• BAB TIGA •

704 86 33
                                    


Brazka terburu menemui Chris di pelataran parkir rumah. Karena jika ia tak bergerak cepat, maka ayahnya ini pasti sudah lebih dulu sampai di ruang kerjanya. Maka, saat Chris belum selesai menutup pintu mobil, Brazka sudah menahan dengan dua tangannya. Dia secara samar menyuruh sang kepala keluarga itu untuk turun dari mobil.

Jadi, Chris berhadapan dengan Brazka sekarang.

"Kenapa, Brazka? Papa ada rapat penting pagi ini—"

"—aku mau hp baru," Brazka berkata acuh tak acuh seraya menimang ponselnya agar Chris bisa memproyeksi benda datar itu sebaik mungkin, "Papa bisa cek sendiri, layarnya ngga bisa nyala."

Brazka bukan sedang beralasan, tapi memang kenyataannya seperti ini.

"Oh. Kalo kamu udah butuh Papa, baru mau ngomong, hm?"

Brazka berdecak; mulai jengah dengan retorisme Chris. Tapi, ia terpaksa melanjutkan, "Mm. Terserah, yang jelas aku butuh hp sekarang juga," Lantas, salah satu anak tengah dalam keluarga Li ini bersedekap sambil memiringkan kepala, "Jadi, gimana?"

Chris sudah bisa mencerna maksud Brazka, tapi dia tetap bukan tipe ayah yang selalu mengabulkan ingin si anak tanpa ada syarat dan ada bukti. Yah, meskipun tak jarang Chris selalu menjejalkan barang-barang mewah untuk mereka berempat.

"Sini, biar Papa cek dulu," Chris menengadahkan tangan, membiarkan Brazka meletakkan ponsel—yang ia belikan tahun lalu—itu agar mendarat di sana, "Kenapa bisa sampe kaya gini? Kamu apain, Braz?" Ia memilah beberapa bagian dan memang benar layar ponsel itu sudah retak separuh. Yah, meski pada dasarnya, Chris sama sekali tak tahu apa-apa mengenai teknologi.

Brazka melengos, lagi-lagi malas menghadapi Chris, "Papa lagi cari alesan biar ngga perlu beliin aku hp baru?"

"Kalo cuma segini, diperbaikin aja kan bisa, Brazka. Nanti minta anter Kakak-kakak kamu, Cayden atau Jounta. Ya?" Chris memang masih memegang ponsel Brazka, tapi atensinya sudah sepenuhnya beralih pada si mata sipit ini sekarang, "Harusnya kamu ati-ati, dong. Ini kan barang mahal. Kenapa ngga bisa ngehargain—"

"Kenapa jadi nyalahin aku?"

Brazka akhirnya berani mengilatkan marah, matanya tajam menusuk iris Chris, suaranya beroktaf tinggi sengaja menelurkan ketidaksukaan dan rasa tidak terima.

"Kenapa Papa selalu nyalahin?"

Chris mulai lelah. Sepertinya, apapun yang ia katakan, selalu salah di mata anak-anaknya. Tak terkecuali, "Papa bukannya nyalahin, Brazka, Papa cuma ngasih tau. Papa juga mau ingetin kalo kamu udah berkali-kali ganti hp. Tahun ini aja kamu hampir—"

"—terus, Papa mau bilang kalo ngga punya uang?"

Chris baru saja ingin membantah tuduhan itu. Namun, Brazka sudah lebih dulu menyerobot setengah berteriak.

"Sementara uang-uang Papa melimpah ruah di mana-mana, hm?"

Brazka menunggu ayahnya mengeluarkan statement—tapi, nihil. Chris hanya menahan amarahnya, ia tak ingin terpancing, ia tidak boleh terbawa suasana. Chris jelas-jelas sedang melindungi mood hari ini agar tidak hancur begitu saja. Masih banyak pekerjaan di kantor yang terlantar dan butuh campur tangannya, masih ada klien-klien penting yang mengharap kebijaksanaannya sebagai pemimpin perusahaan. Urusan Brazka bukanlah sesuatu yang seharusnya ia pikir keras-keras.

Rencananya tidak boleh berantakan.

"Ya udah! Aku beli hp baru sendiri pake tabunganku aja!"

Sebelum Brazka berhasil merebut kembali ponselnya, Chris sudah lebih dulu merampas balik dan menggenggamnya erat-erat agar tak terjamah lagi.

This is Home! [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang