Bab 106. MY QUEEN

50 3 0
                                    

"Kakek mau makan apa? Tapi aku lihat dulu bahannya, kalau gak ada, aku beli dulu sebentar di freshmarket bawah."

"Ndak usah beli." Adiwijaya merespon cepat.

"Buat dengan bahan yang ada saja, Le. Tadi kamu buat apa untuk istrimu? Buatkan yang sama ndak apa-apa kok."

"Oh, ya sudah sebentar aku buatkan kakek."

Terpaksa Reiko harus menjawab seperti itu. Meskipun hatinya sebenarnya bersungut.

Aku sudah kelelahan padahal, keluh hati Reiko.

Dari kemarin pikiranku tidak tenang dan sampai di sinipun masih banyak yang harus diurus. ditambah lagi sekarang aku punya bayi besar yang karena kesalahanku, jadi aku harus mengurusnya juga. Tadi juga aku harus meriasnya dan sekarang aku harus masak lagi. Menyusahkan. Untung saja aku pernah diajarkan tentang make up sama nenek dan sering melihat Brigita make up, dulu juga aku pernah membantu Reti kecil make up untuk acara di sekolahnya, waktu mama di luar kota sama papa. Menurut Reiko ini lebih melelahkan daripada bekerja di kantor. Makanya dia mengeluh di hatinya.

"Eh iya, aku mau bantu di dapur boleh, Mas?" Aida memekik ketika melihat Reiko yang mau berdiri.

"Tangan dan kakimu sedang sakit. Temani saja Kakek di sini."

Percayakah Reiko pada Aida sehingga dia berani membiarkan Aida bersama kakeknya? Tak takutkah kalau Aida akan menceritakan sesuatu pada kakeknya yang merugikannya?

Aku yakin dia tidak akan melakukan yang macam-macam. Dari tadi dia mengcover-ku lumayan dan aku rasa aku harus membiarkan dia bersama dengan kakekku karena yang lebih ingin ditemui oleh kakekku adalah dirinya bukan aku. Alasan Reiko.

Dia sedikit demi sedikit mempercayai Aida. Makanya dia bisa tenang sekali ke dapur. Berbeda dengan hati Aida yang justru malah deg-degan.

Kalau tahu dia akan meninggalkanku sendiri di sini, lebih baik aku tidak cerita tentang dirinya yang bisa masak. Sekarang aku harus bagaimana? Aida sendiri kebingungan.

Dia khawatir akan salah bicara dan membuat dirinya kesulitan.

"Nduk, separah apa luka di tangan dan kakimu sampai diperban begitu?"

Tapi percuma juga sekarang mengeluh. Adiwijaya sudah mengajak bicara ke topik yang membuat Reiko juga memasang telinganya.

"Oh, hehe ... ini karena mas Reiko sebenarnya khawatir sekali, makanya minta ke dokternya diperban semua. Sebenarnya aku ndak apa-apa tapi kata mas Reiko supaya gak ada infeksi. Jadi agak berlebihan."

Aida tak punya alasan lain. Dia tahu ini tak masuk akal, tapi Adiwijaya justru manggut-manggut lagi. Aida tak tahu apa dia percaya atau tidak.

Dia tersenyum, apa dia percaya? Aida menduga-duga.

"Nduk, kakek baru sadar, tumben kamu sekarang ber-make up. Ayu tenan." Ternyata pria paruh baya itu mengomentari sesuatu yang lain.

Dia berhasil membuat adrenalinku turun naik seperti naik rollercoaster, seru hati Aida

"Hehehe." Gadis itu berusaha menutupi cenat-cenut di kepalanya dengan tawa kecil, saat Reiko justru tegang.

Jangan dia bilang aku yang melakukannya, bisik hati Reiko penuh harap.

"Tadi ada dokter, kek. Mataku sembab habis nangis, aku kan malu. Terus mas Reiko dandanin aku. Soalnya aku ndak bisa make up, lagian tangan dan kakiku begini. Hihi."

Aku salah bicarakah? Apa kakek ndak suka pria yang mengerjakan banyak urusan wanita? Haduh. Hati Aida panik karena Adiwijaya justru terlihat tercengang.

"Sudah kubilang, jangan terlalu mendengar apa perintah nenekmu dan guyonannya, Le."

Aida tak mengerti ke mana arah obrolan ini. Tapi dia terlalu takut untuk melihat bagaimana ekspresi Reiko di dapur.

"Apa salah aku melakukan ini kek?"

Apa aku terlalu banyak bicara? Harusnya aku gak kasih tahu kakeknya ya? bingung Aida.

"Ehem." Adiwijaya tak merespon lebih. Hanya dehemannya yang terdengar berat. Aida tak bisa mengekspresikan arti keras di wajah Adiwijaya itu.

"Jangan jadikan ucapan nenekmu beban, semua yang kamu lihat tak harus kamu tiru."

"Aku hanya meniru kakek. Menjadikan istriku seseorang yang paling aku perhatikan, memenuhi semua kebutuhannya, menyayangi dan menjaganya, seperti yang kakek sarankan tentang catur wedha. Karena ini resiko aku menikahinya, sama seperti yang kakek selalu lakukan pada nenek, mencintainya tanpa batas, mengurus nenek yang sakit, bahkan kakek ndak pernah biarin nenek melakukan aktivitas berat. Kakek sering membantunya make up, membuatkan makanan untuknya, menyuapinya, mengurus semua kebutuhannya, aku hanya ingin menjadikan istriku ratuku."

My Queen, itukah alasannya dia memanggil Brigita My Queen? Memasak untuk Brigita setiap harinya dan menuruti semua keinginannya?

Aida diam dan sedikit tertegun mendengar ucapan dari Reiko yang tidak menatapnya tapi sedang memotong sesuatu sepertinya ketika Aida memberanikan dirinya melirik.

Yah, istri Adiwijaya, dulu sakit-sakitan dengan kondisi kesehatannya yang terbatas. Beruntung nyawanya tertolong dengan bantuan ginjal yang diberikan oleh ayah Aida, Laksono.

Tapi kondisinya memang masih cukup lemah. Adiwijaya yang tidak ingin istrinya kenapa-napa dia memang sangat overprotektif.

Saat istrinya sakit sedikit dia pasti akan menyuruh dokter melakukan sesuatu yang berlebihan. Ini pula yang membuat dirinya tadi diam ketika Aida menceritakan bagaimana Reiko bicara dengan dokter.

Dan Adiwijaya juga tak menyanggah pernyataan Reiko, soal sikap Adiwijaya pada istrinya. Pria itu tidak sama sekali merasa terganggu melakukan semua untuk istrinya, karena memang itulah cara Adiwijaya menunjukkan rasa cintanya kepada wanita yang sudah dinikahinya. Dia sangat menyayangi wanita itu dan memang ingin hidup bersama dengannya dalam waktu yang lama. Tapi dia tak punya niat kalau semua yang dilakukannya harus dilakukan juga oleh cucunya.

"Hmmm, aku tahu kamu melihat itu semua." Adiwijaya mulai bicara.

Ini karena Reiko kecil tinggal bersama dengan kakek neneknya dan dulu Adiwijaya ini kan tinggal di Jakarta. Orang tuanya yang sibuk membuat Reiko kecil diasuh keduanya dan banyak memperhatikan kakek dan neneknya.

"Haah." Ini juga yang membuat Adiwijaya merasa bersalah

"Tapi kamu tidak harus melakukan apa yang aku lakukan pada nenekmu dulu. Itu adalah sesuatu hal dengan alasan yang berbeda dan jangan jadikan itu beban dalam hidupmu. Kamu jangan dengar apa yang dikatakan nenekmu kalau kamu harus sama sepertiku."

"Nenek tidak pernah menyuruhku begitu kakek."

Aida hanya bisa tertunduk ketika mendengar obrolan ini. Dia tak tahu harus merespon bagaimana dua orang pria yang bicara dalam jarak yang berjauhan.

Yang satu ada di dapur dan yang satunya lagi di ruang tamu. Tak biasanya mereka saling bicara agak sedikit meninggikan suaranya begini.

"Aku yang mau sendiri. Karena aku ingin seperti kakek yang bisa menjaga orang yang dicintainya, memenuhi semua kebutuhan wanita yang dicintainya, selalu ada dan bisa diandalkan oleh kekasih hatinya. Aku takkan biarkan siapapun menyakiti wanita yang aku cintai dan aku tidak akan pernah rela wanitaku disakiti oleh siapapun. Aku benar-benar akan menjaganya kakek dengan hidup dan matiku."

Reiko diam dan kini menatap Adiwijaya yang juga mengarahkan pandangan padanya di saat Aida tak berani untuk melihat ekspresi mereka berdua.

"Aku hanya ingin yang terbaik untuk wanita tercintaku. Untuk ratu dalam hidupku dan aku tidak akan pernah mengecewakannya kakek. Ini janjiku untuknya."

Tapi ada senyum tipis di bibir Aida yang berusaha disembunyikannya karena itu hanya satu detik ketika dia mendengar ini dan entah kenapa ada goresan dalam hatinya.

Ya, untuknya. Ratu lebah. Itu kan gambaran wanita yang kini ada dalam benaknya?

Bidadari (Bab 1 - Bab 200)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang