Bab Limapuluh Empat

314 32 19
                                    

Setelah mengantar Jounta ke panti rehabilitasi, Cayden memandangi Brazka dan Keyzan yang duduk di masing-masing ranjang mereka. Lantas, dia tersenyum sambil merentangkan kedua tangannya, dengan sengaja meminta adik-adiknya menghampiri dia—dan pelukan mereka bertiga pun tercipta.

"Good job. Kalian keren, tau. Makasih udah tetep sabar, makasih udah tetep kuat. Sori. Aku bukan Kakak yang sempurna buat kalian bertiga. Karna aku, Jounta jadi gitu. Tapi, ngga papa. Anggep aja ini semua kerikil-kerikil kecil doang. Kita bisa laluin bareng-bareng, kan? Jangan lupa, terus semangatin Jounta. Ya?"

Cayden tahu air matanya siap meluncur kapan saja, maka dia perlu mengalihkan dengan sibuk mengusap dua puncak kepala yang kini menetap di dadanya.

"Kakak mau pergi lagi?" tanya Brazka.

Namun, Cayden bungkam seketika. Sejak tadi pagi sampai siang ini, dia masih enggan bertegur sapa dengan Chris. Toh, Chris juga tidak menganggapnya ada.

"Kakak mau ninggalin kita lagi?" cicit Keyzan.

Lagi-lagi, Cayden tak bersua. Dia bergeming di tempat. Lalu, menjauhkan diri dari kedua adiknya, baru mengulas senyum sambil menatap bergantian mata sipit Brazka dan mata bulat Keyzan.

"Tunggu, ya. Ini belum saatnya aku balik. Tapi, nanti kita bisa sama-sama jengukin Jounta. Buat sekarang, kalian harus bertahan berdua. Saling ngandelin, saling bergantung. Bukan cuma Brazka yang harus jagain Keyzan, tapi Keyzan juga harus jagain Brazka. Just wait a lil' bit longer. Aku pasti kembali. Tapi, maaf, ngga sekarang."

Terakhir, Cayden mengusak rambut Brazka dan Keyzan sebelum meraih ransel sekaligus jaket yang semalam dia tinggalkan di belakang pintu kamar. Ya, bahkan dia tidak mengunjungi kamarnya sendiri.

"Kapan? Kapan Kakak balik? Harus nunggu apa? Emang harga diri Kakak masih setinggi itu? Emang martabat Kakak jauh lebih penting? Iya? Dibanding kita berdua? Sampe-sampe Kakak rela pergi ninggalin kita cuma karna pertengkaran Kakak sama Papa."

"Bukan cuma, Braz," desis Cayden, secepat kilat berbalik menghadap Brazka, "Bukan cuma. Aku tau kita semua ngga akur sama Papa. Key juga sekarang. Aku bukannya lagi egois dan ngerasa jadi si paling tersakiti. Tapi tolong, buat liat muka Papa aja aku masih belum bisa. Tapi tolong, buat pertama dan terakhir kali, ngertiin aku."

"Kenapa Kakak ngga ajak kita? Kenapa kita harus ditelantarin di sini? Di rumah ini, cuma tinggal aku, Kak Brazka, sama Papa. Di rumah ini, udah ngga ada hal yang bisa selayaknya nyebut kita bertiga sebagai keluarga. Plis, Kak. Jangan pergi."

"Ngga segampang itu bawa kalian ikut aku. Di luar sana, dunia jauh lebih jahat dibanding di dalem sini. Setidaknya, buat kalian," sengit Cayden, ganti menghadap Keyzan, "Key, kalo kamu ikut aku, siapa yang bisa nebus obat-obat kamu? Aku aja berjuang mati-matian buat hidupku sendiri."

Maka, Brazka dan Keyzan sama-sama menyerah. Mereka rasa percuma membujuk dan menahan Cayden yang masih menjunjung tinggi dan menomorsatukan hatinya. Lagi pula, tidak satu pun dari mereka membahas Chris lebih lanjut di sini. Keyzan masih dibiarkan dengan tanda tanya terhadap masa lalu menyakitkan itu. Tentang perbuatan melenceng Chris, soal perselingkuhannya yang entah dengan siapa, dan perkara kebencian yang terus menguar entah sampai kapan.

Keluarga Li telak menemui kehancuran.

***

"Mas Akel!"

Seruan Luna turut membuat Jael berlari menuju pintu—ternyata ada seorang pria dengan wajah sumringah yang mampir sebagai tamu di sana. Akel, kakak tiri Luna sekaligus ayah kandung Jael.

"Papa! Kok ke sini ngga bilang-bilang dulu, sih?"

Akel pun balas memeluk Jael, lalu mengikuti anak sematawayangnya sampai mereka sama-sama duduk di sofa ruang tengah. Luna sendiri masih tertegun di ambang pintu, dia baru sadar saat panggilan Akel hadir sehingga dia kembali mengunci pintu, baru bergabung dengan Akel dan Jael.

This is Home! [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang