62. Ini Calonnya, Pak

8.3K 879 60
                                    

Nesta pulang ke rumah. Sebetulnya, dia bukan gadis desa yang kampung-kampung banget begitu. Rumahnya masih masuk dalam daerah Jabodetabek. Dia memang memilih untuk tinggal sendiri sebab tidak tahan dengan ibu tirinya

Hari ini Viano mau datang ke rumahnya. Kemungkinan, sore sampai. Maka dari itum pagi-pagi Nesta sudah pulang ke rumah supaya nanti bapak dan ibunya tidak kaget kalau tahu mereka bakalan dapat door prize calon menantu idaman,.

"Apa-apaan kamu, Nes!" Tanggapan Ningsih yang kelihatan sangat tidak suka mendengar kabar putri sambungnya akan dilamar oleh seseorang.

Sebetulnya Nesta merasa tidak perlu restunya. Hanya saja, sebagai anak yang diasuh sejak umur dua tahun--meskipun tanpa kasih sayang--tetap saja dia harus menghormati ibunya.

Sarwani ayahnya Nesta hanya bisa menghela napas berat,

Ningsih sambil membereskan baju-baju, yang baru saja disetrika lanjut mengomel.

"Kamu itu belum bisa belum bisa nyenengin keluarga. Ibu sama bapak masih susah, makan aja kembang kempis. Adik kamu masih sekolah, biaya sekolah sekarang mahal. Buku-buku juga harus dibeli."

Nesta sudah bisa menebak akan begini akhirnya.

"Memangnya, calonmu itu pekerjaannya apa, Nes?" tanya Sarwani.

"Paling juga tukang parkir!" Yato yang menjawab.

"Sembarangan aja kalau ngomong!"

Lihat nanti kalau mereka sampai ketemu sama Viano, Nesta jamin mulutnya bakalan serasa diplester.

"Atau tukang cilok di depan toko," sambungnya.

"Sana!" Sarwani mengusir Yato yang dinilai terlalu jahil.

Yato ngibrit dimarahi Sarwani. Kalau bukan satu bapak, sudah Nesta jual itu adik dari bayi.

"Dia itu teman kerja. Eh, bukan teman kerja." Nesta membenarkan ucapannya, "lebih tepatnya dia itu bos Nesta."

Ningsih duduk lagi di ruang tamu dengan wajah ditekuk.

"Paling juga cuma staf biasa. Karyawan swasta mana jelas nasibnya. Bisa dipecat kapan aja."

"Ibu ini apa-apaan, sih!" Nesta tidak terima kalau Viano terus-terusan dihina. Padahal, dia belum menjelaskan siapa yang akan datang nanti.

Sarwani menengahi mereka agar tidak ribut.

"Nesta bukan mau kawin sama tukang parkir ataupun tukang cilok! Dia benar-benar orang spesial, Pak."

Ningsih menyahut ketus. "Kalau memang kamu mau nikah mendingan sama Karsa. Dia udah naik jabatan jadi PNS. Hidup kamu bakal enak. Nanti bisa gampang pinjam uang ke bank. Kamu bisa bantu Ibu sama Bapak untuk punya modal bikin usaha."

"Calon suami Nesta pasti bisa bantu Ibu sama Bapak. Tapi ...." Nesta menatap lekat Sarwani, "tujuan menikah bukan untuk itu, Pak. Tujuan menikah, nggak boleh karena harta atau karena hal-hal lainnya. Tapi memang niat ibadah."

Ningsih misuh-misuh, Nesta masih sama seperti dulu. Melawan kalau dikasih tahu yang benar.

"Bapak kalau niatnya mau manfaatin calon suami Nesta, mendingan Nesta bilang ke dia untuk batalin pertemuan hari ini."

"Tuh, kan!" Ningsih kembali menyambar, "pasti calonnya cuma orang miskin juga sama kayak kita. Makanya berat cuma memenuhi syarat sepele kayak gitu."

Mau menangis Nesta mendengarnya.

"Terserah Bapak, ya!" Ningsih angkat bohong dari kursi. Sepertinya dia malas untuk meladeni obrolan ayah dan anak tersebut.

"Kalau bapak masih mau izinin, Ibu nggak mau ikut-ikutan kalau nanti hidupnya juga susah sama kayak kita." Dia memilih membereskan pekerjaan.

Arrogant vs Crazy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang