Bab 166. DUA SISI SEORANG PRIA

47 0 0
                                    

"Eh, Raditya, kamu mau ke mana? Lihat dulu sini."

Nada berusaha untuk menahan pria itu dan dia sudah berdiri menarik tangannya supaya mendekat ke bed sofa itu.

"Lihat ini gambarnya Riri. Keren kan?"

Anakku tidak bisa menggambar seperti ini karena tangannya saja dipegang oleh wanita itu makanya dia bisa menggambar, bisik hati Radit sebenarnya dia malas untuk berbohong tapi karena ini urusannya soal anak.

"Kamu pintar sekali sayang." Pria itu berlutut sambil sedikit mendongak menatap Riri dan menepuk-nepuk kepalanya dengan senyum yang seakan menunjukkan kalau dia adalah Pria terbaik di dunia yang tak pernah marah.

Dia sama saja dengannya. Apa semua Pria itu galak dan akan berubah menjadi baik kalau sudah di depan anak kecil?

Aida masih merasakan sakit di pergelangan tangannya tapi dia sempat berpikir seperti ini melihat Radit bersikap dengan Riri.

Ini mirip seperti yang dilakukan oleh Reiko tadi ketika dia menggendong Rere. Makanya agak mengganggu untuk Aida.

Apa yang aku lakukan ini tidak akan bermasalah padanya kan? Tapi sejujurnya Aida juga panik dan pening memikirkan bagaimana kondisi Reiko. Apa dia akan mendapat masalah baru dari Radit?

Ini juga yang membuat dirinya jadi makin cemas. Untung saja Nada masih bisa mengulur waktu dan membiarkan Radit bermain sebentar dengan Riri.

"Mau buatkan Papa gambar yang lain?"

Tapi memang Radit itu kalau sudah menginginkan sesuatu dia juga cukup pandai membujuk sehingga Riri pun mengangguk.

"Kamu bisa bermain lagi dengan Tante Aida dan gambarin buat papa. Hmmm... Riri suka gambar butterfly kan?"

Anak itu tersenyum dan mengangguk pelan di saat yang bersamaan hati Radit pun merasa lega.

"Bisa kau bantu anakku untuk menggambar butterfly?"

"Oh, iya Tuan."

Aida refleks bicara begini.

"Kalau begitu tolong ya. Aku ada perlu di belakang untuk mengecek pekerjaan dulu."

Jawaban yang tentu saja membuat Nada mencebik.

"Aku ikut denganmu."

Rasa-rasanya ada sesuatu yang membuat dirinya tidak mau tinggal.

"Kau bisa menemani anakku di sini."

"Hah, kau pikir mereka bukan anakku juga Raditya? Aku ikut. Aku ingin mengambil anakku yang ada di belakang sana. Sudah lama dia main di belakang dan dia tidak pakai jaket lagi tadi," seru Nada, tetap berjalan lebih dulu daripada Radit dan dia tidak mau menunggu hingga membuat Radit terpaksa harus mengikutinya.

"Maaf ya dua orang itu. Anak sama menantuku itu memang kadang-kadang seperti itu." Riyanti berbisik pada Aida yang tersenyum dan mengangguk tak masalah untuknya.

Justru yang jadi masalah itu kalau nyonya Denada Prayoga tadi duduk di sini dan menemaniku. Aku tak tahu apa yang akan terjadi di belakang sana padanya. karena tuan Raditya sepertinya lebih mengerikan daripada dirinya, seru hati Aida yang sejujurnya merasa lebih baik dengan kepergian Nada sehingga sekarang dia ingin membalas kebaikan wanita itu.

"Sayang mau bikin butterfly yang cantik nggak? Yang besar sekali sayapnya?"

Tanya yang membuat gadis itu pun mengangguk pelan.

"Dia semakin senang tuh dekat denganmu." ucapan Riyanti tentu saja memberikan rasa lega dalam hati Aida.

"Aku juga senang karena ada temen ngegambar lagi. Udah lama padahal aku nggak pegang kanvas."

Aida bicara sambil mendekatkan tangannya pada tangan Riri dan mulai menggerakkan tangan gadis itu membentuk sebuah sketsa awal.

"Oalah pantes kamu bisa ngegambar. Ternyata kamu suka melukis ya?"

"Sebenernya saya nggak suka melukis, ini tuh sebenarnya saya belajar dari pakde. Dia itu sering banget ngelukis jadinya saya diajarin teknik-teknik melukis."

"Pakde-mu pelukis?" Riyanti menimpali lagi.

"Sebenarnya bukan sih. Pakde dari ibuku itu bukan pelukis tapi dia itu memang suka melukis dan aku suka iseng-iseng nanya lagian aku juga senang karena bisa menggambar dia suka lihat gambarku bagus makanya dia ajarin aku buat ngelukis."

Aida bicara masih dengan matanya yang mengarah pada kanvas dan tangan kirinya kini bergerak menaruh beberapa cat akrilik di atas kanvas itu. Terdapat beberapa warna cat di sekitar sketsa yang tadi dibuatnya.

Tapi tentu saja tangan yang memegang cat itu juga memegang tangan kiri dari Riri jadi seakan-akan Riri lah yang menaruh cat itu di atas kanvasnya.

"Sama seperti Riri, dia ini suka bosan kalau sudah main bersama krayon dia akan ganti dengan pensil warna dan nanti ganti lagi pakai cat seperti ini. Tapi intinya dia suka warna dan suka menggambar." Riyanti menimpali sambil terus mengamati tangan Aida yang bergerak di atas kanvas itu.

"Kamu memang benar-benar berbakat ya. Bagaimana coba gambaran tadi corat-coret begitu bisa jadi bikin kupu-kupu seindah ini loh dan langitnya itu loh. Backgroundnya ini jadi bagus."

"Hihi, bukan saya yang berbakat Nyonya, tapi memang Mbak Riri ini pinter banget. Bisa bikin gambar secantik ini. Tuh tangannya kan luwes megang kuasnya juga."

Aida tidak bermaksud untuk menipu tapi di sini Riri memang tersenyum dan memang dia jadi semangat untuk memegang kuas itu.

Dan tentu saja disaat yang bersamaan.

"Terima kasih ya kamu sudah mau menemani cucuku untuk bermain seperti ini. Maaf kami jadi merepotkanmu."

"Oh nggak apa-apa kok Tuan. Saya juga senang ngegambar jadi ini kebetulan sekalian jadi sekalian ngejalanin hobi."

Setelah melepaskan tangan Riri dan dia tampak senang sekali dengan gambar kupu-kupu baru di tangannya itu Aida kembali bicara.

Tanpa Aida sadari.

"Silakan ini kuenya."

Seseorang yang memegang piring kue itu juga tertegun dengan gambar yang baru saja dibuat oleh Aida,hanya saja dia tidak menunjukkan ekspresi berlebihan hanya hatinya saja yang merasa sedikit sakit

Aduh, sudah wajahnya mirip dengan Waluyo dia juga pandai menggambar seperti ini. Waluyo juga sama. Tapi dia lebih suka menggambar orang daripada pemandangan sebetulnya, wanita itu teringat sesuatu tentang seseorang yang sudah lama tidak pernah dipikirkannya lagi dan kini malah semakin sering hinggap dalam benaknya.

"Terima kasih ya Bu. Aduh aku di sini jadi ngerepotin."

Karena dia tersenyum juga Kadang-kadang mirip sama Waluyo. Haduh, aku harus cepat-cepat pergi dari sini ke dapur daripada aku makin kepikiran dan juga kepikiran putraku, Juna, bisiknya lagi yang memang tidak mau mengingat lagi masa lalu yang membuat dirinya perih setiap kali mengingat putranya yang tak pernah bisa ditemuinya itu.

Dia menghindar setelah tersenyum dan pergi tanpa menunjukkan sikap yang mencurigakan.

"Makasih ya Bi Ningsih."

Tapi Riyanti tetaplah seorang majikan yang sangat sopan dan dia baru saja memberikan sedikit penghargaan sebelum Ningsih pergi.

"Dimakan dulu Aida. "

Tentu saja Aida tak masalah kalau disuruh memakannya. Dia pun sudah mengangguk dengan senyum di bibirnya.

Namun tetap aja dia merasa tak tenang saat memakan kue itu.

Sudah setengah jam nyonya Nada dan tuan Raditya tadi pergi, Aida mengunyah dengan rasa cemas dalam hatinya.

Aduh apa aku buat masalah ya untuk Mas Reiko?

Bidadari (Bab 1 - Bab 200)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang