Bab 148. AROMA STRAWBERRY

47 5 1
                                    

"Masa saya harus menunggu Bapak di dalam sana terus dan saya bisa buang air besar di tempat tidur dong Pak!" Tapi sudah kepalang! Karena tidak mau lagi menahan rasa malunya Aida langsung berceloteh begitu tak peduli dengan wajah seseorang yang tidak lagi bersahabat di hadapannya.

"Itu lebih baik daripada kamu merangkak ke sini sendirian!" Reiko bicara, sambil mendekat dan langsung memegang kedua tangan Aida membuka telapak tangannya dan memperhatikannya.

"Debu, jamur, bakteri, kotoran!" Mata itu memicing sempurna kepadanya.

"Apa kamu pikir kuman dan bakteri yang ada di sini tidak bisa masuk ke tubuhmu? Kenapa tak mengindahkan kata-kataku, hmmm?"

Tapi sepertinya orang yang ada dihadapan Aida tidak tertarik untuk bercanda dengannya. Dia sudah menunjukkan kemarahan dan kekecewaannya dengan mencengkram pergelangan tangan Aida begitu kuat.

"ehm... Pak, saya mau nyiram dulu, kan bau...."

"Apa aroma itu lebih penting daripada luka di tanganmu ini? Aku lagi bahas ini kenapa malah kemana-mana? Gak sayang kamu ama tubuhmu sendiri, hmmm? Pantes bikin kamu penyakitan!"

Lah, kenapa dia marah-marah gini? Tangan-tanganku! Kalau bau gini hidungnya dia juga yang kena! Kalau tanganku doang ya aku doang yang sakit! Orang ini benar-benar membuatku ... ish!

Aida tak tahu harus merespon bagaimana.

"Kamu berjanji padaku ga akan turun! Jadi dengan mudah kamu bisa membatalkan janjimu padaku, hmm?" dan nampaknya Reiko memang ingin memperpanjang perdebatan mereka saat ini.

Pria itu tidak sama sekali puas dengan jawaban Aida.

"Tapi Pak, saya cuman kebelet aja Pak!" seru Aida mencoba memelas.

"Apa janjimu padaku kemarin? Tidak akan turun dari tempat tidur. Kenapa sekarang turun?"

Kesal Reiko pada Aida, tak hilang-hilang.

Emosinya benar-benar tidak bisa ditahan lagi sekarang.

"Lain kali kalau aku belum datang dan kamu kebelet, lakukan aja itu semua di tempat tidur. Aku datang dan pasti aku akan membersihkan semuanya! Aku akan ganti tempat tidurnya juga dengan yang baru!" pekik Reiko masih tak puas, hingga membuat Aida terpancing.

"Tapi saya bukan orang lumpuh yang harus melakukan semuanya di tempat tidur! Dan saya masih punya harga diri dan malu! Bapak nggak kepikir apa kalau saya lakukan di tempat tidur semalaman saya harus menahan bau di sana? Hidung saya Pak! Dan saya masih bisa jalan ke sini saya rasa kaki saya dan tangan saya juga tidak apa-apa kok!"

Kesal rasa di dalam hati Aida makanya selesai mengutarakan itu dia langsung menundukkan kepala tak tahan dengan rasa panas di matanya.

"Hhhh!" dia pun sesegukan.

"Sudah selesai belum?" Akhirnya melihat Aida begini Reiko pun menurunkan suaranya.

"Awasin tangan Bapak!" Tapi gerakan tangan Reiko di pipinya membuat Aida tentu saja ingin menghalanginya.

"Sssh, aku cuma ngelap air matamu aja. Jangan nangis. Nggak perlu malu sama aku."

Splash!

Namun percuma yang dilakukannya! Satu tangan Reiko sudah menghapus air mata Aida dan satunya lagi menekan tombol air sambil dia bicara berbarengan.

Ish, memalukan! Ini benar-benar memalukan! Tuhan, kenapa harus begini jalan hidupku? dosaku sebesar apa sih Tuhan sampai aku harus menghadapi hidup macam ini?

Sesak sebetulnya hati Aida. Dia tak mengerti kenapa harus dirinya yang terikat dengan pria yang sudah memiliki kekasih itu. Harus begini hidup rumah tangganya, harus merasa sesak dan panas yang tak ketulungan.

Bidadari (Bab 1 - Bab 200)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang