Life is cruel.
Dulu dia tak mungkin percaya dirinya akan menerima sakit bertubi-tubi seperti ini. Hidupnya biasanya mudah, semua dapat diatasi dengan uang. Tapi kali ini semua runtuh di saat bersamaan. Dia kehilangan pijakan.
Sakit kali ini jauh lebih menyiksa, dia tak tahu kapan akan sembuh.
Pengkhianatan Sean merupakan sesuatu yang menghancurkan, tapi saat itu dia masih memiliki penggemar-penggemarnya yang selalu memuji, selalu menyemangati, selalu menanti kontennya. Kali ini dia kehilangan kekasih yang awalnya menyamar menjadi pangeran penyelamat, lalu namanya tercoreng dibarengi foto syur yang sudah menciptakan jejak digital permanen, setelah itu dia kehilangan bakal bayi yang sebelumnya tak diketahui keberadaannya.
Langit seakan sedang mengujinya. Tusukan demi tusukan ini entah sudah reda atau nanti akan datang lagi, dia tak tahu. Yang dia tahu, secepat mungkin dia harus meninggalkan Puncak.
Ya, kota ini bagai surga sejuk yang ternyata adalah neraka tersembunyi. Dia harus segera meninggalkan kota ini sebelum tertimpa lebih banyak kesialan.
Pagi-pagi sekali sopir utusan ayahnya sudah menjemput. Dia mengepak barang seadanya. Sisanya—yang malas dia rapikan—diberikannya pada Alissa. Wanita penyuka uang itu tentu langsung bersorak saat tahu dia bisa menjual beberapa perabotan mahal milik Aris. Tanpa sadar Aris tersenyum mengingat Alissa yang mencoba menyembunyikan ekspresi riang gembira karena takut dianggap merayakan kepergian Aris.
Sepanjang perjalanan dipandanginya tiap garis jalan, tiap bangunan, bahkan tiang-tiang listrik yang menjulurkan kabel-kabel penghalang indahnya langit. Kota ini akan tersimpan rapat di memorinya. Indah, tapi menyakiti. Pernah menjanjikan, tapi mengingkari. Pilihan terakhir adalah pergi sebelum dia tertimpa sial lain.
Yang dilakukannya sepanjang perjalanan adalah melamun. Tangan kanannya mengelus perut yang rata, tiap usapnya lembut seolah masih ada kehidupan di sana. Apa dia adalah orang tua yang buruk karena tak merasakan kesedihan yang terlalu parah?
"Pak...," panggilnya pelan pada sopir.
"Iya Non?" sahut sopir itu sopan, menatap Aris ragu dari spion dalam. Sedari tadi dia sudah khawatir melihat Aris yang bermata sembap dan tampak tidak minat hidup.
"Bapak punya anak nggak?"
"Punya Non. Dua," jawab sopir itu. Sebuah senyum kecil bersembunyi di bibirnya kala mengingat dua buah hatinya yang berharga.
"Susah nggak sih Pak ngebesarin anak?"
"Hmm ... susah susah gampang sih Non. Tergantung sifat dan kepribadian anak dan cara kita mendidiknya."
"Capek banget ya rasanya?"
Sopir itu tertawa. "Capek mah pasti. Tapi yang jelas tetap lebih besar penghargaannya dan kebahagiaannya. Kalo habis capek kerja terus pulang dan lihat wajah anak-anak tuh, aduh ... rasanya plong banget."
Aris mengangguk paham, tangannya masih mengelus perutnya.
𓆩♡𓆪
Beberapa jam kemudian Aris sampai di rumah. Di kediaman yang sudah lama ditinggalnya, tempat yang dipikirnya tak akan lagi dikunjunginya.
Dia turun dari mobil, berjalan perlahan menuju rumah itu, memperhatikan setiap langkah yang diambilnya. Jangan sampai dia terjatuh dan berdarah lagi.
Siapa tahu dokter salah, kan? Siapa tahu gumpalan yang ada di dalamnya itu belum sepenuhnya hilang, siapa tahu dia masih aman di dalam sana. Mungkin dengan begini, Aris bisa menyelamatkannya dan membiarkan gumpalan itu hidup, berubah menjadi bayi bernafas yang berharga dan akan dia sayangi selamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cake & Cakey
Romance⚠️ 21+++ _______ Setelah mendengar kekasih dan sahabat terdekatnya mendesah bersama di tengah persenggamaan hebat, Searis Amaya hilang akal sehat lalu tidur dengan Rigel Batawirya. Lucu, pergulatan ranjang antara Aris dan Rigel itu terjadi padahal m...