18 | ingat

578 44 0
                                    

Ini hari kedua, bukannya membaik, suhu badan Aris justru semakin meninggi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Ini hari kedua, bukannya membaik, suhu badan Aris justru semakin meninggi. Pening di kepala El makin menjadi-jadi karena Aris bersikeras tak mau dibawa ke dokter.

Masih teringat bagaimana tubuhnya serasa membeku saat dua malam lalu dia menemukan Aris tergeletak tak sadarkan diri. Seraya memanggil-manggil nama Aris dan menepuk wajah untuk menyadarkan sang wanita, dia menggotong tubuh lunglai itu ke mobil. Bersama Alvin dan Alissa, dia mengitari kota untuk mencari dokter terdekat yang masih beroperasi. Yah, tentu saja itu mustahil, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

Keputusan akhir El adalah membawa ke rumah sakit saja, tapi Aris —yang kepalanya terpangku di paha Alissa— sudah terbangun. Gadis itu langsung menangis, memohon untuk tak ke rumah sakit dan ingin pulang saja.

Respon El adalah tolakan keras. Sambil mengendalikan setir, dia mencoba meyakinkan Aris untuk mau diperiksa. Tangis Aris semakin pecah, membuat El tak berkutik, dan akhirnya terpaksa menuruti permohonan itu.

Paginya, Aris masih menolak untuk ke dokter. Syukurnya, demamnya sempat turun setelah memakan sup ayam buatan El lalu meminum obat penurun demam. Kemhdian di malam hari suhu tubuhnya kembali meninggi dan pagi esoknya demam itu belum juga membaik.

Kewarasan El hampir menyentuh angka nol.

Kafe masih punya Alvin yang bisa mengendalikan semuanya, tapi dia juga punya pekerjaan di hotel, itu tak bisa ditinggalkan. Jadi tiap El pergi ke hotel, dia meminta Alissa untuk datang mengawasi. Terpaksa Antares Cafe menjual kue lebih sedikit karena dua pembuatnya sama-sama tak bisa hadir penuh.

Posisinya tak nyaman. Dia harus merawat Aris tapi juga harus tetap bekerja.

Entah harus menggunakan rayuan apa untuk membuat Aris mau dibawa ke dokter.

Setelah melempar ponselnya ke atas sofa, El menopang tubuh Aris. Kecemasan semakin bertambah. Mata gadis itu tak terbuka sepenuhnya, masih sengaja diredupkan karena enggan membiarkan cahaya lampu menusuk mata dan membuatnya makin pusing. Rambut silvernya tak beraturan karena seharian hanya meringkuk di kasur di balik tumpukan selimut. Senyum dan binar mata jelitanya kini tak hadir. Hanya ada warna pucat di wajahnya, seperti ada lembaran kelabu buram yang sengaja menghalangi sinar rupawan.

El menuntun ke sofa dan mereka duduk di sana, tubuh kecil Aris meringkuk di satu sisi pundak El, memeluk hangat tak mau lepas.

Serentet omelan telah siap meluncur dari lidah El, dia tak suka Aris sembarangan meninggalkan kasur padahal kesehatannya masih tumbang. Amukan itu diurungkannya, dia tak boleh memarahi Aris dalam kondisi ini. Masih untung Aris tidak pingsan. Dia sedikit menyesal,  yakin Aris terbangun karena suara kerasnya.

"Pulang aja gih. Lo udah dua hari nggak pulang, pasti adik lo khawatir banget," suruh Aris dengan senyum ketat. Sepasang bibir yang biasanya merona sekarang kering. "Gue nggak apa-apa kok sendirian, kan bentar lagi Alissa dateng. Habis dari rumah, lo langsung aja berangkat ke hotel. Pas udah beres kerja, lo pulangnya ke rumah aja. Hari ini lo tidur di rumah aja, besok-besok juga. Gue gakpapa kok malam ini tidur sendiri. Nggak takut hantu!"

Cake & CakeyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang