Chris sudah duduk di kafetaria sambil menyeruput cappucino yang masih mengepulkan asap ini. Lantas, dia menyibukkan diri dengan email-email yang belum selesai ia periksa sejak semalam, sungguh demi apapun dia tak sempat memindah tatapan dari layar laptopnya.
Namun, atensi Chris harus teralih saat dia sadar ada seorang wanita duduk di hadapannya.
"Hai?"
Chris membeku dalam sekejap, dia kepayahan meneguk ludah, dia kelimpungan menguasai diri, kini dia otomatis bergerak gelisah di kursinya.
"Udah lama kita ngga ketemu, taunya ketemu di sini. Kebetulan banget."
Chris diam, tapi sekujur tubuhnya sudah mendingin dan pelipisnya mendadak bercucuran keringat.
"Apa kabar?"
Wanita ini adalah wanita yang harusnya dia hindari. Dia—satu-satunya sebab di mana hidupnya mengalami kehancuran. Dia—satu-satunya alasan mengapa anak-anaknya membenci dirinya.
"Aku turut berduka atas kepergian istrimu. Aku ngga tau kabarnya."
Chris tidak habis pikir mengapa ia masih terjebak di sini. Sebagian dirinya, lancang dan sah-sah saja menerima kehadiran wanita ini. Sedangkan sebagian dirinya yang lain, merasa bahwa ini sebuah kesalahan sama yang tidak boleh terulang. Chris sadar kodratnya sebagai seorang pria dewasa adalah haus akan nafsu, tapi ia tidak selalu berpijak di tempat itu. Ia butuh, ia memang butuh hatinya yang kosong diisi oleh orang lain. Ia butuh, ia memang butuh teman hidup baru. Namun, tidak dengan wanita ini lagi.
Karena Chris masih terbelenggu dalam rasa bersalahnya yang tidak akan lekang oleh waktu.
"Kenapa kamu ada di sini? Keyzan sakit?"
Dia terus membuka obrolan, sedangkan Chris masih membisu.
Atmosfer canggung ini bagai membelenggu Chris, ia berusaha mengenyahkan memori masa lalu yang tiba-tiba mampir di benaknya lagi. Ia harus bisa mengusir momen mesra yang sempat menghancurkan rumah tangganya dulu. Luna, wanita ini, tidak boleh kembali.
Jadi, Chris beranjak dari kursinya, tidak mengatakan apapun, dan berlalu dari sana.
Luna mengernyit, tidak memanggil apalagi mengejar pria yang punya daya magis bagai siap menghipnotisnya tiap detik itu, seorang duda yang pernah dia cintai sepenuh mati, seorang kekasih yang pernah berbagi segalanya.
Di sisi Chris, dia harus pergi sebab sekelebat wajah anak-anaknya telah hadir—seolah pengingat, seakan peringatan, bahwa dia harus segera menyelamatkan diri.
***
"Karena detak jantungnya udah stabil, juga udah ngga lemes dan ngga sesek, maka Keyzan boleh pulang besok pagi."
Seusai kalimat Jatra barusan, wajah Chris, Cayden, Jounta, dan Brazka berseri.
"Tapi, perlu dicatat bahwa Keyzan ngga boleh terlalu banyak melakukan aktivitas fisik, ngga boleh terlalu banyak pikiran, ngga boleh minum minuman berkafein, dan hindari makan makanan tinggi gula," Jatra pun beralih pada Keyzan yang duduk bersandar di ranjangnya, "Okay?"
Lantas, Keyzan memberi gestur hormat untuk Jatra, "Siap! Ngga akan dilanggar, Dok!"
"Balik sini pas waktunya kontrol, ya. Bukan pas jantung kamu kambuh lagi, loh," Jatra mewanti-wanti sambil mengulas senyum, "Jangan telat kontrolnya. Makan teratur, banyak minum, obat jangan lupa, terus tidurnya minimal harus delapan jam. Jangan forsir diri, kalo ngga kuat, berhenti."
Keyzan tahu yang Jatra tekankan di sini adalah kebiasaannya yang selalu memaksakan tenaga dan pikiran yang sama sekali tak mumpuni ini.
"Makasih banyak, Dok," Akhirnya, Chris menyahut, lalu mengantar Jatra sampai ke pintu kamar, "Keyzan akan saya pantau terus biar dia ngga sembarangan lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
This is Home! [✓]
Novela JuvenilKeluarga Li sudah tidak memiliki kehangatan seperti dulu. Semenjak istrinya meninggal dunia, Christophine Li atau biasa disapa Chris, tinggal dengan keempat anak laki-lakinya yang tampak seperti monster. Mereka selalu menganggapnya sebagai ayah yang...