Bab 126. AKU YANG PERTAMA

56 4 1
                                    

"Aku gak salah denger kan?"

Reiko berbisik karena memang dia seperti mendengar ada suara tangisan. Ini juga yang membuat dirinya menggerakkan layar monitornya yang memang saat ini dalam kondisi gelap mengarah ke tempat tidur. Dia tidak membalikan badan sama sekali dan seseorang yang ada di tempat tidur itu juga tidak memperhatikan pergerakannya.

Aku melihat dia terlarut dengan doa-doanya, mungkin? bisik Reiko yang hanya menduga. Dia membiarkan Aida dengan urusannya sendiri sedangkan sekarang seperti biasa, Reiko mengurus pekerjaannya tak mau ikut campur ataupun bertanya kenapa tangisan itu terjadi.

"Heuheuheuheuheu."

"Fuuh, berarti benar yang dia katakan kalau dia selalu bangun jam segini untuk berdoa." Tapi sayang di saat Reiko sedang berusaha untuk fokus bekerja suara sesegukan itu memang terdengar lagi di telinganya.

"Anak ini sebenarnya anak yang baik. Tapi mungkin aku mengenalnya dengan cara yang salah dan waktu yang gak tepat sehingga hubungan kami tidak bisa dimulai dengan sesuatu yang baik tapi dimulai dengan kebencian."

Reiko berbisik sambil berusaha fokus. Masih tetap tak ingin ikut campur.

"Hhhh."

"Apa yang dia minta? Kenapa dia minta sampai menangis begitu?"

Tapi lagi-lagi ini mengganggunya. Suara sesegukan lebih kencang karena Aida semakin terhanyut dalam doanya. Dia kadang kalau sudah seperti ini memang melupakan dirinya ada di mana.

"Terbebas dariku? Pffh, aku pun juga tak menginginkan ini."

Reiko tak tahu tapi tak mau juga dia terlarut.

Hanya saja tiba-tiba Reiko teringat sesuatu.

TUHANKU YANG MAHA KAYA AKAN MENYIAPKAN UNTUK SAYA SEORANG PRIA YANG BERSIH, SUCI, MASIH PERJAKA DAN MENCINTAI SAYA BUKAN KARENA FISIK SAYA. KARENA SAYA WANITA BAIK-BAIK MAKA JODOH SAYA ADALAH PRIA BAIK-BAIK, BUKAN PEZINA.

Itu adalah kata-kata Aida yang terlontar dari bibirnya kemarin saat dia bicara dengan Reiko.

Entah kenapa ini mengganggu Reiko tiba-tiba.

Tapi dia memang wanita baik-baik. Mungkin saja dia akan mendapatkan jodoh yang baik nantinya. Sama seperti aku dan Brigita, mungkin dia juga ingin bahagia?

Reiko mengapit bibirnya ketika dia mengingat itu.

Dan aku tidak merugikannya sama sekali karena saat ini aku menjaganya benar-benar karena aku merasa kasihan padanya. Aku tidak juga melakukan sesuatu yang buruk padanya. Dan kalaupun kami bersama saat ini karena memang dia istriku. Aku masih memiliki kewajiban untuk menjaganya walaupun aku tidak bisa memberikan lebih dari sekedar penjagaan seperti ini. Kini rasanya Reiko geli sendiri juga.

Lalu apa alasanku melakukan kebiasaan tidur di kamarku sendiri padanya? Benar katanya di sini tak ada Brigita. Hah. Ini lagi yang mengganggunya, mengingat bagaimana dia tidur dengan pakaian yang tidak menempel satupun di tubuhnya.

Salah sendiri kenapa dia seakan-akan melihatku seperti aku ini dilarang melihat tubuhnya. Aku hanya sekedar mengerjainya, lagian tak ada dosa bercandaku dengannya, toh dia masih istriku.

Reiko bahkan tak mau disalahkan dalam benaknya sendiri.

Kini mata dan tangannya pun berusaha untuk fokus lagi pada pekerjaannya tak mau memikirkan sesuatu yang mengganggu fokusnya.

Hidupnya hidupnya, ini hidupku, kami hanya terjebak dalam ikatan yang membuatku tak salah jika bercanda bukan?

Reiko tak peduli. Intinya kalau Aida ingin punya suami lain nantinya dia juga tidak ambil pusing. Dia juga sudah memiliki jalannya sendiri dan tentu saja wanita yang membuat dirinya tersenyum.

Yang penting karena dia menikah denganku maka dia harus melihat tubuhku lebih dulu ketimbang melihat tubuh suaminya nanti. Hah, enak saja nanti dia mengaku kalau dia melihat tubuh pria itu pertama kali dari suami keduanya. Cih, dia bisa lihat aku lebih dari pria manapun, kesal Reiko.

Bee adalah sosok wanita sempurna dalam hidupku. Aku mendapatkan segalanya darinya. Kami memiliki satu profesi yang sama dan kami memulai ini semuanya dari nol. Kami belajar bersama, kami mencoba untuk saling mengerti satu sama lain. Aku dan Bee. Kami sudah menelusuri jalan hidup kami bersama dan tubuhnya juga seperti morfin untukku. Haaah, bukan waktunya aku memikirkan wanita lain. Rasa yang ada dalam hatiku sekarang padanya hanya rasa kasihan, beda pada Bee, tegas hati Reiko lagi yang kini sudah menutup berkasnya dan dia fokus pada berkas yang lainnya lagi.

"Selesai kerjaanku."

Akhirnya setelah setengah jam berlalu, memang dia selalu selesai di jam yang sama seperti ini dan kembali Reiko membunyikan lehernya di saat yang bersamaan dia mendengar sesuatu,

"Hasbî robbî jallallâh mâ biqolbî ghoirullâh. Nur Muhammad salallah La Ila Ha Ilallah ...,"

Apa yang dia senandungkan? Dan kenapa harus menangis?

Reiko pas membalikan badan sepertinya Aida juga terlarut lebih dalam dalam shalawatnya makanya pria itu bertanya meski hanya di benaknya.

Apa yang dia baca itu? tanya hati Reiko, yang diam-diam juga mengetik sesuatu di handphonenya sesuai dengan apa yang dia dengar walaupun itu suaranya lirih tapi di dalam kamar itu tak ada suara apapun jadi sangat hening sekali sehingga dia bisa jelas menulisnya.

Ku cari nanti, seru hati Reiko di saat yang bersamaan

"Allahu Akbar Allahu Akbar."

"AllahuAkbar."

Aida cepat-cepat mematikan alarmnya sambil bicara begitu dan dia memang sudah mengusap air matanya.

"Hah, ngapain Bapak ngeliatin saya?"

"Kamu nyanyi apa?"

Tanya yang membuat Aida mengerutkan dahinya.

"Itu bukan nyanyi P ak. Itu sholawat. Apa denger tadi?"

"Ya aku tahu sih kalau sholawat doang. Tapi yang gitu kan biasanya dinyanyiin tuh. Kalau aku ada di rumah kakek pasti aku dengar itu dari mushola di dekat rumahnya."

"Iya itu sholawat biasanya di mushola itu sebelum subuh atau sebelum adzan pasti ada baca solawat kalo ga ngaji Quran pak. Tergantung sih, mereka pemahamannya gimana."

"Iya pokoknya tadi kamu nyanyiin itu buat apa?"

Lagi-lagi kata-kata yang membuat Aida mengerutkan dahinya.

"Bapak agamanya apa sih?"

"Pake nanya lagi," ucap Reiko yang sudah berjalan mendekat pada Aida yang menghempaskan nafas pelan sambil geleng-geleng kepala.

"Bapak kalau saya boleh sarankan ke Bapak lebih baik Bapak perbanyak deh baca sholawat."

"Buat apa?" tanya Reiko yang masih berdiri dan menaruh kedua tangannya di saku celananya

"Hah." Aida memutar bola matanya gemas, sebelum bicara. "Bapak tuh banyak dosanya. Dosa zina itu salah satu dosa besar yang tidak diampuni kecuali orang itu benar-benar bertobat kali. Wallahualam. Tapi yang pasti--" Aida belum melanjutkan bicaranya tapi dia diam dulu sejenak.

"Yang pasti apa?"

"Nabi kita tuh bisa ngasih syafaat buat kaumnya dan pengikutnya yang banyak dosa. Jadi karena Bapak banyak dosa mendingan Bapak banyak-banyak sholawat. Dengan begitu mungkin aja Bapak bisa dikenalin dan ditolong biar ga lama-lama di neraka."

"Haah."

"Ih, dibilangin." Aida mencebik karena tadi Reiko justru melengos.

"Nih pak dulu ada cerita ayah dari Sofyan As Sauri yang jatud sakit dan meninggal dengan wajah yang menghitam sepulang mereka berhaji. Terus anaknya sedih gitu deh. Dia nangis-in bapaknya sampai ketiduran abis itu di mimpinya datang tuh ada cowok ganteng banget sumpah gantengnya banget-banget."

"Eh, emang kamu liat itu cowok?" tanya Reiko sambil tolak pinggang padahal tadinya tangannya ada di saku celana.

"Lah emang ganteng Pak. Tinggi putih ganteng, rambutnya sebahu, udah gitu ditambah lagi dia tuh wangi banget Pak."

Bidadari (Bab 1 - Bab 200)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang