*Chapter 46*

1.6K 181 23
                                    

"GARA!"

Adryan dan Thaka sama-sama berteriak melihat netra Gara yang kembali tertutup.

Suara nyaring mereka berdua membuat Gara berjengit kaget. Ia bisa mendengar dengan jelas. Terutama suara Thaka yang berteriak tepat didekat telinganya. Karena Gara sepenuhnya sadar, tidak pingsan. Ia memejamkan mata karena pusing dan matanya terasa berat.

Kenapa pake teriak segala sih?

Gara merutuk dalam hati. Ia tidak punya tenaga untuk mengeluarkan suara. Jantungnya berdetak cepat. Telinganya berdenging. Ia bingung kenapa respon tubuhnya jadi berlebihan seperti itu setelah mendengar teriakan. Dengan keryitan didahi, Gara membuka mata.

Adryan dan Thaka lantas menghembuskan napas lega.

"Jangan merem lagi, dek. Please!" Ujar Thaka melarang. Baru sebentar ia melihat mata adiknya terbuka. Masa harus melihat mata itu tertutup lagi. Thaka trauma, jika melihat Gara memejamkan mata.

Lah, kenapa jadi gak boleh merem?

Netra sayu Gara melirik Thaka bingung.

"Kepala kamu pusing, ya? Dadanya juga sesak?" Adryan yang menahan  tubuh Gara saat oleng tadi, lantas bertanya dengan lembut. Adryan menyadari kernyitan di dahi putra bungsunya itu. Dari ekspresi wajah Gara terlihat jelas kalau kondisi Gara tidak bisa dikatakan baik. Napas Gara juga sedikit terengah-engah. Gara sedang tidak menggunakan alat bantu pernapasan,  karena sudah di lepas sejak kemarin. Kata dokter Brian, Gara sudah bisa bernapas sendiri. Saturasi oksigen nya sudah normal. Jadi tidak memerlukan alat bantu pernapasan lagi.

Gara mengangguk lemah. Papanya memang yang paling peka. Gara memuji Adryan dalam hati. Ia sangat beruntung memiliki ayah seperti Adryan. 

Adryan lantas membaringkan kembali tubuh putranya dan menambah bantal untuk kepala Gara, supaya pernapasannya bisa lebih lancar.

Adryan mengulurkan tangannya untuk mengusap kepala Gara. Ia bersyukur Gara tidak demam. Adryan sempat khawatir, takut Gara terserang demam lagi.

"Papa pasangkan oksigen, ya.. tunggu sebentar!" Adryan hendak berdiri untuk mengambil tabung oksigen, tapi Gara menahan tangannya.

"Gak.. usah," ujar Gara lemah, melarang papanya memasangkan oksigen. Karena sekarang napasnya sudah mulai kembali normal. Tadi sesak karna habis kaget saja.

"Bener? Gak perlu di bantu oksigen?" Adryan kembali bertanya sembari mengusap surai sang putra.

Gara mengangguk sebagai jawaban. Adryan lantas mengurungkan niatnya mengambil oksigen. Lalu kembali duduk di tepi kasur.

"Thaka telpon dokter Brian dulu, pa. Minta datang buat periksa Gara," Ujar Thaka sembari menggeser tubuhnya ingin beranjak dari kasur.

"Ini sudah hampir tengah malam, Tha. Besok pagi aja," Suara Adryan menghentikan pergerakan Thaka. Kaki Thaka sudah menginjak lantai. Bersiap melangkah.

"Gara 'kan butuh di periksa sekarang, pa. Masa nunggu besok?!" Balas Thaka, menoleh ke arah Adryan.

"Ini di mansion, Tha. Bukan di rumah sakit yang bisa kapanpun panggil petugas medis,"

Thaka terdiam. Benar juga, tadi sore dokter Brian juga sudah datang berkunjung. Kalau sekarang ia meminta beliau untuk datang ke mansion lagi, kan kasian.

"Iya sih, pa. Tapi Gara emangnya gak apa-apa kalo gak diperiksa sekarang?" Thaka menaikkan kakinya lagi ke atas kasur.

"InsyaAllah gak apa-apa."

Gara hanya diam menyimak. Melirik papa dan abangnya bergantian. Ia ingin memejamkan mata. Tapi takut nanti diteriakin lagi oleh mereka berdua.

Gara menatap Adryan yang kini juga menatapnya. Gara berharap papanya itu mengerti isyarat yang ia sampaikan melalui sorot matanya yang lemah dan sayu itu. Matanya benar-benar terasa berat. Ia butuh memejamkan mata lalu tidur.

About GaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang