BAB 9. HOMESICK

186 12 1
                                    

"Ah, tapi masa bodo ah. Aku udah lapar banget. Lagian aku juga udah nggak tahan sama hausnya."

Aida sudah melipat mukenanya dan menentukan pilihannya.

"Kalau ditanya, aku juga cuman pengen ngambil makanan sama air aja kok, bukan mau ngintipin mereka."

Beginilah manusia kalau kebutuhan dasarnya sudah terdesak.

Rasa lapar itu memberikan keberanian bagi Aida yang tadinya memang hanya ingin tinggal di kamar itu, untuk memenuhi hasrat bertahan hidupnya.

Aida yang sudah melipat sajadahnya pun kini sudah hendak bersiap keluar

Tapi

dreet dreet dreet

Handphonenya yang bergetar segera mungkin membuat Aida mendekat ke tasnya dan sesuai dengan dugaannya.

"Duuuh, ini nomor ibu." Bibir Aida berbisik lirih, dengan semua rasa yang membuat hatinya tak tenang.

Ingin rasanya dia tidak mengangkat telepon yang kini bergetar dan juga berbunyi ring tone-nya. Tapi apakah ibunya tidak akan khawatir kalau dia tidak mengangkatnya?

Aida: Assalamualaikum Bu?

Terpaksa Aida tidak mengikuti kata hatinya. Tak tega dirinya kalau sang ibu harus kepikiran tentang kondisi anaknya yang kini sudah memiliki kehidupan sendiri.

Lingga: Tuh kan bu, kataku juga mbak Aida pasti nggak lagi ngapa-ngapain, bener kan kita telepon aja pasti diangkat kok.

Ratna: Hus, Lingga, mbakyu-mu baru saja mengucapkan salam bukan dijawab dulu waalaikumsalam, kok malah ngomong ke mana-mana gitu toh?

Lingga: Hehe, itu salamnya udah Ibu jawab kan? Jawab salam itu kan fardhu kifayah, soalnya kan salamnya diperuntukkan buat kita dan ini juga teleponnya kan aku loudspeaker, tadi juga aku liat Tari jawab kok salam dari Mbak Aida.

'Kenapa tiba-tiba aku sangat merindukan mereka ya? Padahal kalau dekat, aku berantem terus, ada aja yang diributin. Tapi sekarang aku malah kebayang manjanya Lestari kalau tidur selalu saja minta aku temenin dan aku nggak boleh tidur lebih dulu sebelum dia tidur, membuat mataku sepet dan pasti mengomelinya. Bagaimana Arum selalu saja memintaku untuk membantunya mengerjakan PR, ujungnya malah aku yang mengerjakan tugasnya. Lingga juga sering banget iseng dan jahil. Kenapa tiba-tiba aku jadi ingin kembali ke rumah dan tinggal bersama mereka lagi? Merasakan hangatnya kebersamaan dengan ibu yang membuatku selalu merasa tenang dan nyaman berada dalam lingkupan kasih sayangnya.'

Senyum pun tersemat di bibir Aida berbarengan dengan setetes air mata rindu yang segera dihapus oleh punggung tangannya. Aida tak ingin suaranya nanti berubah jadi serak dan mengkhawatirkan orang-orang di rumahnya.

Belum ada sehari meninggalkan zona nyaman di rumahnya, tapi Aida sudah merasakan homesick.

'Ah, aku tak boleh lemah demi semua mimpi, lima tahun lagi.' Aida mengingatkan hatinya untuk segera mungkin bicara sebelum dia tak lagi bisa mengendalikan emosinya.

Aida: Ibu menelepon ada apa? Jelas aku angkatlah kalau telepon Ibu. Kalau telepon Lingga baru nggak aku angkat. Palingan dia iseng doang sama aku.

Lingga: Dih, kapan aku iseng sama Mbak Aida?

Aida: Maling nggak teriak maling, Lingga.

Lingga: Jiaahahah, tapi kan aku bukan maling.

Aida: Kalau bukan maling ngapain nelepon mbak pakai telepon Ibu? Bilang aja kamu kangen sama mbak-mu ini dan takut teleponnya nggak diangkat kalau pakai nomor kamu sendiri kaaaaaan?

Lingga: Dih, diiiiih, ge-er banget Mbak Aida nih, Bu. Padahal kan Ibu dari tadi nangis terus soalnya kangen sama Mbak Aida. Makanya aku telepon, abis ibu nggak mau mau terus sih disuruh telepon.

Bidadari (Bab 1 - Bab 200)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang