berita buruk, yang sudah berulangkali dia coba usir—tapi, nihil. Kemudian, ada nada tunggu sejak suaminya menekan mode loudspeaker, sehingga mereka bisa sama-sama menyimak pembicaraan ini.

"Halo? Cayden?" sapa Zaima, tapi dia menegang saat Cayden tiba-tiba menahan tangisnya.

["Bi Zaima, apa kabar?"]

"Kamu kenapa, Den? Kok kayak abis nangis. Ada apa? Jangan ditutupin gini, dong."

Samir mengusap punggung Zaima saat suara istrinya mulai didominasi panik, lantas dia menyambung, "Den? Sehat, kan? Kamu, Jounta, Brazka, sama Keyzan, sehat semua? Pak Chris juga sehat?" Namun, tidak ada sahutan selain suara tangis yang makin kencang.

"Coba bilang aja ada apa sebenernya, Den. Siapa tau kita bisa bantu."

["Key—Key koma, Bi."]

"Hah? Gimana? Nggak mungkin sampe segitunya," sergah Zaima sambil menggeleng.

Selanjutnya, ponsel ini jatuh ke tangan Samir yang sigap menangkapnya. Sementara itu, Zaima tertegun luar biasa, tatapannya berubah kosong, hatinya seketika hampa. Di seberang sana, Cayden mati-matian membekap mulutnya sendiri agar suara tangisnya tak didengar orang-orang yang berlalu lalang di koridor rumah sakit.

"Kita harus ke sana, Pak. I—iya, kan? Ka—kasian anak-anak sendiri. Ka—kasian Key."

"Iya, Bu, iya. Kita ke sana. Sekarang. Ayo, siap-siap, ya."

***

Di dalam tidur panjangnya, Keyzan justru sibuk mengulang memori masa lalu yang satu demi satu mencuat dari benaknya. Di pagi buta ini, Keyzan tiba di depan rumahnya sendiri, mendapati mobil mercedes hitam sudah disiapkan Samir, hingga disusul langkah-langkah terburu Chris yang menggendong Brazka, Violet yang menggendong dirinya, juga Cayden dan Jounta yang masih sangat kecil. Ketika Samir membukakan pintu belakang, Cayden masuk lebih dulu, lalu Violet dengan bayi mungil di tangan, baru Jounta. Sementara di bangku depan sudah diisi Chris dan Brazka yang duduk di pangkuannya. Terakhir, Samir buru-buru menempati bangku kemudi.

This is Home! [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang