Judul: Mantra Cinta untuk Dilan
Genre: Romansa Komedi
Aplikasi terbit Gooddreamer🍒🍒🍒
BAB 1: Minta Obat Pelet
Ini gila! Aku nggak habis pikir, gimana ceritanya bisa terjebak datang ke sini, menemani seseorang untuk bertanya ke orang pintar--katanya--yang bisa membuat dia kembali rujuk dengan mantan pacarnya. Kalau tahu bakal diajak ke tempat yang nggak benar kayak begini, dari awal langsung saja aku putar balik. Tapi, lagi-lagi aku yang terlalu polos dan juga baik malah dimanfaatkan dan dijebak dengan cara tidak bermoral sampai akhirnya bokongku menempel di lantai rumah dukun duduk bersila mendengarkan apa yang akan diucapkannya. Walaupun, sedari tadi nggak ada satu pun yang aku percaya.
"Bisa. Dengan syarat, kamu harus siapkan mahar demi kelancaran hajat kamu ini.” Pria paruh baya dengan napas bau menyan memberi jawaban sekaligus harapan palsu. Aku tahu ini. Cuma, astaga. Kok, ya, masih begitu loh, kami—aku dan sosok bego ini-- duduk anteng mendengarkan dia ngomong.
"Apa itu, Mbah?” Mata temanku berbinar. Kalau ada yang tahu berkilaunya mata seseorang saat melihat tumpukan berlian. Nah, kurang lebih beginilah ekspresi seseorang yang berada di sampingku. “Sebut aja. Bahkan, kalau Mbah butuh tumbal, ini saya punya satu kawan udah nggak ada semangat hidup." Aku ditepuk-tepuknya.
Bangsul, memang! Enggak nyangka teman sendiri bakalan jadikan aku tumbal demi cinta yang enggak worth it untuk diperjuangkan.
Omong-omong, percakapan di atas terjadi antaraa seorang pria yang menggunakan ikatan di kepala, berkulit keriput, dengan sebatang rokok aroma menyan yang memberikan nasihat pada temanku. Seorang wanita bertubuh tinggi sekitar 160 cm, kulit kuning langsat. Cantik, tapi tukang halu. Bodohnya bukan main.
Ini saja aku nggak menyangka kalau bakalan diajak ke tempat begini. Bilangnya tadi mau menyelesaikan masalah, eh nggak tahunya datang ke tempat dukun.
Mending dukunnya kelihatan agak rapi dan bersih sedikit, dari tampilan luar saja sudah kelihatan urakan. Dia datang ke sini untuk menanyakan perihal cintanya yang ditolak. Bukan ditolak sih, lebih tepatnya mereka sudah menjalin hubungan tapi nggak berhasil hingga temanku ini ditinggalkan.
Yang paling menyakitkan dari semua peristiwa ini adalah dengan begitu gamblangnya dia bersedia menumbalkan aku. Sebagai teman, kenapa bukan ibu kosnya atau adiknya sendiri yang dibilang menyebalkan itu?
Kenapa harus aku?
Walaupun hidupku ini suram dan kebanyakan cerita pahitnya, sejujurnya aku tetap ingin bertahan hidup karena punya semangat dari seorang laki-laki yang aku sukai.
Kunyuk satu ini malah mengajakku ke tempat musyrik. Kalau bukan mau menghargai karena dukun yang kami datangi sudah lumayan tua, sudah pasti aku bakal langsung tarik temanku pulang. Enggak boleh kita ada di sini.
Dari tadi semua omongan yang dia lontarkan enggak ada yang aku percaya. Takutnya amal ibadahku hilang selama 40 hari dan aku dicap sebagai pendosa besar.
Ini pantatku saja sudah enggak nyaman. Duduk dari tadi goyang kiri goyang kanan tanpa musik. Jadi hambar goyangannya.
Dukun melihat wajahku. Tangannya terjulur dengan telapak tangan terbuka. Dia menggeram kayak orang bahan berak.
"Hem, aura teman kamu ini gelap,” katanya sembari memejamkan mata dengan tangan terjulur. “Dia memang butuh pertolongan, nasibnya buruk juga kalau mau bertahan hidup, setiap hari dia sial terus, jodoh juga jauh."
Yak, Terus! Lanjutkan itu aib orang dibuka. Segala bilang auraku gelap! Mulutmu itu bau jigong!
Aku cuma bisa ngomel dalam hati.
Ujung jariku yang mungkin ketutupan taplak meja, mencolek paha Saras. Kawanku yang bego itu. Tapi, gara-gara dia sudah fokus banget untuk dengar omongan dukun, aku dicuekin.
"Hidup teman kamu ini memang jauh dari kata bahagia, tapi saya nggak butuh tumbal. Cukup kamu sediakan mahar."
"Mahar apa, Mbah?" Saras makin menggebu.
Dukun senang lihat Saras jadi orang patuh begini. "Siapkan bunga edelweiss yang dipetik langsung dari pegunungan sebelum jam tiga pagi, ayam cemani, juga kambing yang punya sembilan bintik di badannya."
"Kambing polkadot?" Aku keceplosan tanya.
"Kalau polkadot, 'kan, rame. Ini cuma sembilan. Wajib sembilan," jawab dukunnya.
"Tapi, Mbah, saya nggak punya syarat itu semua." Saras kelihatan sedih.
Hamdallah. Minimal kalau Saras nggak punya syarat yang dikasih dukun dia terselamatkan dari tindakan musyrik begini. Pulang dari sini, aku bakal ajak dia tobat.
"Aduh!" Dukun kelihatan kecewa. "Kalau dilihat dari kriteria laki-laki yang kamu kasih itu, syarat segitu hal sepele."
"Kalian tahu pepatah?" Kelihatannya itu dukun tanyakan pada kami berdua.
Dengan percaya diri aku jawab, “Tahu, Mbah. Yang, ‘masak air, biar matang’, gitu kan,?”
Dukun mencebik. “Itu kamu belajar dari mana?” Skeptis banget dia tanyanya. “Nilai bahasa indonesia kamu pasti minus!”
Sialan! Aku dapat hinaan lagi. Lama-lama aku tendang juga ini meja, biar kayak Dian Sastrowardoyo. Hancurkan semua biar ramai.
Setelah geleng-geleng, Dukun kasih contoh pepatah bijak di mana kami ini para anak muda bisa memahaminya. "Untuk dapatkan sesuatu yang besar, diperlukan pengorbanan yang besar juga."
"Cakep!" Jempolku mengacung.
Saras tempeleng kepalaku karena dinilainya aku ini mengganggu ritual perdukunan ini. Enggak sakit, cuma aku sudah merencanakan untuk membalasnya nanti setelah ini.
"Apa nggak bisa Mbah, saya syarat yang lebih ringan?" Saras bertanya. “Maksudnya yang sekiranya saya sanggup untuk memenuhi itu."
"Padahal itu sudah syarat yang paling ringan saya kasih. Kalau kamu nggak sanggup, saya juga nggak bisa membantu." Dukun sengaja mancing-mancing Saras, aku yakin ini cuma trik.
Dengan bodohnya, temanku ini malah memohon. "Tolong, Mbah."
Benar-benar Ini Saras sudah terjebak cinta dengan mantannya yang bernama Kevin itu. Memang sih orangnya ganteng. Lumayan tajir juga. Tapi, aku yakin alasan kenapa mereka bisa bubar di tengah jalan begini alias enggak berjodoh mungkin itu adalah yang terbaik dari Tuhan. Harusnya enggak perlu dipaksakan, apalagi sampai mendatangi dukun seperti ini.
Kalaupun jadi cinta lagi Kevin padanya, belum tentu murni perasaan yang datang dari dalam hati. Menjalani kehidupan yang seperti itu enggak enak, 'kan?
"Kalau untuk syarat itu sudah nggak bisa ditawar lagi. Demi cinta kamu yang begitu besar pengorbanan segitu nggak ada apa-apanya." Dukun jago banget mengompori bikin Saras semakin menggebu dan yakin kalau cara gila ini akan berhasil.
"Tapi, Mbah, saya nggak sanggup. Apalagi saya harus kerja di mana saya harus cari persembahan kayak gitu?" Tahu nggak sanggup, Saras ini masih saja memohon. Ya iyalah, dukunnnya semakin berlagak kayak pahlawan.
Tuhan ... berbaik hatilah sedikit. Hamba ingin menyelamatkan teman hamba ini dari kebodohan yang hakiki. Semoga bisa!
"Saya nggak sanggup, Mbah, kalau syaratnya itu." Makin memelas temanku ini.
Dengan memicingkan mata, dukun bertanya, "Apa kamu benar-benar cinta dengan pria itu?"
Percakapan antara Saras dan dukun masih berlangsung, aku yang ada di sana cukup diam jadi kambing congek bulukan dan belum mandi.
"Iya, Mbah. Saya cinta dengan Kevin. Tulus, cinta setengah mati." Yakin banget Saras mengatakannya.
Dasar dia ini! Cinta tulus, kok, pakai sarana dukun. Ini namanya egois.
Sang Dukun akhirnya mau mengabulkan keinginan Saras dan untuk syarat yang sebelumnya memberatkan, dia punya solusi lain untuk mempermudah urusan Saras. Dengan bodohnya temanku ini menyetujui tanpa pikir panjang.
"Untuk semua syarat yang Mbah berikan, kamu cukup siapkan uang untuk Mbah. Nanti biar anak buah Mbah yang siapkan semua syaratnya. Kamu tinggal duduk tenang, semua Mbah yang atur." Begitulah siasat dukun membua” Saras terkesima.
"Benar begitu, Mbah?" Saras berbinar matanya.
Dukun di depanku ini tentu langsung membusungkan dada. "Benar, masa bohong."
"Oke, berapa uang yang harus saya serahkan?" Saras segitu yakinnya. Aku cuma bergidik. Dia hidup saja pas-pasan mau sok gaya pakai bayar dukun segala.
"Tujuh juta tujuh ratus tujuh puluh tujuh ribu rupiah." Ah ilah, ini dukun ribet amat. Genapin jadi delapan atau 7,8 juta malah gampang.
Aku menggerutu, Saras malah kelihatan seperti menghitung berapa banyak jumlah uang yang bisa dia miliki untuk diserahkan pada dukun tersebut. Aku jamin walaupun semua uang tabungannya ditotal, nggak akan sampai segitu. Bulan kemarin salah dia sendiri baru beli tas Prada yang harganya lumayan mahal.
"Oke, Mbah. Saya sanggup!" Kata-kata itu terlontar dari bibir durjana Saras.
Si Kunyuk satu ini! Aku sudah enggak bisa menahan diri. Main bilang sanggup. Kemarin saja makan seblak utang dulu belum bayar, belum pinjaman cicilan I phone dia.
"Mau bayar pakai apa kamu!" Aku sudah enggak bisa nahan emosi.
"Pakai uang, Nar. Aku bakal usahain. Lagian ada kamu, aku bakal pinjam uang kamu." Matanya kedip kedip manja. Untung nggak pakai bulu mata anti badai.
"Heh, utang kamu bulan lalu belum dibayar nggak ada, ya. Lagian uangku udah berubah jadi saham, nggak bisa ditarik seenaknya belum dapat untung!"
"Ya ampun, Nar. Pinjam tiga juta aja masa nggak ada?" Dia merengek.
"Nggak ada." Aku jug anggak akan luluh dengan rayuan nggak bergunanya kali ini.
Saras masih mengemis. "Nar?"
"Nggak ada!" Aku angkat bokong. "Mbah kalau butuh tumbal, dah tuh, saya tumbalin teman saya. Dibandingkan hidup saya yang buruk amat, saya masih ada guna ketimbang dia yang halu terus."
Dukun menggeleng perlahan. Beberapa detik kemudian, dia mengeluarkan sesuatu dari kantung. Aku sudah menebak kalau itu adalah jimat atau jompa-jampi buat kirim santet. Eh, enggak tahunya ....
"Scan pakai Qris, saya kasih diskon 20%, loh." Ponsel keluaran terbaru yang dia tunjukkan padaku.
Enggak ada pikir panjang lagi, aku tarik Saras keluar!
BAB 2 : Bos Terkutuk
"Kamu ngapain sih, Nar, tarik aku keluar kayak gini. Apa segitu beratnya kamu bantu aku?" Saras menggerutu sepanjang jalan aku tarik dia keluar.
Mau tahu dia mengoceh apa?
Uang tiga juta itu baginya bukan jumlah yang besar kalau dia pinjam dariku. Kalau nanti dia bisa balikan lagi dengan Kevin dan hubungan mereka naik ke jenjang status yang lebih tinggi alias dijadikan istri sama Kevin, katanya uangku bakal dikembalikan sepuluh kali lipat. Aku bakal untung. Dia terus saja berceloteh kalau nantinya jadi Nyonya Kevin aku juga yang bakal senang nantinya.
Enggak ada satu pun omongan Saras yang aku jawab. Aku diam, biarkan saja dia sesuka hati mau ngomong apa. Orang tuh, kalau lagi termakan cinta begini. Percuma aku mau bilang apa pun, semua akan dimentahkan Saras.
Aku menghargai niat baik Saras. Tapi, sama sekali nggak tertarik untuk menerimanya. Selain sudah yakin kalau cuma kehaluan belaka, aku juga merasa Kalau uang yang didapatkan nantinya adalah uang haram.
Ya, 'kan?
Saras pakai acara cari dukun segala, sih. Sudah yakin kalau Kevin jatuh cinta lagi dan sampai ajak balikan, fix itu bukan hati nurani Kevin yang mengarahkan. Seratus persen itu adalah bisikan setan.
Lagi pula. Aku heran kenapa temanku ini bisa tergila-gilanya dengan Kevin. Bahkan, sudah menjurus gila sungguhan karena dia masih ngotot sekarang memintaku untuk temani kembali ke tempat dukun tadi.
Oke, aku akui Kevin memang ganteng,.kaya raya, dan bisa dilihat termasuk dalam tipe laki-laki idaman. Cuma, 'kan, nggka hatrys memaksakan cinta juga. Dia bisa kok, bahagia dengan laki-laki lain asalkan mau buka hati. Malah aku pikir percuma memaksakan cinta kallau memang masing-masing di antara mereka sudah nggak ada kecocokan. Ibarat kata sepasang sandal, antara kiri dan kanan nggak cocok, mau semahal apa pun nggak akan nyaman dipakai. Begitu juga dalam percintaan.
Fakta lainnya harus aku sadari di sini adalah selalu saja Saras jadi wanita yang gagal dalam bercinta. Memang sih, nasibnya nggak jauh beda dariku. Cuma, kalau dilihat dia lebih miris. Pasalnya, selalu saja perempuan itu jadi korban budak cinta. Kalau sudah masuk ke pelukan laki-laki bisa apa saja dilakukan. Aku yang sering jadi alarm buat dia, setiap kali delta dengan pria. Selalu aku pantau supaya jangan menyerahkan keperawanannya pada pria yang belum sah jadi suami.
Nggak peduli meski saat ini orang bilang FWB atau apalah namanya, aku yang tahu kalau Saras itu anaknya polos, setengah mati menjaganya.
"Ayo, pulang." Aku masih sabar lihat dia memberengut memilih untuk berjongkok di pinggir jalan. Asal tahu saja, gara-gara kelakuan Saras itu, aku sampai rela dorong motor biar agak jauhan sedikit dari rumah dukun. Mau menyalakan mesin langsung tancap gas, takut dianya merengek pegangi bagian belakang motor. Bisa terjungkal kalau begitu.
"Please, bantuin aku. Aku cinta banget sama Kevin. Ngga bisa hidup tanpa dia." Saras menatapku pias. Bulir air matanya menetes setelahmya masih ada sisa yang menggenang di kelopak mata.
Sedih memang kalau lihat kelakuannya begini. Oh, tapi tahun lalu juga dia sama merengek-rengek karena cintanya pada Pak Kepala Desa di kampungnya yang masih muda dan ganteng.
Saras hampir-hampiran saja jadi pelakor karena Pak Kades ganteng tersebut sudah punya istri. Untung nih ya, dia masih punya teman kayak aku yang peduli untuk nasihati dia untuk enggak macam-macam. Ingatkan dia kalau fokus hidup kali ini bukan cuma lelaki.
Apa aku cuma sekali atau dua kali ngomong kayak gini ke Saras?
Nyatanya aku sudah ratusan bakal ribuan kali bilang. Tapi, dasar anak itu bebal. Selalu saja ujungnya jadi korban cinta juga. Aku merasa kami ini sebagai wanita enggak perlu ini itu. Cukup fokus ke diri sendiri. Self love istilahnya. Kalau sudah bisa kayak begini, nanti juga akan membuat orang lain lebih tepatnya lawan jenis tertarik. Intinya tuh, pantasakan diri dulu.
Tapi, Saras bilang kalau mau menunggu pantas entah kapan dapat cowok. Karena sebagai hamba sahaya yang punya penghasilan biasa saja dan enggak bisa dapat perawatan, butuh waktu lama untuk bisa jadi wanita yang kelihatan glow u hasil self love. Bakal bermunculan perempuan-perempuan lain yang punya modal besar untuk mempercepat semua proses itu dan pada titik Itulah bisa saja kami ini sudah terrtinggal jauh. Begitulah teorinya Saras.
Oke aku setuju. Tapi, bukan berarti sebagai perempuan harus jadi orang bodoh bukan?
"Mau pulang, nggak?" Aku sudah duduk di motor, pakai helm Saras masih memberengut kepalanya menoleh ke rumah dukun. Kayaknya masih berharap ada kesempatan untuk kami bisa kembali lagi ke sana.
Lama dia berpikir, aku mengancam. "Ya sudah kalau nggak mau pulang, aku tinggal!"
"Jangan, dong! Nara kejam amat, sih." Dia merengek sembari memakai helm yang aku operkan. Bodoh amat, aku dibilang kejam. Daripada kita berdua keburu kena santet sama dukun gadungan itu, mending pulang.
Temanku sudah menempelkan bokong di motor. Dia masih sempatnya mengomel. Ngalor ngidul, aku cukup diam mendengarkan. Habisnya, orang kalau lagi sableng enggak bisa diajak berpikir jernih. Percuma diajak ngobrol.
"Aku tuh, begini bukan karena gila dengan hartanya Kevin aja. Aku beneran kok, cinta dengan dia. Kamu kejam, Nar, nggak mau bantu aku. Hiks ... hiks ... hiks." Sebentar. Itu yang ada hiks tiga kali bukan tangisan murni Saras. Dasar dia lagi hiperbola. Air mata enggak bisa keluar juga masih dipaksa untuk nangis. Colok bawang juga nih, lama-lama.
"Ya aku bukan nggak mau bantu kamu, Sar. Selain aku juga sama kerenya kayak kamu, aku nggak mau kita jadi percaya omongan dukun. Kalau jodoh nggak akan ke mana, Sar. Kamu itu cantik, baik, banyak kok laki-laki yang mau sama kamu."
Aku sudah siapkan mental untuk ngomong dengan dia. Berharap ini bisa didengar baik-baik. Semua ini demi persahabatan kami yang kental mengalahkan SKM juga bagaikan kepompong mengubah ulat menjadi kupu-kupu.
Eh, si dia malah tanya, "Kamu ngomong apa, Nar? Aku nggak denger. Itu barusan ada truk lewat."
"Nggak jadi!" Aku jengkel.
"Apa, Nar?" Saras masih merengek
"Diem atau aku lempar kamu ke got!" Vibes-nya sudah kayak karakter utama di novel online, 'kan
"Ih, Nara ...." punggungku ditepuknya.
Ck! Kenapa hamba punya teman enggak guna begini.
Aku fokus untuk mengantar Saras sampai kosan. Setelah dia turun, aku berikan sedikit nasihat.
"Istirahat, Sar. Kamu nggak perlu ke tempat kayak gitu lagi. No dukun dukunan lagi. Kamu harus lebih percaya kalau Tuhan itu akan siapkan jodoh yang baik."
Saras memelukku. "Makasih ya, Nara. Kamu selalu bisa jadi teman yang baik.
"Hummh."
Selesai obrolan singkat itu, aku segera pulang. Badan sudah pegal-pegal, bau pula. Semua gara-gara Saras yang bilang mau loncat dari jembatan kalau aku enggak segera datang.
Bodohnya malah aku percaya. Padahal nih ya, logika saja. Jangankan lompat dari jembatan, dia kepleset kulit pisang saja sudah minta MRI takut gegar otak.
Oke, rencanaku adalah rapikan tas dan sepatu buka baju, mandi pakai air hangat.
Baru sampai pada tahap meloloskan kemeja dari tubuh, aku dapat pesan dari bos.
'Kamu sudah buat konsep promo, 'kan?'
Mulutku menganga baca sebaris kalimat barusan. Duh, lupa. Kayaknya itu belum aku selesaikan. Eh, tapi, 'kan, dia minta siang tadi. Ya wajar dong kalau belum selesai.
Tapi, bosku ini kayak setan. Dia enggak bakal terima alasan apa-apa. Aku bisa dibebani tugas seabrek kalau berani bilang ini belum diselesaikan.
Aku balas, 'Sedang saya kerjakan, Pak.
'Berapa persen progres?' Hah! Kelihatannya aku tadi salah omong, sampai malah ditanya kayak gini. Oke, aku bakal hati-hati biar nggak kena jebak lagi.
'Delapan puluh persen, Pak.'
'Sedikit lagi berarti. Kalau begitu, saya tunggu malam ini juga dikirim!' Aku mendapat balasan yang sama sekali bukan harapanku
Ya, bagian kesialan lain yang harus aku hadapi. Niat mau mandi santai-santai, menenangkan pikiran, nyatanya malah harus buru-buru demi bisa mengerjakan tugas dari bos.
Sembari mengunyah roti tawar yang dioles pakai mentega dan juga Nutella, aku fokus mengerjakan konsep promo yang diminta. Untung tinggal penyempurnaan, jadi dalam setengah jam sudah bisa kirim. Selesainya, matikan tab, menuju tempat tidur nonton drama. Sebelum aku akhirnya enggak kuat buka mata lalu tidur dan bangun di pagi hari memulai aktivitas seperti biasa.
"Mana konsep promo yang kemarin saya suruh kamu untuk kirim? Ini saya ubek-ubek email, nggak ada." Aku yang masih tenang duduk di ruang kerja, menyelesaikan pekerjaan malah disembur bos begini.
"Udah saya kirim, Pak, semalam," jawabku.
Dia ngotot. "Nggak ada."
Si Bos. Namanya Dilan. Jangan kalian pikir kalau dia adalah sosok pria berwajah ganteng, agak bad boy, terus punya sejuta kata romantis. Pih! Buang jauh-jauh pikiran itu.
Serius, dia itu cuma seonggok daging tanpa hati yang dianugerahi wajah oke dan juga uang yang banyak. Tuhan, pasti lagi baik-baiknya waktu orang tua Dilan ena ena kerja sama bikin dia.
"Nara!" Aku dibentak lewat sambungan intercom. "Kamu ini dengerin saya ngomong apa nggak? Bengong kamu, jangan-jangan kamu melamun, ya!"
His! Si An—
Sabar Nara. Aku hampir saja mengumpat kata anjing untuk bos sialanku itu. Dia kayaknya enggak punya perasaan. Tahu aku ini baru magang tiga bulan, tapi langsung dikasih kerjaaan yang levelnya sudah sama kayak profesional lima tahun. Orang Mbak Titi tanpa DJ, rekan kerjaku yang sudah dua tahun di sini urusannya ke manajer, kok. Lah, kenapa aku yang anak baru malah harus langsung ke dia?
"Iya, Pak, sabar," kataku semanis mungkin bagaikan gula dicampur cuka. "Ini saya lagi cek cek lagi email saya. Nah, buktinya sudah terkirim, Pak."
"Tapi, nggak masuk di saya!" Bos bebas marah-marah pada karyawan.
"Ya, masa bisa eror gini sih, Pak?" aku juga nggak paham kenapa nasibku sesial ini
"Ngapain kamu nanya saya?"
Oh, bedebahnya mahluk satu ini. Aku yang semula enggak punya kosa kata bahasa kasar, sejak kenal dengan Ibrahim Dilan Waldetra. Kerjaan dia yang setiap hari marah-marah denganku, membuat aku selalu memiliki umpatan untuknya.
"Oke, Pak. Saya ke ruangan Bapak sekarang."
Aku bergegas ke ruangan bos dengan membawa USB yang sudah ada data untuk diserahkan padanya.
Ketuk pintu dulu, cek aroma mulut, menunggu dipersilakan masuk, baru aku melongokan kepala. "Permisi, Pak."
"Nggak usah basa-basi, duduk sini, cepetan!" Duh, dia mencret atau apa, sih, sampai aku harus diburu-buru begini.
Duduklah aku di kursi panas tanpa uang dua miliar itu. Dengan hati-hati menyerahkan USB. "Ini, Pak. Hasil kerja saya ada di file promo digital."
"Repot. Belum tentu juga USB kamu bebas virus."
Sabar. Ingat Nara, dia ini atasan. Tolong jangan colok lubang hidungnya, demi kemaslahatan dompet Anda sendiri
"Loh, tadi Bapak bilang nggak masuk email Bapak." Tentu harus aku ingat lagi alasanku bisa sampai di sini.
"Kirim pakai WA juga bisa, 'kan?" Oh, Dilan ini. Kenapa dia nggak bilang dari tadi.
"Saya kira itu nggak sopan."
Dilan cuma menggeleng. "Kirim buruan!" perintahnya.
Biar hidupku aman, segera aku kirim. Begitu masuk datanya, dia buka dan periksa di komputer kerja.
"Kamu boleh keluar."
"Iya, Pak." Aku mengangguk. Dengan anggunly dan slay pergi.
Sialnya, baru dua langkah Dilan malah mengoceh. "Ini yang kamu bilang konsep promo?"
"Hah?" Aku bengong
"Duduk sini lagi, saya ajarkan ke kamu gimana buat konsep promo itu!"
Ah, alamat ini aku dapat siraman rohani.
BAB 3 : Musibah vs Berkah
"Saya duduk lagi, Pak?"
Dengan bodohnya aku masih berani tanya. Padahal, itu sudah jelas banget kalau mukanya Dilan ditekuk kayak kipas souvernir pernikahan, alis juga sudah berkerut. Malah tajam banget itu tatapan, kepalaku rasanya seperti dilubangi.
"Iya, kamu duduk lagi."
Sedikit gemetar, aku duduk. Aku tahu bakal kena omel. Karena Dilan ini tipe yang lumayan perfectionist juga galak. Beberapa kali aku dibuat mau mengompol karena dimarahi.
Dilan memutar layar komputer untuk menunjukkan padaku apa kebodohan anak buahnya ini.
"Kamu yakin ini konsep yang sudah bisa kita pakai untuk jasa promosi?"
"Ya-kin, Pak." Aku terbata menjawab. Fix, ini aku bakal ditelan Dilan hidup-hidup karena sudah jelas ketahuan kalau aku ini juga tidak yakin kalau konten iklan yang aku buat bisa dibilang layak.
"Huh, yakin kamu bilang?" Tatapan Dilan tajam.
Aku menelan Saliva. Kalau masih ngotot bilang yakin, aku bakal dicecar dengan banyak pertanyaan. Kayak, apa yang membuatku yakin?
Alih-alih membuat diriku tampak bodoh. Aku berstrategi untuk tanyakan apa yang dinilainya kurang.
"Bagian mana, Pak, yang harus saya benahi? Biar langsung saya kerjakan."
"Semua." Dilan menepuk meja. "Semua ini harus kami perbaiki. Mulai dari konsep iklan sampai kata-kata yang kamu buat!"
"Saya kerja dua kali dong, Pak?" tanyaku.
Harusnya sih, dijawab baik-baik, ini malah aku digalakin. "Salah kamu, bikin kayak gini juga masih nggak becus."
"Tapi, sebelum saya selesaikan saya ini sudah sempat diskusi dengan Mbak Titi, Pak. Ini katanya udah oke, kok." Ya, aku bela diri dong.
"Oke dari mana?" Aku makin digalakin. "Kamu ini lebih percaya dengan Titi atau saya yang punya bisnis ini?"
Aku percaya Tuhan maha adil, suatu saat akan ada kesempatan untukku bisa marah-marah begini dengannya. Tunggu Dilan-da Musibah! Aku akan balas kamu kalau ada kesempatan!
"Maaf, Pak." Ujungnya aku harus mengalah.
Dilan mencebik. "Kamu lupa, apa konsep dari pekerjaan kamu sebagai digital marketing?"
Ya, aku ingat. Sebagai digital marketing aku harus punya kemampuan berpikir strategis, kemampuan riset pasar, pemahaman SEO, penguasaan alat dan situs, dan masih banyak lainnya. Bahkan, sampai bahasa asing juga harus dikuasai.
Aku adalah orang yang harus menjaga mood tetap baik. Tetap senyum, meski hati getir ketika harus berhadapan dengan konsumen. Aku juga orang yang menderita karena berurusan dengan Dilan Sialan ini.
"Ingat, Pak," kataku pasrah.
"Kalau kamu ingat, kenapa sampai kayak gini?" Dilan tuh ya, nggak puas kayaknya kalau nggak buat aku ngompol di celana.
"Maaf, Pak. Tapi, saya memang nggak paham dengan apa yang Bapak maksud."
Dilan menghela napas. "Intinya, saya nggak suka dengan apa yang kamu buat. Kalau saya target kamu, menurut saya ini nggak menarik, membosankan, juga terlalu pasaran. Siapa coba yang akan tertarik?"
"Jangankan untuk beli, klik link yang kamu kasih pun belum tentu dia mau. Hasil kerja kamu sungguh payah," pungkas Dilan, puas banget dia merendahkan aku.
Setiap musibah dan kejengkelan aku selalu percaya akan ada kebaikan di dalamnya. Mungkin kemarahan Dilan kali ini membuatku bisa punya kesempatan untuk berkomunikasi dengan Galen. Dia itu manajer marketing, atasanku langsung. Orang yang buat aku bertahan di kantor ini. Pria tampan, rupawan, berhati malaikat yang aku suka.
"Baik, Pak. Saya akan perbaiki ini dengan segera." Mengalah adalah jalan terbaik biar aku nggak pening.
"Saya tunggu sebelum makan siang nanti hasil kerja kamu sudah ada."
"Iya, Pak.". Aku mengangguk kemudian keluar dari ruangan Dilan.
Huh, berasa kayak habis dijebak di goa gara-gara aku harus dengar semua omongan Dilan.
Oke, lupakan. Enggak perlu memikirkan itu. Tugasku sekarang adalah mengerjakan ulang yang Dilan pinta sebelum kena omel lagi.
Duduk di meja kerja, aku berusaha fokus. Tapi, apalah daya tanganku malah gatal mengirimkan pesan pada Saras.
'Punya kenalan dukun santet nggak, sih? Sumpah ya, rasanya mau aku santet itu orang yang jengkelin banget!'
Menunggu beberapa menit, Saras membalas.
'Cin, sadar. Ingat kemarin aku mau pakai dukun pelet aja kamu marah-marah katanya dosa. Ini mau santet orang.'
'Aku kesal banget! Gila apa, ada orang yang seenaknya kayak gitu di dunia ini! Dia pikir untuk buat sebuah desain promo itu segampang memasukkan jari ke lubang hidung untuk menggali upil?' keluhku dalam pesan.
'Aku butuh kerja keras, butuh memikirkan ini matang-matang. Belum lagi konsep-konsep lain yang harus dibuat.'
'Lagian juga, itu orang kayak kurang kerjaan! Sudah tahu urusannya aku dengan Pak Galen, tapi kenapa sih, dia yang sibuk banget!'
Aku memborbardir Saras dengan chat kekesalan hatiku.
Saras mengirimkan emoticon tertawa padaku.
'Sabar, jangan marah-marah begitu. Mungkin bos kamu lagi jomlo, makanya dia agak stres,' balasnya.
Aku balas lagi, 'Dih! Dia yang stress kenapa aku harus jadi korban?'
'makanya biar kamu nggak stres juga, cari jodoh. Ini aku lagi usaha mau mendekati Kevin lagi.'
Sumpah kalau rancangan cari jodoh itu sebodoh yang Saras lakukan, aku enggak akan pernah mau bertindak seperti itu.
'Nggak usah aneh-aneh ke dukun lagi ya!' Aku ingatkan Saras.
Dia balas, 'Nggak kok, tenang aja. Hari ini aku nggak bakalan ke dukun, soalnya biayanya mahal. Lagian semalam dapat ceramah, nggak sengaja dengan dari ibu kos yang nonton tausiah di TV.'
Bagus kalau begitu. Memang enggak pernah ada yang bagus kalau cinta menggunakan pelet. Dengar dari orang sih, katanya yang sebenarnya mengendalikan hati korban pelet adalah setan, bukan perasaannya sendiri. Iyuh, mengerikan.
'Nanti sore pulang kerja kita ketemuan, yuk. Kebetulan aku juga pulang cepat. Sekalian kita mampir di warung seblak langganan.'
Aku setuju dengan catatan, 'Kamu yang bayar, gantian.'
Saras pasti kesal. 'Ampun, deh. Perhitungan banget sama kawan.'
'Ya, you know, uangku dan uangmu itu nggak pernah bersaudara dan juga nggak akan pernah akrab. Jadi jangan kaget kalau aku bakal lebih perhitungan.' Aku juga nggak mau rugi.
Kembali Saras tertawa. Pesan terakhir darinya, 'Oke, Sista. Semangat kerjanya. Ingat, kita masih miskin, butuh uang untuk beli skin care, supaya bisa dapat cowok tajir. Tetap semangat kerja!'
Enaknya ngobrol dengan Saras, walaupun kadang-kadang dia kurang nyambung, bisa mengurangi sedikit beban pikiranku.
Baiklah, lanjut kerja. Setelah selesai, kurang dari dua jam dari yang ditargetkan Dilan, aku mau meminta bantuan Galen.
Sebenarnya waktu mau kirim pesan ke dia, ragu banget. Takut dia sibuk, takut ditolak, dan takut aku ini enggak dianggap apa-apa di sini. Tapi, memikirkan ketimbang aku bakal diomelin lagi dengan Dilan, mending aku tanya dulu deh ke Galen. Lagian, Mbak Titi juga setuju kok, kalau aku konsultasi dulu ke beliau.
'Selamat pagi menjelang siang, Pak Galen. Maaf, Bapak sibuk atau nggak? Kalau ada waktu, saya mau konsultasi ke Bapak soal kerjaan saya.'
Pesan dikirim, aku menunggu balasan dengan jantung berdebar. Kira-kira Pak Galen mau enggak ya, balas pesanku?
Ting!
Pop up pesan masuk. Hyuh! Tanganku berkeringat ketika membuka layar ponsel.
'Saya senang kok, kalau kamu mau konsultasi dengan saya. Ini saya lagi nggak sibuk, langsung aja ke sini.'
Emaaak! Anakmu berhasil punya kesempatan untuk dengan calon mantu emak.
'Saya ke ruangan Bapak sekarang, ya kalau gitu?' Aku basa-basi dulu.
'Iya, Nara ....'
Tuhan, kuatkan jantung hamba. Baru juga disebut nama sama Galen begini mau meleyot rasanya.
Aku memikirkan, apa perlu pakai penyegar mulut dan minyak wangi lagi untuk menemui Galen?
KAMU SEDANG MEMBACA
Arrogant vs Crazy
PoetryCari duit tidak segampang yang ada di drama atau novel. Dalam dunia khayalan, perempuan bisa jadi 'barang mahal' yang diperjuangkan habis-habisan sama CEO atau jadi mujur dengan dinikahi paksa sama tuan muda tampan kaya raya. Dunia nyata tidak begi...