52. Sepi

84 4 0
                                    

Happy Reading 🦄
Jangan lupa vote dan komen
Tandai kalau typo
.
.
.
.
.

Bawalah dia pergi, tapi tolong. Jangan dengan kenangan ini.

~Diandra Mahardika~

Seperti tidak ada semangat hidup, Andra masih bersimpu dimakam Kaira. Laki-laki itu seperti tidak ada niatan untuk pergi dari sana. Walaupun teman-teman nya sudah mengajaknya pulang. Sedangkan orang-orang sudah pulang dari tadi. Sekarang hanya tinggal teman dekat Andra dan orang tua Kaira.

"A-andra pulang yuk nak," ajak Anita.

Andra menggeleng tanpa mengalihkan tatapannya. Dirinya mulai tadi hanya menatap batu nisan istrinya itu. "Engga mi, Andra mau nemenin Kaira. Kasian dia sendirian di sini." Laki-laki itu sudah tidak menangis lagi. Tapi teman-teman nya lebih baik melihat Andra menangis, daripada hanya diam seperti ini. Mereka tidak kuat melihat Andra yang sangat rapuh ini.

"Andra, abi sama umi juga sama kayak kamu. Abi belum ikhlas, tapi mau bagaimana lagi Andra? Takdir Allah sudah seperti ini. Jadi umi sama abi harap, kamu bisa belajar mengikhlaskan juga sama seperti kita. Abi pamit dulu, umi sepertinya udah nggak kuat." Fadil menepuk pundak Andra dan menciun batu nisan anaknya.

"Tenang di alam sana ya sayang." Air mata Fadil kembali lolos dari matanya , tapi ia segera menghapusnya. Jika ia sama-sama lemah, siapa yang akan menguatkan istrinya? Dia juga sama dengan yang lain, dia merasa kehilangan. Dia belum percaya dengan semua itu. Tapi semua sudah terjadi, seperti inilah takdir anaknya.

Fadil menemui istrinya dan mengajaknya untuk pulang. Wajah istrinya sangat pucat. Dan matanya bengkak akibat menangis.

"Umi pulang dulu ya kak." Anita mengecup lama nisan Kaira. Setelah terasa puas, ia memilih untuk meninggalkan pemakaman itu.

"Andra kamu juga nggak mau pulang?" tanya Abian sambil berjongkok dideket Andra.

"Enggak, aku masih mau di sini. Kalau kalian mau pulang dulu, silahkan. Nggak usah ngajak aku. Aku masih mau di sini sama Kaira. Aku masih mau nemenin Kaira." Air mata Andra tidak bisa terbendung lagi. Sakit rasanya ketika mengingat kenangan dia bersama Kaira. Andra meremas gundukan tanah yang ada didepannya itu, ia meluapkan amarah dan rasa sakitnya.

"Ra ayo bangun ra. Temenin aku, rawat aku, peluk aku ra. Aku masih butuh kamu ra, jangan sekarang ra, jangan. Jangan sekarang kamu tinggalin aku, aku masih belum sanggup kalau harus kehilangan kamu ra." Abian memalingkan wajahnya saat melihat wajah rapuh Andra. Ia tidak sanggup melihat keadaan sahabatnya saat ini.

"Ra kamu ngingkari janji kamu? K-katanya kamu nggak b-bakal ninggalin aku? Kamu b-bilang akan seterusnya sama aku. Tapi apa ra? Kamu pergi duluan, kamu pergi ninggalin janji kamu."

Sepertinya cuaca mendukung perasaan Andra saat ini. Sepertinya langit melihat keadaan hatinya sekarang. Sepertinya semesta sama seperti dirinya. Sama merasa kehilangan. Sama merasakan sedih. Langit mulai menetaskan airnya, awan cerah, tergantikan dengan awan mendung. Suara petir sudah mulai terdengar. Air hujan itu menyatu dengan air mata Andra.

"Andra aku pulang dulu. Kasian Gita sama Tasya kedinginan," pamit Alvaro tapi tidak mendapatkan jawaban dari Andra. Laki-laki itu masih setia tersenyum getir sambil mengusap nisan Kaira. Satu persatu sahabat Andra mulai pergi, mereka mengantarkan sahabat Kaira untuk pulang. Tapi tidak dengan Abian, laki-laki itu masih setia duduk disamping Andra.

"Padahal aku masih mau jadi imam saat kamu solat. Tapi hari ini... Aku jadi orang yang menyolati kamu ra. Itu adalah hal yang tidak pernah aku pikirkan ra. Aku terlalu percaya dengan janji kamu, sampai aku lupa sama takdir Tuhan,"

"Sayang, siapa nanti yang bangunin aku solat? Siapa yang ngingetin aku solat? Siapa yang bakal ngajari aku ngaji? Kaira, kamu terlalu cepat ninggalin aku, aku belum sempat ngasih kebahagiaan yang lebih buat kamu ra." Andra tertunduk dengan air mata yang tidak bisa berhenti. Kenapa takdir begitu jahat kepada nya? Orang seperti Andra, butuh seseorang seperti Kaira. Jika Kaira meninggalkan nya, bagaimana dengan dirinya?

"KAIRA AKU BUTUH KAMU RA. AKU BUTUH KAMU DISAMPING AKU. TOLONG RA, TOLONG JANGAN TINGGALIN AKU." Semua ini begitu sulit, begitu sakit untuk Andra lalui. Jika bisa memilih, lebih baik ia dulu tidak mencari Kaira lagi, jika harus melihat orang yang ia sayang meninggal karena dirinya.

Abian sudah muak melihat Andra seperti orang bodoh seperti ini. Yang laki-laki itu lakukan dari tadi hanya mengelus batu nisan sambil tersenyum. Ia tidak tega melihat sahabatnya. "ANDRA AYO BANGUN, JANGAN KAYAK GINI. KAIRA NGGAK BAKAL SUKA KALAU LIAT KAMU KAYAK GINI ANDRA," Abian sudah tidak bisa menahan dirinya. Ia harus bisa membawa Andra pulang dari sini.

"ENGGAK AKU MASIH MAU DI SINI. KAMU NGGAK TAU APA-APA TENTANG KAIRA!"

"IYA AKU EMANG NGGAK TAU APA-APA! YANG AKU TAU KAIRA NGGAK BAKAL SUKA KALAU KAMU KAYAK GINI!"

"Kamu nggak ingat pesan Kaira tadi ndra?" Sekarang Abian sudah memelankan suaranya. Ia tidak boleh emosi kepada Andra saat ini. Andra terdiam, ia tidak bisa menjawab ucapan Abian. Ia melihat gundukan tanah didepannya itu, lagi dan lagi. Ia merasa kehilangan.

"Aku pulang dulu ya kekasihnya Andra. Nanti aku bakal datang lagi kesini." Andra mengecup lama nisan itu, dan mengelus nya dengan lembut. Andra berdiri dan berjalan meninggalkan pemakaman. Bajunya yang putih kotor karena terkena tanah yang basah.

Abian mengusap wajahnya yang basah dan tersenyum tipis kearah makam Kaira. "Kita bakal jagain pangeran kamu ra." Setelah mengatakan itu, Abian berlari menyusul Andra yang sudah berada didepan mobil.

Abian menyetir mobil nya dan mengantarkan Andra menuju rumahnya.

Sesampainya di rumah, Andra langsung keluar dari mobil Abian tanpa mengucapkan sesuatu. Andra berjalan masuk ke dalam rumahnya. Sedangkan Abian dia memilih untuk pulang.

Andra membuka pintu rumahnya, sepi. Itulah yang ia rasakan saat membuka rumahnya. Air mata kembali menetes tanpa permisi. Andra menaiki satu persatu anak tangga untuk menuju kamarnya.

Andra membuka pintu kamarnya, ciri khas bau Kaira langsung tercium. Mukenah biru yang masih ada di atas sajadah, dan Al-Quran yang ada diatas laci. Mengingatkan Andra kepada Kaira. Rasanya baru tadi ia masih solat bersama, tadi mereka masih mengaji bareng. Tapi sekarang?

Andra berjalan lesu menuju meja yang biasanya digunakan Kaira untuk mengaji maupun belajar, dan duduk di atas kursi itu.

Kenapa? Kenapa air mata itu tidak mau berhenti. Apakah air mata itu akan membantu mengurangi rasa sakit yang dirasakan oleh Andra? Kalau memang begitu, Andra tidak  ingin berhenti menangis. Biarkanlah Andra merasakan sakit. Sakit itu adalah tanda bahwa ia tidak akan melupakan Kaira.

Mata Andra tertuju ke buku yang ada didalam laci. Laci itu tidak tertutup sehingga ia bisa melihat buku berwarna hitam yang ada didalam nya.

Andra membuka lembaran demi lembaran buku itu. Setiap lembaran terisi tulisan indah milik Kaira. Setiap tulisan itu sangat bermakna bagi Andra.

20-Juli
Hari itu tiba, dimana aku akan menyatu dengannya. Dimana aku akan satu rumah dengannya. Aku tidak menyangka. Orang yang dulu aku sukai secara virtual, bisa menjadi suamiku. Permainan takdir memang tidak ada yang tau. Tapi takdir seperti ini adalah sesuatu yang tidak pernah aku pikirkan. Kecuali takdir kematian.

9-Agustus
Hari ini aku menyatakan kembali perasaan ku. Perasaan yang masih ada tapi di abu-abukan oleh keadaan. Kukira tidak bertemu dengan waktu yang lama, akan menghapuskan perasaan ini. Tapi ternyata aku salah. Aku masih menaruh rasa kepadanya.

Masih banyak lagi curahan yang ditulis oleh Kaira. Setiap tulisan itu, mampu menguras air mata Andra. Tuhan... Kenapa? Kenapa harus seperti ini permainan takdirmu.

Ada satu halaman yang membuat Andra tidak bisa berkata-kata saat membacanya. Tulisan itu sangat menyakitkan daripada halaman yang lain. Dengan halaman itu, Andra paham. Bahwa takdir tidak ada yang tau. Semuanya akan berjalan seperti skenario Tuhan.




Draka-EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang