"Ehem!"
Radit tentu tak berani menolak ucapan Bambang. Dia menaruh kembali buku itu sambil mengangguk di saat Bambang juga memberikan buku yang lainnya.
Sepertinya dia menulis sesuatu lagi di sana. Bambang memang menyimpan lembaran memo yang memang selalu ada di meja sampingnya bersama pulpen kalau dia sedang membaca buku untuk mencatat sesuatu yang penting.
[Aku ingin berterima kasih padamu karena mau bekerja sama dengannya Raditya. Kita tidak boleh terus-terusan membesar-besarkan masalah ini. Sudah waktunya kita memang berdamai dengan Adiwijaya supaya tercipta bisnis yang sehat kedepannya.]
Apa yang bisa dilakukan Radit selain mengangguk?
Dan disaat yang bersamaan....
"Waaaah, bagus banget gambarnya! kamu suka menggambar ya?"
Suara Aida yang antusias membuat Radit menengok padanya.
Karena Nada sudah seperti satpam yang memperhatikannya untuk menghabiskan makanan dan meminum obatnya, Aida jadi menahan diri untuk berkomentar pada sesuatu yang memang membuatnya sangat antusias.
"Riri memang suka menggambar. Tapi dia ini suka coret-coret aja kayak gini cuma kalau disuruh ngomong itu dia nggak mau ikut bicara dan terlihat stress kalau diminta bicara."
Seperti rata-rata Nenek-nenek Riyanti juga senang berkomentar tentang cucunya di saat Nada hanya tersenyum melihat bagaimana Riyanti bercerita.
Tak ada rasa kesal sama sekali dalam hati Nada karena wanita itu sering sekali mencampuri urusan parentingnya. Dia memang tak pernah keberatan dengan kehadiran ibu mertuanya itu.
"Apalagi Neneknya sangat mendukung sekali memberikan banyak sekali coret-coretan untuknya menggambar begini! Dari krayon terus pensil warna dan sekarang dia suka pakai cat akrilik macam ini," seru Nada yang sebenarnya juga suka memberikan itu untuk Riri tapi dia lebih suka memuji Riyanti yang tentu saja semakin senang mendengar pujian menantunya.
"Wah, pantesan! Dari tadi aku lihat dia pandai sekali mencoret-coret kanvasnya walaupun belum ada arahan mau menggambar apa tapi memang dia sangat berbakat untuk coretan abstraknya. Ini sudah terlihat kok bakat terpendamnya." Aida ikut berkomentar di saat Riri menatapnya malu-malu. meski tak paham apa arti semua ucapan Aida.
"Hai cantik gambarnya bagus banget! Boleh Tante pinjam sebentar? Wah tante nggak pernah liat gambar yang bagus kayak gini! Kereeeen," seru Aida mengulurkan tangannya. Dia memang tidak memaksa tapi memberikan kebebasan sendiri pada Riri yang masih menatapnya.
"Hihi, sepertinya dia menyukaimu dan dia sudah mau memberikan gambarnya padamu," seru Nada, melihat anaknya yang tak dipaksa itu kini sudah menyerahkan sesuatu di tangan Aida.
"Waaah, ini cantik banget!"
Aida yang memegang kanvas itu semakin bersemangat untuk memuji.
Itu bukan kanvas besar yang biasa digunakan pelukis.
Hanya kanvas berdiameter enam belas sampai dua puluh empat senti berukuran bulat yang dipakai Riri.
"Coba ditambahin ini nih! Nanti ini jadi kayak langit malam bagus deh!" seru Aida, mengambil sesuatu yang berwarna putih dari tempat cat akrilik.
"Boleh tante tambahin ini?" Riri tak tahu tapi dia sudah mengangguk pelan di saat Aida tersenyum dan dia mengeluarkan cat berwarna putih itu di tatakannya.
"Boleh pinjam kuas yang ini?"
Riri dan yang lainnya tak tahu apa yang ingin dilakukan Aida tapi Riri kembali sudah mengangguk memberikan izin pada mainannya untuk digunakan oleh Aida.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari (Bab 1 - Bab 200)
Romance"Kamu sudah ga punya dua keistimewaan sebagai wanita! Kamu pikir aku dan keluargaku gila mau menjadikanmu istriku, hmm?" Jika Aida Tazkia bukan anak orang kaya, dirinya juga tak memiliki bentuk tubuh yang sesuai dengan kriteria Reiko Byakta Adiwijay...