Tengah malam begini, Cayden dan Ryndzie baru sempat mengisi perut mereka. Keduanya duduk berhadapan di sebuah kedai, di meja sudah ada dua mangkuk ronde dan dua gelas wedang jahe. Ryndzie sengaja tidak menyinggung soal Jounta yang kini harus dirawat di panti rehabilitasi sebab dia tahu itu jadi beban terberat Cayden saat ini. Namun ternyata, ada satu hal yang mereka abaikan—panggilan telepon dari Keyzan. Ponsel Cayden terus menjerit sejak duapuluh menit lalu, menandakan bahwa adiknya di seberang sana butuh bicara.
"Angkat, Den. Kamu nggak kasian Key apa? Siapa tau penting."
"Nggak," Cayden menggeleng tegas, "Paling dia ngerengek minta aku pulang. Aku nggak boleh denger itu, bisa-bisa goyah nanti."
"Sok tau. Coba angkat dulu. Kayaknya urgent banget."
Cayden masih gamang, tapi sepasang pupil bergetarnya tak luput memandangi benda datar di tengah meja itu.
"Kalo sampe Key minta aku pulang, aku bakal langsung tutup teleponnya."
"Terserah," balas Ryndzie, agak geregetan. "Cepet diangkat, keburu mati. Lagian, apa salahnya ngomong sama adek sendiri, sih?"
"Dibilangin, kalo aku denger suara mereka udah pasti aku nggak tega."
Setelah perdebatan singkat itu, Cayden putuskan untuk menuruti saran Ryndzie—dia tempelkan ponsel ini ke telinga kanan sambil berharap-harap cemas.
"Ya, Key?"
Hening, sebab satu hal paling dominan di seberang sana adalah suara tangisan. Tangis yang jauh lebih pilu dibanding kemarin malam. Keyzan tidak mungkin menelepon karena Jounta sekarang, berarti dia menelepon sudah jelas merujuk ke Brazka. Setidaknya, nalar Cayden berjalan selancar itu, tidak sejalan dengan degup-degup jantungnya yang mengencang.
"Kenapa, Key?!"
Ryndzie sempat terlonjak saat Cayden tiba-tiba membentak, sehingga beberapa tatapan dan sekian atensi pengunjung lain teralih ke meja mereka.
["Kak Brazka—Kak Brazka."]
"Brazka kenapa, Key?!" Cayden mendadak berdiri, wajahnya dipenuhi ekspresi sarat kekalutan. "Ngomong yang bener!"
["Kak Brazka tadi nyayat nadinya. Sekarang lagi di IGD. Keabisan darah. Da—darahnya banyak banget. Banyak, Kak. A—aku takut. Aku takut Kak Brazka nggak bisa diselametin—"]
"Kalo ngomong dipikir!" Cayden benar-benar kelepasan memarahi Keyzan—yang menurutnya asal bicara itu. "Sori. Tapi, Key, jangan mikir gitu. Doain. Shareloc, ya. Aku ke sana sekarang. Tunggu."
Begitu sambungan terputus, mata berkaca Cayden dan mata panik Ryndzie bersitatap. Bagai bisa membaca pikiran Cayden, Ryndzie tidak perlu bertanya untuk tahu bahwa ini adalah keadaan mendesak. Jadi, dia sigap menarik lengan Cayden hingga mereka di luar kedai sekarang.
"Brazka. Kok bisa? Kok bisa dia mau bunuh diri?"
Tak dipungkiri, gumaman Cayden barusan turut menyentak Ryndzie. Karena hanya dia yang tidak boleh berlarut dalam berita buruk itu, dia juga harus segera menyadarkan laki-laki jangkung ini.
"Sekarang, fokus dulu. Kita harus ke rumah sakit, Den."
Alhasil, Cayden mengangguk berulang kali sebelum mengajak Ryndzie masuk ke mobilnya.
***
"Bapak walinya Brazka Li?"
Chris bergegas meninggalkan sisi Keyzan saat seorang pria muda berjas medis dan berkalung stetoskop menghampirinya dengan wajah tak terdefinisi. Maka, dia juga buru-buru menyahut, "Ya. Saya ayahnya. Gimana keadaan anak saya, Dok?"
KAMU SEDANG MEMBACA
This is Home! [✓]
Novela JuvenilKeluarga Li sudah tidak memiliki kehangatan seperti dulu. Semenjak istrinya meninggal dunia, Christophine Li atau biasa disapa Chris, tinggal dengan keempat anak laki-lakinya yang tampak seperti monster. Mereka selalu menganggapnya sebagai ayah yang...