Bab Tigapuluh Dua

312 25 14
                                    

"Kemaren pas Tante ke sekolah kamu, Tante kenalan sama Keyzan."

Jael berhenti meneguk air mineral, lantas terburu mengembalikan botol ini ke dalam kulkas, baru mendekat ke tempat Luna duduk di sofa sana, "Aku liat kalian ngobrol di tribun. Ngomongin apa aja?"

"Cuma basa-basi, sih. Bentar doang, abis itu kan kalian balik kelas semua."

Jael mengangguk, ia perhatikan bagaimana Luna membawa diri. Baru beberapa hari ini Luna kembali ke sini dengan maksud menjadi walinya—menggantikan orang tuanya yang sibuk mengurus bisnis kelapa sawit mereka di Bali sana. Namun, Jael sendiri merasa ketar-ketir jika Luna ada di sini. Dia tahu bagaimana masa lalu wanita nyentrik ini meski hanya secara garis besar.

"Tante ngga punya rencana apa-apa, kan? Jangan libatin Key, ya."

Luna tersenyum miring, "Iya, Tante tau Keyzan jantungnya lemah."

"Tante ngga mau Papa sama Akung marah-marah lagi, kan?"

Sejenak, Luna berpikir serius. Dia menyelami masa lalunya dalam sebuah lamunan.

"Aku juga ngga pernah ngebenerin apa yang Tante lakuin waktu itu, loh, ya," Kemudian, Jael dapati dengusan dari Luna, sampai dia biarkan jari-jari lentik adik tiri ayahnya ini membelai rambutnya, "Jangan bikin masalah lagi, ya, Tan."

"El, justru Tante mau bilang makasih karna kamu minta anter jenguk Keyzan di rumah sakit tempo hari itu," Luna kini tersenyum makin lebar, "Ngga, kok, Sayang. Tante masih tau batesan."

"Aku ngga mau Tante dimarahin lagi, tau. Apalagi, ini urusannya sama keluarga temen aku, ya," Lantas, Jael menggenggam tangan Luna, matanya menyiratkan harapan, "Lagian, Tante tau sendiri gimana parahnya kakak-kakak Keyzan dulu neror Tante, kan?"

Luna mengangguk lagi, "Cuma Keyzan yang ngga tau apa-apa, kan?"

"Makanya, jangan sampe dia tau apa-apa."

"Tenang aja. Tante ngga lagi-lagi, kok."

Entah sekadar janji atau hanya bualan semata, Luna pun tidak tahu. Semenjak bertemu Chris setelah sekian tahun berlalu di kafetaria rumah sakit, dia benar-benar sudah meredam perasaannya—dia ingin lupa, dia mau pergi, tapi takdir Tuhan selalu sebercanda ini.

Setidaknya, Jael harus waspada. Ia harus mengawasi sekecil apa pun tindak-tanduk wanita ini. Jael tahu seberbahaya apa kondisi mental Luna, sehingga dia harus memastikan tidak ada situasi buruk di sekitarnya.

"Satu hal, Tante. Tolong, jangan bawa-bawa namaku. Jangan libatin aku, jangan sebut aku. Jangan rusak persahabatanku sama Keyzan, jangan sampe kakak-kakak Keyzan tau kalo Tante, tuh, Tanteku juga."

"Kalo Key cerita?"

"Makanya, jangan muncul di depan dia lagi. Tante harus berhenti, udah saatnya move on, kan? Mau sampe kapan? Hidup cuma sekali jangan dibikin rumit, deh. Cukup sekali Tante ketemu Key kemaren, jangan sampe dia penasaran sama sosok Tante."

Luna tidak sepenuhnya setuju, tapi tetap mengangguk.

***

"Nah, udah sampe, nih," Cayden berdeham kikuk setelah memarkir mobil, ia menunggu respon adik-adiknya, terutama Brazka dan Keyzan yang masih terlibat perang dingin. Alhasil, seusai melepas sabuk pengaman, dia menoleh ke mereka berdua, "Ngga mau pada turun? Jadi, cuma aku sama Jounta aja yang jemput?"

"Aku ikut," Brazka spontan membalas, tapi dia melanjutkan lagi, "Key pake masker. Kan banyak virus, tuh, dari orang-orang."

Jounta mengesah, buru-buru menengahi sebelum Keyzan sempat tersulut lagi, "Ngga papa kali, Braz. Sini situ doang."

This is Home! [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang