35. Ambang Batas Emosi

359 32 5
                                    

DI HARI yang belum begitu malam, Mala merasa beruntung karena bisa menyelesaikan rentetan jadwal pekerjaannya tanpa kendala hari itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

DI HARI yang belum begitu malam, Mala merasa beruntung karena bisa menyelesaikan rentetan jadwal pekerjaannya tanpa kendala hari itu. Dari mulai pengambilan video komersil, wawancara singkat dengan owner brand, hingga pemotretan berjam-jam, ia lewati seorang diri tanpa bantuan asisten. Semuanya murni di bantu oleh crew yang menyewa jasanya.

Sebetulnya Ivan sudah berulang kali mengutus seseorang yang bisa mengatur jadwal dan mengantar Mala kemanapun ketika bekerja. Tapi gadis itu menolak mentah-mentah. Alasannya, ia tidak mau kehidupan pribadinya nanti malah terlalu banyak diketahui orang lain. Sebab, menurutnya dewasa ini sangat susah menaruh kepercayaan pada seseorang. Alhasil, Mala selalu menanggung segala lelah, suka dan dukanya seorang diri. Jikapun harus berbagi, orang itu hanyalah Adam. Yang sudah bertahun-tahun menjadi teman bicaranya tanpa segan, tanpa ada hal yang harus ditutup-tutupi.

Gadis itu berdiri di lobby hotel. Dengan banyak paperbag di tangannya, juga sebuket bunga dari client sebagai tanda terimakasih terlihat didekapnya seraya satu tangan lainnya mengutak-utik ponsel. Sesekali ia melihat kanan-kirinya, menunggu Adam yang beberapa jam lalu mengabarinya untuk menjemput ketika dirinya usai bekerja.

Tidak lama kemudian, sebuah mobil berhenti di area drop off. Menarik atensinya dari layar ponsel ke area kemudi, Mala merunduk, ia memastikan siapa gerangan yang berada di dalam sana. Sebab, mobil yang kini tepat berada di hadapannya, bukanlah mobil city car putih yang biasa Adam bawa. Melainkan sedan hitam doff yang jelas ia ketahui siapa pemiliknya.

"Ayo masuk, ngapain bengong?" pinta Ivan begitu membuka kaca mobilnya.

"Aku pikir Adam yang bakalan dateng?"

Pria itu tidak banyak bereaksi, ia dengan cepat memutar kemudinya dan melesatkan mobilnya di jalan raya, "tadinya iya, tapi aku harus ketemu kamu. Ada yang mau aku omongin."

Mendadak jantung Mala berdegup kencang. Kemunculan Ivan yang begitu tiba-tiba tidak lantas meluruhkan rasa kangennya selama ini pada pria itu. Mala digantung dengan perasaan serba tak tenang pasca keributan beberapa waktu lalu yang cukup menguras energinya. Gadis itu seperti terpasung dalam pemikirannya sendiri. Jujur saja, setiap waktu ia selalu ingin tahu kabar Ivan, tapi di lain sisi Mala merasa tidak berhak atas itu karena Ivan pasti sedang mengesampingkannya.

Dan begitu hari ini datang, dan Ivan berkata ada sesuatu yang perlu dibicarakan. Mala benar-benar merasa di ujung tanduk. Bersiap jatuh sejatuh-jatuhnya jika Ivan memutuskan semua tentang mererka harus berakhir. Meskipun hati kecilnya jelas tidak menginginkan itu.

"Denis gimana Van?"

"Baik, kamu gimana?"

Mala terkekeh pelan, "Hehe... Biasa aja, nggak ada yang beda, aku kan selalu kayak gini. Udah kebiasa nunggu kamu."

"Sorry, aku baru bisa ngabarin kamu," Ivan meraih telapak tangan Mala yang sejak tadi saling terkait, "aku anter kamu pulang dulu ya, jangan mikir yang aneh-aneh. Aku udah di sini."

Sweet Escape [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang