Euforia yang semalam memenuhi tubuh sampai tumpah-tumpah kini lenyap tak bersisa. Gairah itu awalnya menggebu tak kenal henti. Walau sudah mencapai klimaks lalu terlelap bersama dalam dunia mimpi, beberapa kali El membangunkan Aris untuk mengajak kembali berhubungan intim.
Lalu ketika matahari sudah bertengger sempurna memancarkan semua cahaya kuningnya, gumpalan awan memabukkan itu hilang, digantikan dengan perasaan menyesal begitu mendalam.
Aris menatap layar ponselnya. Benda itu menunjukkan beberapa missed calls, semua dari orang yang sama: Elliot—orang yang dijanjikan sarapan bersama di pagi ini oleh Aris.
Ya ampun ... Elliot. Semoga saja pria itu tidak menunggunya terlalu lama. Jangan bilang justru temannya itu masih menunggunya di kafe yang Aris janjikan? Ah, tidak mungkin. Elliot kan punya pekerjaan. Dia juga pasti tahu Aris hanya tidak mengangkat telpon kalau sedang dihadang urusan lain. Yah, walau kali ini 'urusan' itu bukanlah sesuatu yang penting dan justru menjijikkan.
Pemikirannya kabur begitu saja ketika sebuah suara maskulin yang serak dan sarat kantuk menyapa telinganya, "udah bangun?"
"Gue mandi," ujar Aris ketus, beranjak dari kasur tanpa memedulikan tubuhnya yang telanjang bulat.
𓆩♡𓆪
"Udah kan mandinya?" tanya Aris terburu-buru pada sosok yang baru keluar dari kamar mandinya.
"Mau makan apa?" El malah balik bertanya.
"I have to go somewhere."
"Hm," gumamnya rendah sembari menggosokkan keras handuk ke rambutnya yang basah—upaya untuk mengeringkan rambut. "Saya bikinin sarapan atau mau beli?" Diurungkannya niat untuk mengulik lebih tentang rencana Aris untuk pergi. Yang ada malah mereka bertengkar lagi.
Sementara Aris menggulingkan bola mata. Dasar. Apa lelaki itu sungguh-sungguh menganggap Aris akan menerima tawaran sarapannya? "Gue sarapan di jalan."
"How about donat dan teh susu?" El melawan hasrat diri untuk maju dan memeluk dalam wanita itu, kemudian menciumnya dan menggauli lagi tubuh moleknya. Sial, rasanya kemaluannya berkedut lagi. Semalam terlalu indah, amat sangat indah.
"Terserah," jawab Aris setelah berpikir lama. Mungkin El akan membiarkannya pergi setelah sarapan. Memang dia agak lapar juga sih.
Aris berjalan mendekati kacanya. Benda itu full body, berukuran besar dan menampakkan keseluruhan tubuhnya. Dirapikannya rambutnya yang baru setengah kering. Pantulan dirinya di kaca menunjukkan leher yang menyimpan banyak memar bekas ciuman dan hisapan. Memar-memar itu juga ada di payudaranya, dia menemukan hal itu saat mandi tadi. Sampai sekarang pun putingnya terasa sangat sensitif karena semalam digigit-gigit kecil tanpa henti oleh pasangan ranjangnya.
Dasar binatang.
Dulu, El tak pernah meninggalkan bekas-bekas seperti itu, entah apa yang sekarang berubah. Untung saja ada produk rias. Dia bisa mengaplikasikan concealer untuk menutupi bekas-bekas di leher.
Setelah memesan makanan secara online, El melempar ponselnya ke atas kasur lalu melangkah menghampiri Aris yang berkaca. Dia melangkah perlahan, mengendap di belakang Aris. Dari belakang, tangannya melingkar memeluk tubuh kecil itu. Dia meletakkan kepalanya di pundak Aris kemudian menguburkan wajah di ceruk leher wanita itu, menghirup aroma sabun dan sampo yang segar.
"Habis sarapan mau jalan ke mana?" tanya El dengan suara tersumpal. Dadanya terasa hangat saat pelukannya pada Aris kian mendalam. "Di rumah aja deh kita. Kamu capek kan?"
"Lepasin." Tangan Aris mencoba melerai dua tangan El yang terkait di pinggulnya.
"Hmm...," El bergumam masih menghirup aroma tubuh Aris yang berusaha menjauhkan lehernya. "Kita tidur lagi aja yuk? Kamu jangan berdiri lama-lama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cake & Cakey
Romance⚠️ 21+++ _______ Setelah mendengar kekasih dan sahabat terdekatnya mendesah bersama di tengah persenggamaan hebat, Searis Amaya hilang akal sehat lalu tidur dengan Rigel Batawirya. Lucu, pergulatan ranjang antara Aris dan Rigel itu terjadi padahal m...