20

79 4 0
                                    

Yifan tersenyum saat memasuki kamarnya. Sebuah kamar yang sudah hampir sepuluh tahun dibiarkan kosong namun tetap dijaga kebersihannya. Yifan sama sekali tidak mendapati debu sedikit pun. Selain itu, tempat tidur dan wallpapernya juga sudah diganti. Dulu, kamar itu mempunyai wallpaper berwarna hijau muda dan sebuah tempat tidur kayu. Tapi kini, wallpapernya berwarna putih gading dengan terdapat stiker menara Taiwan 101 di salah satu sudut –sedikit aneh menurut Yifan tapi sepertinya stiker itu adalah pilihan Zitao, sepupunya. Tenpat tidurnya juga sudah diganti dengan yang lebih besar.

Yifan menaruh tas ranselnya di atas tempat tidur dan menyimpan kopernya di dekat meja kayu yang diletakkan dekat jendela besar. Yifan membuka jendela tersebut dan membiarkan udara dingin memenuhi seluruh kamarnya.

"Ge, suhu di luar itu sepuluh derajat. Kau mau masuk rumah sakit?"

Yifan menoleh dan melihat Zitao berdiri diambang pintu sembari melipat kedua tangannya. Ekspresi wajahnya terlihat sedang jengkel. Yifan tersenyum tipis lalu menarik kursi dan duduk. "Kenapa wajahmu begitu, eh?"

"Masih bertanya? Bibi bilang kalau kalian akan datang bertiga. Dengan saudara tirimu. Tapi ternyata kau malah datang sendiri," kata Zitao.

"Joon sedang sakit, jadi tidak bisa berpergian. Mom juga tidak bisa meninggalkannya, Appanya sibuk dengan pekerjaan. Kalau aku dan Mom pergi, Joon akan sendirian di rumah," jawab Yifan.

Zitao mendengus. "Lalu kenapa kau tetap datang? Kau bisa membatalkannya."

"Karena aku sedang ingin sendiri. Di rumah itu, rasanya terlalu menyesakkan," gumam Yifan.

Zitao menaikkan satu alis. Kemudian ia menghela nafas dan berjalan masuk. Zitao juga menutup pintu sebelum dia menghampiri Yifan. "Mengenai perasaanmu itu?"

Yifan menatapnya dengan penuh selidik. "Apa saja yang sudah dikatakan Luhan padamu, eh?"

Yifan mengenalkan Zitao pada Luhan satu bulan setelah dia pindah ke Seoul dan sepertinya mereka berdua sering-kali mengobrol tentang banyak hal melalui skype atau bahkan mengirim e-mail. Oh, Luhan bahkan menceritakan tentang perasaan Yifan pada seorang siswa dari kelas Musik pada Zitao. Dan tidak lama juga, Zitao akhirnya mengetahui kalau siswa dari kelas Musik itu akan menjadi saudara tiri Yifan.

Zitao mengangkat bahu. "Entahlah. Aku juga tidak ingat. Dia lebih banyak menceritakan tentang dirimu, tentang siswa kelas musik itu yang sekarang menjadi saudara tirimu dan oh... tentang lukisanmu yang dirusak oleh orang. Sudah ketemu pelakunya?"

Yifan menggeleng. "Jangan mengatakan hal itu dihadapan keluarga yang lain. Mereka mungkin akan mengirim orang ke sekolah."

"Atau lebih buruk. Jika aku tidak sengaja mengatakan kalau kau menyukai saudara tirimu. Uhm... Han ge mungkin akan datang ke rumah barumu dan menemui saudaramu itu," goda Zitao.

Ekspresi Yifan berubah kesal. "Jika kau mengatakannya, maka kau yang akan pergi ke rumah sakit, Huang Zitao."

Zitao tertawa. "Aku tidak takut, Wu Yifan. Karena Han ge juga akan mengirimmu ke rumah sakit."

Yifan mendecih jengkel. Huang Zitao akan selalu bersembunyi dibalik punggung Han ge mereka walaupun tubuhnya jelas-jelas lebih besar dari Han ge. "Sudah, keluar sana. Aku mau istirahat. Bangunkan jika sudah waktu makan malam."

"Eh? Kau tidak mau makan siang dulu?" tanya Zitao.

Yifan menggeleng. Kemudian dia berdiri dan mendorong Zitao untuk keluar dari kamarnya. Yifan membuka pintu dan mendorong tubuh Zitao keluar. Zitao berbalik dan menatap Yifan dengan jengkel.

"Nana bisa mengomel jika kau tidak ikut makan siang?" gusar Zitao.

Yifan mendesah. "Kau bisa membuat alasan, Zitao. Lagipula aku mau tidur."

ScarfaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang