Jael membulatkan mata saat membaca pesan teks dari Hedaz. Dia menggeleng berulang kali, enggan percaya pada sederet kalimat pemberitahuan itu.
El, Key koma.
Alhasil, Jael terburu mengecek isi grup kelasnya. Dia mengurut setiap doa yang diucapkan teman-temannya. Rupanya, benar. Wali kelasnya baru saja meminta doa kepada mereka semua untuk kesembuhan dan kepulihan Keyzan.
"Nggak mungkin. Kemaren dia sehat-sehat aja," gumam Jael sambil membanting ponsel sekaligus diri sendiri ke sofa. Dia frustrasi sampai-sampai perlu memejamkan mata dan memijit pelipisnya. "Key, kenapa nggak ada ketenangan buat sebentar aja, sih?"
Akel memicing saat menemukan puteranya tampak terpuruk di ruang tengah itu, sehingga dia buru-buru meletakkan cangkir kopinya di meja, baru menghampiri Jael.
"Kamu kenapa, El? Ada masalah?"
Jael justru spontan mendongak, "Pa. Berapa persen kemungkinan orang koma bisa sadar lagi?"
"Koma? Setau Tante, nggak ada angka pastinya. Itu cuma soal keajaiban dan takdir Tuhan. Jadi, ya, tergantung," sambar Luna, tanpa tahu konteks apa yang sebelumnya dimaksud Jael. Lantas, dia duduk di sebelah Jael setelah meneguk habis jus jeruknya. "Emang siapa yang koma? Temen kamu?"
"Beneran temen kamu, El?"
Jael menghela napas berat sebelum menyahut, "Bukan temen, tapi sahabat aku. Key. Keyzan, Pa. Keyzan, Tante. Iya, yang koma itu Keyzan."
Luna dan Akel tentu tahu siapa Keyzan—salah satu putera dari keluarga Li, si bungsu yang dilarang mengetahui apa pun soal kebusukan ayahnya itu.
"Kok bisa tiba-tiba ko—koma?" Luna jadi terbata, dia menatap nanar wajah Jael. "Bukannya udah operasi?"
Namun, Jael hanya bisa menggeleng sepintas.
"Bukan gara-gara kamu lagi, kan, Lun?" tuduh Akel, "Kamu nggak buat ulah sama keluarga itu lagi, kan?"
Terang saja Luna refleks menggeleng, "Nggak lah. Aku nggak ngapa-ngapain. Suer."
Ya, karena upaya Luna untuk mendekati Chris lagi saja belum terealisasi sepenuhnya, bagaimana bisa dia yang menyebabkan Keyzan terbaring tak sadarkan diri?
***
Karena Keyzan harus intens dipantau, maka sebelum jam besuk tidak ada yang boleh mengunjunginya.
Chris hanya bisa memandangi Keyzan lewat pembatas kaca ruang ICU. Dia raba kaca bening ini bagai sedang membelai wajah putera bungsunya. Dia kuatkan hati begitu mendapati banyak alat medis menopang hidup anak kesayangannya. Chris tahu dia sudah gagal jadi seorang ayah. Bulir-bulir air matanya pun enggan berhenti sebab dia sibuk berpikir—bagaimana bila Keyzan tak memilihnya dan lebih memilih Violet?
Ya, hati ayah mana yang tak hancur dan remuk mendapati anaknya hanya memiliki dua pilihan untuk bertahan hidup, bahkan keduanya bukan pilihan terbaik. Jika tidak kunjung sadar, Keyzan bisa tetap dibiarkan dalam keadaan mati otak dan hidup bergantung dengan alat-alat medis. Namun, jika memang sudah tidak ada perkembangan dan kemajuan lagi, Keyzan terpaksa harus direlakan pergi dan alat-alat medis itu pun akan dicopot.
Bagaimana bisa Chris memilih di antara kedua hal itu di saat dia hanya mau Keyzan sadar?
"Keyzan harus sadar, Keyzan harus sadar, Keyzan harus sadar."
Chris menoleh saat rapalan Brazka menginterupsi lamunannya. Dia temukan Brazka tak beda jauh dengannya. Anak itu terus menatap nanar Keyzan di dalam sana, tangisnya membanjir, jarinya membelai kaca pembatas, dan ada kerapuhan yang terang-terangan ditunjukkan di sosok yang biasa ceria ini. Brazka hanya enggan memikirkan bahwa ada kemungkinan kata tamat tersemat dalam hidup Keyzan. Tidak, dia tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa Keyzan. Tidak, dia tidak akan pernah bisa melanjutkan hidup lagi jika Keyzan tak di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
This is Home! [✓]
Teen FictionKeluarga Li sudah tidak memiliki kehangatan seperti dulu. Semenjak istrinya meninggal dunia, Christophine Li atau biasa disapa Chris, tinggal dengan keempat anak laki-lakinya yang tampak seperti monster. Mereka selalu menganggapnya sebagai ayah yang...