57. Masih Saja Susah

8.3K 837 13
                                    

Pejamkan mata, Nesta memajukan bibir. Berjinjit supaya bisa sampai pada Viano yang lebih tinggi darinya. Bibirnya manyun-manyun.

Jangankan nafsu. Melihat kelakuan Nesta, Viano malah jadi jijik.

Toyor kepalanya.

"Tuh, 'kan!" rutuk Nesta, "Bapak memang nggak pernah suka sama saya."

"Sama cowok lain, kamu kayak gini?" Malah dimarahi dia.

"Bapak kira, saya apaan! Sama cowok lain nggak berani. Cuma sama Bapak. Karena Bapak tukang PHP! Berapa kali saya dibohongin?"

Viano memijit pelipisnya. Tadi dia kesurupan atau bagaimana ya? Bisa-bisanya bilang mau menikahi Nesta.

Habis, tadi suasananya memang dramatis dan beraura romantis. Gara-gara kesablengan Nesta, Viano sekarang mau tarik lagi omongannya. Masalahnya, kalau dia batalkan itu anak bisa sakit jiwa sungguhan.

"Otak kamu harusnya berkembang seiring dengan pertumbuhan tubuh kamu!" Lagi-lagi Viano memijit kepala. "Kayaknya, kamu makin eror gara-gara dimarahin mama saya."

Tidak terima dikatakan error, Nesta punya jawaban lain.

"Bapak ini umur berapa? Harusnya sesekali nonton drama Korea. Di sana, kalau cowoknya udah bilang cinta, ceweknya dicium, Pak."

"Kamu pikir segampang itu! Lihat ini, kita di pinggir jalan." Viano menyapu pandangan ke sekitar. "Misalkan ada orang yang lihat, terus kita digerebek dengan tuduhan tindakan asusila, mau kamu?"

Nesta mencebik. "Bapak, nggak suak sama saya, 'kan?" Terdengar sedih bicaranya.

Sabar, Viano. Sabar. Tahan emosi, sama perempuan. Terutama yang lebih muda. Laki-laki harus bersikap lebih dewasa.

Tarik napas, embuskan ....

Pelan-pelan dia ajak bicara Nesta, supaya gadis itu mengerti.

"Dengerin saya!" Tatapan matanya jatuh pada Nesta. "Kita nggak perlu berciuman atau melakukan apa pun untuk membuktikan kalau kita saling sayang."

"Maafin saya karena nggak terbiasa untuk ikut-ikutan tren kayak gitu."

Nesta menunduk. Kali ini, apakah dia harus merasakan dibohongi lagi?

Membungkuk, Viano bertumpu pada dua tangannya yang menempel di lutut.

"Saya akan yakinin mama dulu dan langsung menemui orang tua kamu. karena saya enggak pernah mau main-main lagi."

"Bapak tau?" Nesta menatap lekat pada Viano. "Saya makin suka dengan Bapak. Kalau mau batalin niat Bapak sekarang, saya masih bisa terima. Saya anggap ini hiburan buat saya yang baru saja disakiti oleh keluarga Bapak."

Menegakkan tubuh kembali, Viano tersenyum simpul. Akhirnya, Nesta bisa waras.

"Saya akan menjalani hidup yang seharusnya dan nggak akan ganggu Bapak lagi."

"Saya sayang kamu, Nes."

Sumpah, ini Viano bukan lagi mabuk karbol, 'kan? Nesta sampai mengerjpakan mata. Akhirnya, Viano mau bilang sayang.

"Dengan segala ketololan dan kedunguan kamu."

Astaghfirullah. Bospret selalu menjengkelkan.

***

Semalam keadaannya berbanding terbalik 180 derajat. Viano bisa tebak, siapa yang pulang menangis, siapa yang pulang membawa kemenangan.

Nesta yang memenangkan hati Viano juga cintanya.

Dengan berat hati, semalam Viano izinkan Nesta untuk pulang bersama Kevin. Tidak mungkin dia yang mengantar. Acara semalam benar-benar kacau, Garseta bahkan meninggalkan acara sebelum tamunya pulang.

Sudahlah, itu tidak penting lagi. Sekarang tinggal menyadarkan mamanya. Membuka mata hati agar bisa melihat orang lain bukan hanya dari strata sosial.

Viano akan berjuang lebih keras, supaya mampu meruntuhkan tembok keegoisan hati mamanya. Satu hal yang pasti. dia tidak akan pernah mengikuti jalan Aldi.

"Biarpun kamu berlutut atau memohon selamanya, mama tidak akan pernah menyetujui kalian!"

"Sampai Mama menyetujui, Viano nggak akan berdiri dari sini."

"Vi!"

Seperti yang dia katakan, tidak akan bangun dari sana sampai mamanya menyetujui. Viano sudah berlutut selama sejak tadi pagi Garseta mau keluar dari kamar, mengajaknya bicara dan tetap tidak menemukan jalan keluar. Cukup lama, Viano sampai merasa sakit di pergelangan kakinya.

Garseta tetap pada pendiriannya. Viano tidak cocok untuk Nesta.

"Bukannya tadi malam, kamu sudah puas mempermalukan Mama? Kalau begitu, lakukan saja sesuka kamu. Jangan pernah pikirkan Mama lagi!"

Garseta tidak mau mengakui, bahwa semua yang terjadi adalah akibat dari ulahnya sendiri.

"Apa Mama sudah puas menyimpan dendam bertahun-tahun?"

Garseta tertahan di tempat. Viano sukses membuatnya membeku seketika.

"Selama delapan tahun ini, pernah Mama memikirkan bagaimana keadaan Aldi di akhirat? Apa dia tersiksa atau tidak?"

"Diam kamu, Vi!" Garseta membentak. "Kalau kamu berbeda dari kakakmu, dengarkan kata-kata Mama."

"Seberapa besar kebencian Mama pada Aldi? Kenapa Mama nggak pernaj cukup menyiksanya sendiri di sana? Apa Mama tidak cukup menghapus kesempatan Aldi untuk meminta maaf?"

"Viano, berhenti!"

Luruh air mata Garseta, membasahi pipi. Dia meremat dadanya. Bagaimana bisa seorang ibu memiliki dendam pada anaknya? Dia bahkan kerap menangisi kepergian Aldi. Menyesali hilangnya kesempatan untuk mengatakan, betapa dia mencintai dan menyayangi Aldi.

Penyesalan itu ada selama bertahun-tahun dan Garseta berusaha menutupinya.

"Belum cukup Mama menyakiti hati Aldi? Apa Mama pernah menganggap raja bagian penting dari kita?" Menatap mata mamanya, Viano tahu ini berat. Setiap kata yang diucapkan, membuat Garseta semakin berurai air mata.

"Setelah kehilangan Aldi, Mama mengubur kesempatan untuk melihat Raja tumbuh dengan ceria di hadapan Mama."

"Viano berbeda dengan Aldi. Karena Viano nggak mau, nasib anak Viano sama seperti Raja."

"Kamu sama keras kepalanyam Vi."

"Karena itu ...." Viano mengatakannya dengan yakin. "Sampai Mama merestui, Viano nggak akan bangun dari sini. Mungkin, kalau Aldi masih hidup, dia akan melakukan hal yang sama."

Arrogant vs Crazy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang