49 | kondom bekas

1.2K 64 18
                                    

Ancaman itu mungkin akan bekerja pada lelaki lainnya, tapi tentu tidak pada seorang Rigel Aji yang memang keras kepala—terlebih ketika menyangkut Aris.

Alih-alih melakukan permintaan Aris, lelaki itu malah kian mendekatkan diri. Membuat Aris menarik napas begitu dalam memikirkan akan sampai pukul berapa dia terpaksa meladeni pria itu. Memanggil security adalah tindakan benar, tapi itu tak mungkin efektif karena sekarang El adalah pria yang memiliki kekuatan. Ujung-ujungnya dia bisa beralasan sedemikian rupa menggunakan statusnya yang memang bukan orang biasa.

"Kamu bilang kamu nggak mau jadi seperti ibu kamu?" El memulai. "Apa hubungannya dengan saya? Karena saya bisa pastikan kamu nggak akan berakhir menjadi seperti dia."

Aris mendengus, hampir terbahak.

"Wajar sakit hati kamu menimbulkan keraguan. Tapi ketidakpercayaan kamu itu nggak berarti saya nggak pantas memiliki kamu lagi, karena saya bisa sumpah ... saya nggak akan mengulangi hal yang sama. Nggak akan pernah lagi saya menyakiti kamu seperti itu."

Sudut-sudut ruangan jadi tampak lebih menarik ketimbang wajah El. Aris melekatkan perhatiannya ke sana, tak sanggup lagi menelaah ekspresi tulus yang sudah pasti hanya topeng.

"Kamu nggak akan berakhir seperti ibu kamu."

Aris masih diam.

"Saya nggak tau detilnya karena kamu juga belum pernah cerita. Tapi dari perkataan kamu barusan saya bisa tau, Daddy kamu adalah orang yang merusak kepercayaan kamu ke lelaki. Tapi apa urusannya Daddy kamu dengan saya? Bikin kesalahan fatal yang sama nggak berarti saya akan jadi persis seperti dia. Jangan halangi cinta kita cuma karena trauma masa lalu kamu," El membombardir dengan semua pernyataan yang pahit itu saking tak bisa lagi mengontrol diri. Dia muak dengan Aris yang terus mendorongnya pergi.

"STOP!" Aris menjerit di tengah matanya yang terpejam. "Berhenti sok bijak! Berhenti!" Aris mencoba menormalkan ritme tarikan napasnya. Jeda cukup lama karena El tampak kehilangan kata, cukup terkejut dengan reaksi Aris yang menunjukkan emosi mentah.

Aris melanjutkan, kali ini dengan oktaf suara lebih terkontrol, "mau lima puluh jam lo berdiri di sini dengan khotbah lo itu, janji-janji lo nggak akan bikin gue yakin lalu jatuh ke perangkap yang sama! Once a cheater always a cheater. Lo nggak akan berubah karena tabiat itu udah mendarah daging. Tukang selingkuh nggak pantas dikasih kesempatan kedua dari orang yang pernah mereka sakiti. Hell, bahkan tukang selingkuh nggak pantas dapat cinta dari orang lain. Pantesnya tukang selingkuh selamanya hidup tanpa cinta, kesepian dan selamanya menyesali ketidakmampuannya untuk setia ke komitmen yang dia buat sendiri!"

Seolah satu tamparan dahsyat mendarat di wajahnya, El tertegun, hanya bisa meneguk liur yang tiba-tiba terasa begitu pahit. Sebuah rasa nyeri muncul di benak.

Aris tampak tersenyum kecut, air mata mulai berlinang. Bukan, bukan karena sedih mengingat pengkhianatan El, tapi karena mengingat tragedi yang terjadi antara kedua orang tuanya. Emosi yang meluap-luap membuat benaknya mendorong mulutnya untuk mengutarakan semuanya.

"Lo pernah ketemu Daddy gue kan?" Aris menyudahi keheningan. Kali ini suaranya bergetar dan lagi-lagi dadanya naik turun cepat. Semua ingatan atas kenyataan masa lalu itu terlalu menyakitkan. "Orang yang gue sayang, orang yang gue banggakan, satu-satunya orang di dunia ini yang sayangnya tulus ke gue. Iya, orang itu." Diselipkannya senyum pedih. "Dia adalah orang yang nyakitin ibu kandung gue, istrinya sendiri. Dia selingkuh, selingkuh dan selingkuh. Dan ibu gue yang bodoh itu memaafkan terus pura-pura nggak mengetahui perselingkuhan dia yang berikutnya. Ibu gue diem aja kayak orang bego. Memainkan perannya sebagai istri di keluarga bahagia walau di belakangnya suaminya tidur sama sahabatnya di masa SMA. Iya, Daddy gue yang hebat itu selingkuh sama sahabat masa kecil ibu kandung gue, dan ibu kandung gue memaafkan dia."

Cake & CakeyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang