• BAB TUJUH •

565 47 5
                                    

Cayden dan Jounta kembali menuju kamar Keyzan. Di sela perjalanan mereka, Jounta memberanikan diri untuk menyinggung masalah yang mungkin sudah tidak seharusnya dibahas. Ketika langkah-langkah mereka hampir berbelok menuju lorong kamar inap Keyzan, Jounta justru menepuk bahu Cayden sehingga keduanya kini saling menatap.

"Kenapa, Ta?"

"Aku masih inget kata Mama, Kak."

"Mama? Bilang apa emang?"

Cayden tampak berusaha mengalihkan diri, tapi dia tidak bisa lari sebab sepasang mata Jounta sudah berkaca-kaca.

"Aku ngga mau nanya soal masalah Kakak sama Papa tadi, aku juga udah tau kalo kalian pasti saling nyalahin kaya biasa. Di antara kita berempat, Kakak yang paling nentang Papa."

"Terus? Poinnya di mana? Apa hubungannya sama omongan Mama?" Cayden merasa frustasi saat Jounta mulai berbelit begini, "Kalo kamu cuman mau ngingetin sama masa lalu, mending ngga usah."

"Mama bilang ini ke kita bertiga, tanpa Keyzan. Waktu itu, aku inget banget Mama wanti-wanti kita buat jangan jadi laki-laki kaya Papa dan sekarang aku baru ngerti maksudnya."

Cayden melengos sejenak, ia tentu tidak lupa hari itu—hari di mana ibunya berujar hal janggal terhadap ayah mereka, untuk pertama kalinya. Namun, sekarang bukan saat yang tepat untuk membicarakan itu, jadi dia mengajak Jounta agar berjalan lagi, "Lupain apapun itu yang pernah bikin kita sakit hati sekaligus yang jelas bikin kita teringat sama Mama. Mending, kita cek keadaan Keyzan."

Ternyata setelah hening selama beberapa saat, Cayden dan Jounta akhirnya sampai di kamar inap Keyzan. Meski seperti adegan lambat—sebab keduanya hanya termenung di sana dengan pikiran kalut masing-masing—tidak ada yang berinisiatif membuka pintu lebih dulu.

"Kak? Kak Cayden? Kak Jounta?" Brazka mendapati mereka tercenung berdua, ia mendadak sangsi, "Kenapa ngga masuk?" Keyzan udah sadar."

Setelah kalimat Brazka barusan, Cayden dan Jounta berebut masuk ke kamar Keyzan dan malah mendapati Chris ada di sana juga. Keyzan tersenyum tipis, lantas melirik sekilas air muka Chris yang kini duduk di sebelah ranjangnya. Brazka pun kembali menyusul, semula ia keluar untuk mencari Cayden dan Jounta, tapi ternyata mereka sudah berdiri gamang di depan pintu tadi.

"Halo, Kak," Sebelah tangan Keyzan yang bebas—yang tidak digenggam Chris dan tidak sedang di infus—melambai lemah, "Maafin aku, ya. Gara-gara aku, hari Minggu yang udah Kakak nantiin ini ngga kerasa kaya hari Minggu."

Cayden lebih dulu mendekati Keyzan, lalu mengelus rambut berkeringat itu sekilas, tanpa sedikitpun menukar tatapan dengan Chris, "Kamu udah ngga papa beneran? Emang semalem gimana ceritanya? Kenapa ngga bangunin Brazka? Hm, atau jangan-jangan udah, cuman Brazka aja yang ngga denger, ya?" Ia memberundung, tapi ketika Keyzan tertawa, Brazka malah memberengut.

"Dia pasti nahan-nahan lagi itu, emang sengaja ngga bangunin aku."

"Iya, abis Kak Brazka udah pules banget, ampe ngorok-ngorok," Keyzan membela dirinya sendiri, "Udah ngga papa, kok, Kak."

"Tapi, jangan dijadiin kebiasaan, dong. Akibatnya bisa fatal, tau."

Keyzan menoleh pada Brazka, baru mengulas senyum lagi, tapi tidak memberi kalimat lebih lanjut sampai Cayden menyambung lagi.

"Kalo gitu, cepet sembuh biar cepet pulang. Nanti aku ajarin naik motor."

"Naik doang mah gampang," Jounta menyahut, "Kalo sama aku, aku ajarin nyetirnya sekalian, Key."

"Ya maksudnya gitu," Cayden mendumel sambil menyikut rusuk Jounta, "Di komplek dulu aja, biar ngga kena amuk massa."

"Beneran boleh? Ntar kalo diklakson, aku kaget gimana?"

Brazka mencibir, "Makanya, udah ngga usah aneh-aneh. Minta anter Mang Samir juga udah beres."

"Kasian. Udah tua, Kak. Kalo aku bisa, kan ntar gampang mau ke mana-mana."

Jounta akhirnya berdiri di dekat Keyzan terbaring, ia lantas menempelkan telapak tangannya di kening itu tanpa menyambut tatapan dari Chris, "Demamnya udah turun, terus udah ngga seberapa pucet, tetep aja mata kamu masih keliatan sayu banget. Tapi kamu belom cerita kronologisnya gimana, malah dialihin ke sana ke sini," Ia sengaja mengembalikan topik semula sehingga Keyzan menghela napas berat.

Namun, bukannya memberi tanggapan, Keyzan malah menengok pada Chris yang sedari tadi dianggap tidak ada, "Nanti malem, aku udah diijinin pulang. Ya, kan, Pa?"

Chris tergelagap sejenak karena tiba-tiba dilibatkan pembicaraan, jadi dia hanya bisa mengangguk seadanya.

"Harus janji dulu, kalo kerasa apa-apa langsung bilang, ngga usah dipendem-pendem, biar ngga telah kaya gini lagi," Suara Brazka akhirnya menjadi pemecah keheningan di ruangan penuh bau obat ini, "Kalo ngga, aku juga ngga mau bantu ngerjain PR kamu, Key."

"Dih, ngancem," Jounta berkomentar dengan maksud berada di pihak Keyzan, "Tenang aja, Key. Kalo ngga dibantuin Brazka, ntar biar aku aja yang bantuin."

"Dih, pede amat," Cayden turut mengompori demi mendukung persepsi Brazka, "Emang dijamin ngga sesat kalo kamu yang ngerjain PR Keyzan? Keyzan aja ngga yakin, tuh."

Kemudian, mereka bertiga saling menukar tawa, tapi Keyzan jadi tak tega pada Chris—yang hanya bisa mengamati sedemikian rupa tanpa berani bergabung dengan anak-anaknya sendiri.

"Mm, aku ngantuk, kayanya efek obat. Aku boleh tidur ngga?"

Keyzan mengakhiri ini semua dari pada dia harus menyaksikan seberapa jauh rentang jarak yang dibangun kakak-kakaknya terhadap ayah mereka.

***

Keyzan terisak, namun sedu sedannya sedang mati-matian ia tahan—urung tidur seperti pamitnya tadi.

Dia sengaja memiringkan diri sekaligus memunggungi pintu, siapa tahu ada yang memergokinya sedang menangis. Demi apapun, dia hanya sedang merindukan ibunya, mendiang Violetta; sosok seorang ibu yang anggun, lemah lembut, pengertian, perhatian, dan hanya ada satu di dunia sekalian satu-satunya wanita di keluarga Li.

Keyzan tahu ia harusnya bersyukur. Ia masih bisa hidup mewah, ia masih memiliki ayah dan kakak-kakak yang begitu menyayanginya. Namun, semua itu sirna begitu rindu ini melanda bersamaan dengan rasa sakit di jantungnya, dia mulai muak. Keyzan bagaikan sinar temaram yang seolah dipaksa benderang di sini.

Ia masih berumur enambelas tahun. Ia bukan remaja yang bisa dituntut menjadi dewasa—meski tidak ada yang memintanya demikian, tapi dia bergerak sesuai intuisinya sendiri.

"Ma—Mama," Keyzan merasakan sakit itu lagi, sakit yang menghujam dadanya, entah berasal dari jantungnya atau kerinduannya, "Aku sakit, Ma. Mama harusnya di sini, Mama biasanya di sini. Ma, dadaku sesek. Aku ngga tau ini karna aku kangen Mama atau emang murni dari jantungku. Ma, Mama harusnya nemenin aku. Ma, Mama biasanya bantu aku ngeredain sakit ini."

Monolog Keyzan usai saat bantalnya basah.

***

TO BE CONTINUED

This is Home! [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang