Setidaknya tigapuluh menit Keyzan baru sadar. Dia tidak bisa berteriak apalagi bergerak. Sekujur badannya terasa kaku akibat berbaring nonstop selama hampir tiga minggu, pun dengan lidahnya yang terasa kelu sehingga tidak dapat memproduksi kata apa pun. Dia tetap diam, secara pasrah menunggu siapapun menyadari bahwa dia telah kembali.
Dini hari begini, Brazka biasanya terbangun karena perlu buang air kecil. Sesuai harapan Keyzan, kakak nomor tiganya itu mulai gelisah. Sekian detik berlalu, akhirnya Brazka terjaga, tapi tanpa sempat menengok ke tempat Keyzan, dia malah sudah melesat duluan ke toilet. Sejauh ini, Keyzan hanya bisa berkedip, memang kelopaknya terasa agak berat, tapi dia berusaha melatih sensorik penglihatannya sambil menyesuaikan cahaya ruangan ini. Tak lama, Brazka selesai dengan urusannya. Dia mau tidur lagi, tapi urung sebab dia merasa ganjal—seperti ada yang sedang memperhatikannya.
"Key?"
Brazka kira dia hanya sedang berhalusinasi, mana mungkin Keyzan sudah membuka matanya? Jadi, dia menggosok mata sipitnya berkali-kali, siapa tahu masih ada efek kantuk tersisa. Namun, ketika dia putuskan mendekat, ternyata ini nyata. Keyzan mengerjap, kelopaknya bergerak naik turun, sehingga dia buru-buru memekik.
"PAPA! KEY—KEY SADAR!"
Karena teriakan Brazka cukup lantang, Chris jadi sigap mendudukkan diri, disusul Cayden dan Jounta yang tergopoh berdiri. Tanpa mengulur waktu lagi, mereka segera memproses apa yang sedang terjadi. Benar kata Brazka, Keyzan sepenuhnya sadar sekarang.
"KEY!" seru Chris sambil merangsek alat medis yang mengitari badan Keyzan demi bisa memeluknya. "Makasih, Key, makasih. Makasih udah balik."
Cayden spontan memeluk adik-adiknya, Jounta dan Brazka yang menangis terharu di dadanya.
Meski Keyzan masih merasa seperti di awang-awang, tapi dia berhasil mengerti situasi dan kondisi di ruangan ini. Dia hanya bangun tidur, tapi kenapa semua orang harus menangisinya, bahkan sampai berterima kasih? Lama-lama, dia mulai paham bahwa dia baru saja selamat dari maut. Entah berapa hari dia koma, tapi rasanya dirindukan keluarganya ternyata semendebarkan ini.
"A—aku panggilin Dokter dulu, ya. Tinggal mencet tombol, kan?"
Chris mengangguk pada interupsi Cayden, hingga dia melepas pelukannya sambil menghapus air matanya.
Kemudian, sembari menunggu tim medis datang, Jounta dan Brazka menghampiri Keyzan. Selang ventilator masih senantiasa terpasang, sehingga adik mereka itu tidak bisa mengatakan apa-apa. Satu hal yang mereka tahu, napas Keyzan tidak memburu maupun melemah, napasnya teratur. Dia baik-baik saja.
"Kamu kalau nggak balik, sumpah bakal aku susulin, Key," ujar Brazka, turut memberi pelukan untuk Keyzan. "Bener-bener nggak bisa bayangin kalau kamu nggak sadar-sadar sampe kiamat gimana? Kayaknya, Ezzel bakal dijual sama Papa."
"Ngaco, ah, Braz," tegur Jounta, lalu segera mengisi pelukan untuk Keyzan. "Ini beneran hari terbaik selama aku hidup, Key. Jangan kayak gini lagi, ya? Kita semua rasanya hampir mati, tau. Kamu abis ini nggak boleh ke mana-mana. Ya, Key?"
"Ye, masa Key mau simulasi dipenjara? Ya biarin lah dia ke mana-mana, asal tetep hati-hati, Ta," sanggah Cayden, lantas memberi pelukan terakhir untuk Keyzan. "Keren, Key. Kamu bisa laluin ini semua. Sumpah. Nanti aku jajanin es krim, ya."
Keyzan hanya bisa membatin—apakah misinya berhasil? Apakah keluarganya sudah berbaikan? Apakah ayah dan ketiga kakaknya tidak lagi terlibat perang dingin? Apakah akhirnya dia punya rumah untuk pulang?
Ya, Keyzan yakin semua hal sudah membaik selama dia pergi. Lihat, Chris tak segan merangkul Brazka, tidak ada penolakan sama sekali. Lihat, Cayden dan Jounta menukar tatapan sekaligus berbagi senyuman dengan Chris, tanpa adanya emosi secuilpun.
KAMU SEDANG MEMBACA
This is Home! [✓]
Teen FictionKeluarga Li sudah tidak memiliki kehangatan seperti dulu. Semenjak istrinya meninggal dunia, Christophine Li atau biasa disapa Chris, tinggal dengan keempat anak laki-lakinya yang tampak seperti monster. Mereka selalu menganggapnya sebagai ayah yang...