Bab 102. WAJAHKU

49 5 0
                                    

Reiko: Kakek mau ke sini? Bukannya ada rapat

Ah beneran Romo Adiwijaya mau ke sini?

Kaget juga Aida ketika melihat bagaimana paniknya wajah Reiko dan alasannya.

Haduh, gimana nih? Gawat! Kondisiku sekarang --? Aida juga jadi kepikiran, di saat telinga Reiko masih mendengar penjelasan kakeknya.

Adiwijaya: Ya iyalah. Mosok cucu mantuku sakit aku gak nengokin? Mumpung kakekmu ini ada di Jakarta.

Reiko: Rapatnya kek?

Adiwijaya: Wes rampung. Wes, kamu ndak usah kepikiran macem-macem urusan kantor. Tunggu saja, setengah jam paling lama kakek sampai di sana.

Mati aku. Sssh, makin repot.

Dan hanya itu kata-kata yang ada dalam benak Reiko ketika Adiwijaya sudah mematikan teleponnya. Dipikir Reiko dia bisa beristirahat sebentar dulu setelah house keeping pulang. Tapi ternyata tidak.

Malah tambah ribet urusannya sekarang.

"Romo Adiwijaya mau ke sini bukan?"

Lagi-lagi pertanyaan yang tidak dibutuhkan oleh Reiko.

"Kamu sudah tahu tak perlu banyak tanya," sinis Reiko yang terlihat jelas galau di wajahnya kini memang dia merasa khawatir sangat.

Meskipun begitu dia tidak mengatakan satu kata pun di hadapan Aida. Lebih suka memikirkan sendiri apa yang harus dilakukannya.

"Kalau lagi pusing dan banyak pikiran itu lebih baik sharing. Kali aja aku bisa bantu-bantu nyumbang ide," seru Aida menyindir.

"Ssssh."

Tapi sepertinya ucapan Aida itu tidak terlalu digubris olehnya dan Reiko memang lebih suka memikirkan sendiri apa yang harus dilakukannya.

Dia memang bukan tipikal orang yang mudah percaya pada orang lain dan biasanya menyelesaikan urusannya dengan caranya sendiri.

Dan memang Reiko sudah dibiasakan untuk melakukan itu.

Baik di lingkungan keluarganya bahkan dalam hubungannya bersama Brigita juga seperti itu. Lihat saja siapa yang diminta untuk bertanggung jawab mencari modal oleh Brigita?

Makanya Reiko tidak pernah bekerja sama dengan orang lain kecuali memang bersama tim khusus dalam pekerjaannya, seperti kerjasama dirinya dengan Reyhan dan Roy.

"Kamu cukup lakukan apa yang kamu harus lakukan. Nanti semuanya aku yang urus. Nanti aku yang jelaskan pada kakek dan kamu hanya mengikuti instruksi yang sudah aku buat."

"Mas Roy, lihat ini."

Instruksi seperti apa juga Aida tidak tahu. Tapi memang dia harus menyampaikan sesuatu sekarang yang lebih penting , makanya Aida menunjuk pipi kirinya.

"Tadi dokter Silvy tanya ke aku kenapa pipiku kayak gini. Aku bilang kepentok meja."

"Dasar bodoh! Yang seperti itu mana mungkin kepentok meja," gemas Reiko.

Apalagi Aida membahas ini baru saja saat dirinya sudah memikirkan kakeknya yang mau datang.

Kenapa juga tidak cerita dari tadi?

"Soalnya saya nggak punya alasan lain. Yang kepikiran cuman itu, Pak."

"Sssh, ya sudahlah. Kenapa gak bilang sama aku? Sengaja nutupin apa yang dibilang sama dokter Silvy? Mau bermanuver, hmmm?"

"Jangan negatif terus sama saya Pak. Nanti Bapak cepat sakit jantung dan mat--"

"Kamu mau nyumpahin aku mati?"

Bidadari (Bab 1 - Bab 200)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang